Brukhhhhhh....
Suara benda berat menyentuh bumi.
"Litha!" sahut Paman Tino panik, menggoyang-goyangkan badan Litha untuk menyadarkannya.
"Duhhh ... sakit Paman ... Jangan menggoyang badanku keras-keras." Litha merintih menahan sakit. Jangan sampai akting pingsannya diketahui, bisa lebih berabe.
"Ayolah ... semua para orang-orang kaya dan elit kelas atas yang ada di sini, tinggalkan aku sendiri! Jangan pedulikan aku yang tidak sadarkan diri. Ayo pergilah... terlantarkan aku didepan gerbang utama. Urusan motor biar nanti ku urus dengan Ninda."
Litha berharap ia diangkat dan ditelantarkan di depan gerbang utama, lalu ia akan segera melarikan diri dan untuk urusan sepeda motor, bisa diurus belakangan, akan dia negosiasikan dengan sahabatnya, ketimbang ia harus berhadapan dengan keluarga yang menakutkan ini
Litha juga tidak akan mau lagi menginjakkan kaki di rumah ini meskipun bibinya merengek minta diantarkan titipan masakan untuk suaminya.
"Sudah Nek, gadis itu saya yang urus, Nenek ikut mobil Ray saja, cuman Nenek yang bisa meredam marahnya," ujar Firza setelah melihat Nyonya Besar kebingungan melihat Litha jatuh pingsan.
Nyonya Besar menepuk pundak Firza dan berjalan dipapah Rey menuju mobilnya.
"Pak, biar saya yang membawanya ke dalam rumah, bapak sekalian ikut mobil saya ya," Firza berkata pada Pak Tino dan mulai mengangkat badan kurus Litha.
Deg ...
"Mati aku, mau dibawa kemana, duhhhh ... salah strategi," umpat Litha dalam hati.
Raut wajah Firza berubah sedikit setelah mengangkat tubuh Litha, lalu dia senyum-senyum sendiri.
"Heh ... Gadis ini berani juga, mencoba menipu Ray, coba kita lihat sampai dimana keberanianmu."
Firza menatap lekat wajah Litha dalam gendongannya, ditelisiknya lebih dalam bulu mata dan bentuk mata yang terpejam, ada jejak air mata didekatnya, anakan rambut yang tidak beraturan, hidung mancung, juga rona kemerahan di pipi sampai ke bibir polosnya yang agak terbuka..
Ssssshhhhh........
Desir angin menerpa relung hati Firza. Diletakkan perlahan tubuh Litha di kursi penumpang, Pak Tino mengambil posisi di samping Firza yang mengendarai mobil menuju rumah utama.
Sssssshhhhh........
Desir angin kembali menyentuh sisi hati kosong Firza ketika melihat bayangan Litha dari kaca spion. Hatinya tergelitik.
"Nona, bangunlah, tidak usah berpura-pura pingsan," sahut Firza menahan tawa. Wajah tegang Pak Tino sedari tadi jadi semakin menegang sampai tidak bisa berkata apapun.
"Apa!!! Dia tau kalau aku hanya pura-pura pingsan. Hiks ... Ibuuu ... Tolong aku, huhuhuhuhu.... "
"Sudahlah Nona, saat ini kau berada di dalam mobilku, tidak ada Ray disini." Firza masih tersenyum menahan tawanya.
Karena sudah terdesak dan pamannya sudah gelisah terus-terusan melihat ke arahnya, Litha menyerah.
"Maaf," seraya mengangkat perlahan badannya untuk duduk, dihapusnya butiran keringat di pelipisnya, hatinya semakin takut dari sebelumnya, tapi entah kenapa ia merasa lebih aman di samping sosok di belakang kemudi itu.
"Hahahahaha ... bagaimana bisa muncul ide utk berpura-pura pingsan hah!"
Akhirnya Firza tidak bisa menahan tawanya lagi. Ia tertawa lepas, terdiam sejenak menyadari kapan terakhir kali ia tertawa seperti ini.
Litha hanya bisa diam dan tertunduk pasrah, begitu juga pamannya, pasrah layaknya telur di ujung tanduk.
"Apapun alasanmu, kau tetap harus bisa menjelaskan bagaimana Nyonya Besar bisa terjatuh di depan Ray nanti," Firza mewanti-wanti.
"Tenang saja, ada Nyonya Besar, Nona tidak perlu takut. Lain halnya kalau yang kau hadapi hanya Ray seorang seorang," sambung Firza melirik melalui kaca spion. Dilihatnya tatapan kosong di wajah gadis yang dia sapa Nona.
"Dia bicara denganku dengan sopan sekali tapi tidak canggung menyebut Nyonya Besar dan Tuan Muda, sebenarnya siapa dia?"
"Nona, sampai kapan kamu mau keluar, dari tadi mobil ini sudah berhenti, apa kau mau kugendong dan melanjutkan sandiwaramu"
"Ahhh ... maaf Tuan, tidak perlu, saya sudah sadar dari pingsan saya, saya memang kalau pingsan hanya sebentar saja hehehehe...." Litha ngelantur tidak jelas.
Pamannya hanya bisa memegang kepalanya sendiri.
"Lithaaaa ... apa yang sudah kau katakan, kalau di depan Tuan Muda Rayyendra bukan hanya kau yang habis, tapi Paman juga. Untung sandiwaramu diketahui Tuan Firza." Pak Tino hanya menghela nafasnya dalam sekali.
'Benar-benar gadis ini ...'
Kedua kalinya Firza tergelak yang membuat Litha dan Pak Tino keheranan.
"Ya sudah, keluarlah sekarang, jangan terlalu lama, bisa-bisa kau dicabik sama Ray hahaha...,,"
"Oh ya siapa namamu?"
"Hah ... dia menanyakan namaku?"
"Litha, Tuan Firza. Maafkan dia Tuan, dia keponakan saya, dia tadinya mengantarkan titipan istri saya dari kampung, tidak tau kalau akhirnya jadi begini," jawab Pak Tino menunduk hormat.
"Litha ... Ayo keluar ngapain bengong!" bisik Pak Tino melototkan matanya ke hadapan Litha.
Litha hanya diam mengikuti, kaki kirinya terkilir, jalannya pun terpincang-pincang. Tidak disangka badannya diraih dan dipapah oleh Firza, air muka Litha serba salah mau maju melangkah atau diam saja.
"Ayo aku bantu, kali ini kau tidak berbohong, kakimu memang sakit, kan?"
"Ah ... iya terimakasih Tuan ...."
.
.
.
# Di ruang teras halaman depan rumah utama #
"Maafkan saya Nyonya ... Saya benar-benar tidak mengetahui kalau Nyonya ada di depan saya." Litha menunduk memohon maaf setelah menjelaskan rinci insiden tersebut.
"Heh! Kau ini punya mata tidak? Atau kau ini dilahirkan dengan mata yang buta hah!!! Bisa-bisanya kau beralasan tidak melihat Nenek," umpat Ray yang sedari tadi menahan emosinya.
"Ray ... apa kau bisa diam sedikit saja, lama-lama bukan tangan dan lutut Nenek yang sakit tapi telingaku yang sakit mendengar ocehanmu. Biarkan aku yang bicara dengan gadis ini." Nyonya Besar gerah dengan umpatan kasar cucunya sedari tadi.
"Kau ini, umurmu saja yang makin tua tapi kelakuanmu mengalahkan bocah ingusan," umpatnya dalam hati.
Semua terdiam, hening tidak ada suara.
"Jelaskan siapa dirimu, Nona?" tanya Nyonya Besar.
"Lihat, Nyonya Besar saja dan Tuan Muda satunya sangat berlaku sopan dan elegan, tidak kayak Tuan Muda satunya, seperti singa yang mengaum gak jelas."
Litha hanya berani mengumpat Ray dalam hatinya. Tiba-tiba terkejut lengan atasnya dicubit keras pamannya untuk menyadarkannya dari umpatan dalam hati.
"Ah, iya maaf-- maaf Nyonya Besar. Nama saya Litha, saya berasal dari Kota A, kota yang sama dengan Paman Tino, saya disini kuliah di Universitas ABCDE semester tiga sambil bekerja paruh waktu."
"Bekerja paruh waktu?"
"I-- Iya Nyonya Besar, untuk menghidupi diri saya sendiri disini, Nyonya. Saya sudah beruntung mendapatkan beasiswa full, jadi untuk sehari-hari saya bekerja agar tidak membebani Ibu saya di kampung."
"Tapi kau tau apa yang telah kau perbuat sekarang?"
"Saya mengerti Nyonya, dan saya akan bertanggungjawab."
Entah kenapa setelah Litha mengatakan 'bertanggungjawab' terdengar suara-suara ejekan, terutama suara berat Ray menimpali, "Cih, besar juga nyalimu mau bertanggungjawab sama Nenek."
Nyonya besar menarik kedua sudut bibirnya ke atas, "Dengan cara apa kau akan bertanggungjawab?"
"Mati aku!!! Salah bicara ... Ibuuu ...."
"Jawab bodohhhh!!!" hardik Rayyendra dengan arogannya menarik rambut Litha ke belakang sampai kepalanya mendongak melihat wajah tampan tapi tak berperasaan milik Tuan Muda pewaris grup Pradipta Corp.
"Lepaskan Ray! Pecundang kalau kau menyakiti wanita!" Firza memegang tangan Ray meminta untuk segera melepas jambakannya.
"Ray!!!"
Kali ini suara Nyonya Besar meninggi, yang punya nama langsung melepas genggamannya di rambut Litha.
"Katakan Nona, dengan cara apa kau akan bertanggungjawab?" Suara Nyonya Besar kembali seperti semula dan mengulang pertanyaannya ke Litha.
"Ma-- Maaf Nyonya mungkin untuk materi saya tidak memilikinya ta-- tapi saya bisa bertanggungjawab dengan tenaga yang saya punya, Nyonya."
Litha sudah putus asa mau mengatakan apa, dia bingung harus bagaimana, dia bagaikan remahan biskuit yang gampang dihancurkan jika dibandingkan dengan keluarga pemilik rumah megah ini.
"Maksudmu?" Nyonya Besar meminta penjelasan Litha.
"Kau akan mengkompensasi insiden tadi dengan tenagamu begitu?"
Nyonya Besar seketika paham maksud ucapan Litha barusan. Ia langsung tersenyum penuh arti, "Benarkah?"
Wanita renta itu masih meyakinkan diri kegirangan, seperti anak kecil yang mendapatkan Lollipop kesukaannya.
"Saya tidak punya apa-apa Nyonya, yang saya punya hanya tenaga dan pikiran untuk berjuang dan bertahan hidup, Nyonya." Litha terisak menunduk, hatinya sedih sekali.
Entah kenapa ucapan Litha ini membuat hati Firza teriris, ia bisa dengan jelas merasakan pilunya kehidupan gadis yang ada di depannya.
"Baiklah, aku sudah menentukan apa yang harus kau berikan sebagai bentuk tanggungjawab."
Semua orang yang di sana terperangah tidak percaya dengan apa yang Nenek Dayyu, si Nyonya Besar katakan. Tidak seperti kebiasaan yang selama ini ia lakukan, selalu berhati-hati dalam segala hal, tidak pernah terburu-buru dalam menentukan sesuatu. Tapi kali ini hanya beberapa detik, Nyonya Besar sudah sangat yakin dengan apa yang ada di kepalanya.
"Apa yang ingin Nenek lakukan?" gumam Firza dalam hati.
"Cih! Awas saja kalau Nenek memaafkannya." Rayyendra tidak terima apa yang Neneknya katakan.
"Hiks... Apa yang ingin Nyonya Besar lakukan padaku, Ibuuu... Aku takut sekali...."
Berkali-kali Litha memanggil Ibunya, tanda kepasrahan dirinya dengan apa yang terjadi.
- Bersambung -
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
🌺°•▪︎MaMia Elf °▪︎•°🌈💦🌟
Bagus novelnya
2022-10-10
0
Ifa
udah aku fav kk
2022-01-01
0
Rinjani
Litha anak baik tanggung jawab ..Nenek Dayyu sabar dan akan lbh baik klu Litha d jodohin aja 🤣🤣🤣🤭
2021-11-25
0