Sore itu sehabis hujan, Litha meminjam sepeda motor Ninda untuk mengantarkan masakan Bibi Rima kepada pamannya. Suami Bibi Rima bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga bagian belakang rumah seorang Nyonya Besar. Ya, hanya belakang rumah saja karena bagian ini pun sangat luas, kurang lebih luasnya lima kali dari rumah Paman Tino di kampung, itupun hanya bagian belakangnya saja, bisa dibayangkan kan seberapa luasnya rumah tempat bekerjanya Paman Tino.
Rumah klasik dua lantai yang begitu luas, konon katanya rumah ini adalah rumah terluas di ibukota, dan sudah ada sejak pertengahan tahun 1900an. Itu artinya pemilik rumah ini memang terpandang dan kaya raya sejak jaman dulu, bukan seperti istilah sekarang OKB, Orang Kaya Baru.
Pertama kali Litha ke tempat ini pun membuatnya takjub disertai kebingungan yang memusingkan. Sudah luasnya tidak kira-kira, ditambah dengan penjagaan dari satuan pengamanan yang berlapis. Di pintu gerbang utama setinggi dua meter ada satpam yang memeriksa identitas dan keperluan, berikutnya tidak berupa gerbang namun tanaman yang dibentuk sedemikian menyerupai pagar setinggi satu meter dan terdapat pos lagi untuk di cek lagi keperluannya lebih detail, kali ini dijaga oleh bodyguard-bodyguard yang memiliki kemampuan penjagaan yang mumpuni.
Bagi tamu hanya bisa sampai di pos ini, kecuali bagi pemegang passcard dan tamu yang sudah mendapat persetujuan dari Kepala Pelayan untuk masuk ke dalam rumah utama. Di depan pos dalam gerbang rumah mewah ini terdapat pendopo terbuka yang luasnya seukuran dua kali rumah Paman Tino. Di sisi kanannya tersedia area parkir luas dan sisi kirinya pendopo itu ada taman lengkap dengan kolam ikan yang menyejukkan. Pemandangan yang asri diiringi suara lonceng-lonceng angin dari bambu dan air terjun kolam, membuat siapapun akan terbuai.
Disinilah sekarang Litha berada, di pendopo khusus untuk tamu biasa, menunggu Paman Tino keluar dari rumah rumah utama dengan menenteng food container berisi semur jengkol buatan Bibi Rima.
"Kata Paman, bos besarnya sangat baik hanya saja sangat disiplin kalau masalah pekerjaan."
"Ah ... bagaimana ya rasanya menjadi pemilik rumah inii? Orang kaya yang tidak pernah memikirkan besok makan apa, tinggal dimana dan melakukan apa untuk mendapatkan uang, sampai-sampai uangnya bingung mau dihabiskan kemana."
"Rumah di dalam sebesar apa ya? halaman depan gerbang pertama pun begini luasnya, seperti lapangan sepakbola saja. Harusnya di rumah ini disediakan sepeda atau otopet kek untuk mobilitas, gak bisa bayangin kalau harus bolak balik dapur sampe pendopo ini hanya untuk menyuguhkan minuman, hiiiiii ...."
Litha yang dari tadi bermonolog sendiri seketika bergidik ngeri, membayangkan kalau itu terjadi pada dirinya. Sedetik kemudian dia tergelak sendiri mengingat pertama kali ia bertandang ke rumah ini menemui pamannya.
🍀 flashback on 🍀
"Bisa tunjukkan KTP Nona?"
Suara dingin satpam gerbang utama membuat Litha menelan salivanya. Ada rasa takut menjalar di tubuhnya, dia tidak pernah berhadapan dengan satpam yang begitu dingin tampilan dan suaranya, 'Partono' Litha membaca dalam hati nama satpam itu yang tertera di sebelah dada kanannya.
"Oh, namanya Partono toh, sama namanya dengan mbah Tono di kampung, tapi kalau mbah Tono adem banget kalau ngomong, gak kayak bapak satpam ini," dalam hati Litha bergumam
"Hei Nona kau tidak tuli, kan? Mana KTPmu? Kau tidak bisa masuk tanpa menunjukkan KTP."
Suara Partono mengejutkan Litha yang masih bergumam sendiri.
"Eh, iya-- iya-- Pak, tu-- tunggu sebentar," jawab Litha gugup, agak gemetar sebenarnya.
Litha menunjukkan KTPnya, tidak lama setelah dilihat dan dicocokkan wajahnya dengan foto KTP barulah Litha diperbolehkan masuk dengan meninggalkannya sebagai jaminan.
"Yeee ... Pak, Bapak, gak segitu juga kali mencocokkan muka asli sama foto di KTP. Mentang-mentang di foto buluk banget, gak compare dong kalau dibandingin dengan wajah sekarang yang sekarang udah agak glowing dikit," protes Litha sebal.
"KTP Nona sementara diletakkan di sini dulu, nanti setelah selesai urusan, baru bisa diambil lagi," sahut Partono menyilakan Litha berjalan masuk ke dalam gerbang utama.
Saat itu Litha membayangkan akan langsung menemui pamannya, ternyata oh ternyata... Litha hanya menganga tak percaya dengan apa yang di depan matanya, dengan jarak beberapa ratus meter ke depan masih ada pos lagi dan dia harus melapor lagi dengan penjaga berbadan kekar dan lebih dingin dari Si Partono.
"Kalau tahu rumah tempat Paman bekerja seperti ini aku pinjam sepeda motornya Ninda tadi,"' ucap Litha lemas dengan meringis, belum berjalan kesana saja kakinya terasa sudah lemas.
🍀 flashback off 🍀
"Apa yang kamu tertawakan Litha?" Suara Paman Tino menyadarkan lamunan Litha.
"Oh ... Paman sudah disini. Ah, tidak bukan apa-apa Paman, hanya saja tiap aku kesini, selalu teringat sewaktu pertama kesini, makanya setelah itu kalau saya kesini pasti meminjam sepeda motor Litha hahahahahaha ... Pegelnya itu loh Paman udah bisa saya bayangkan duluan hahahahaha ...." gelak Litha keras sampai penjaga pintu di pos menoleh ke arah Litha dan pamannya.
"Litha ... pelankan suaramu!" Suara Paman Tino mengecil namun penuh penekanan.
"Hihihihi ... iya ... iya ... maaf Paman, Litha lupa kalau ini kediaman anti bising nan damai hihihihi .... Nih Paman, Bibi memasakkan dengan penuh cinta semur jengkol ini, hanya untuk suaminya tercinta." Litha menyodorkan food container ke tangan Paman Tino.
"Ah ya, terima kasih Tha, sudah repot membawanya untuk Paman, bagaimana kabar ibu dan adikmu?" tanya Paman Tino kemudian setelah menerima bawaan Litha.
"Semua baik-baik Paman, Ibu masih belum menunjukkan ke arah kesembuhan, mungkin nanti setelah beberapa kali kemoterapi akan membaik tapi Vania mulai minggu depan sudah mulai masuk asrama." Litha terlihat bersemangat menceritakan adik semata wayangnya.
Ia sengaja memasukkan adiknya di sekolah berasrama supaya Vania lebih fokus belajar dan ia lebih tenang, setidaknya jika di asrama, pergaulan adiknya lebih terjaga ketimbang sekolah yang bukan asrama karena ibunya yang menggunakan kursi roda akan kesulitan untuk mengawasi Vania sedangkan ia kuliah di Ibukota.
Paman Tino adalah adik kandung dari ayahnya, mereka hanya dua bersaudara Sepeninggal ayah, Paman meminta Ibu dan anak-anaknya untuk tinggal di rumah mereka menemani Bibi yang membuka warung camilan di teras rumah, sebab ia bekerja di Ibukota, di rumah pemilik Pradipta Corp., perusahaan terbesar dan multinasional yang telah berkembang ke Asia bahkan Eropa, Australia dan kini Amerika.
"Syukurlah kalau begitu ... maaf Paman tidak bisa lama-lama ngobrol, Kepala Pelayan mengawasi Paman bekerja, jagalah diri baik-baik ya, Nak," ujar Paman Tino, setelahnya ia beranjak melewati pos dan memasuki rumah utama keluarga Pradipta.
"Hmpffffhhhh ... semoga kontrak Paman segera selesai dan usaha mandiri saja di kampung, walau gaji besar tapi kebebasan terkekang, kasihan Paman...," ujarnya pelan memandang tubuh pamannya yang menjauh hilang diantara rimbun tanaman pagar.
Litha menstarter sepeda motor yang ia pinjam, karena Paman Tino menyinggung ibunya, ia jadi ingat wajah ibunya yang kini sudah lama tak dihiasi senyuman. Hanya ada kecemasan di wajah untuk ketiga putrinya, meratapi hidup keluarga yang hancur berantakan sejak peristiwa yang menyakitkan. Litha menarik gas motor maticnya, tak dinyana karena pikirannya masih melayang di wajah ibunya ia terlalu menarik gas dan sayup-sayup dia mendengar
"Awaaaaaaassssss ... !!!"
Seketika Litha tersadar dan membelalakkan kedua bola matanya bersamaan dengan menekan stang rem di kanan kirinya.
"Ciiiittttt ... !!!"
Suara decit ngilu tidak terhindarkan, semua mata yang memandang terlihat kaget luar biasa seolah tidak percaya dengan apa yang dilihat dengan mata mereka.
Bruakkkhhhhhhhhh......
Litha membanting setir ke arah kiri menghindari seseorang yang tadi dilihatnya di sebelah kanan. Tidak terjadi tabrakan, dia jatuh tertimpa motornya sendiri, namun ia juga tidak kalah kaget melihat orang yang dihindarinya tersungkur iba di tanah.
"A-- a-- apa yang terjadi? apa yang kulakukan?
Hikssssss.... Litha merintih dalam hati, rasa sakit nyeri di kaki dan tangannya tidak sebanding dengan rasa gugup dan takut melihat seseorang yang jatuh tidak jauh dari tempatnya.
"Siapa dia dan kenapa tiba-tiba muncul? aku tidak melihatnya tadi ...."
Litha membathin dengan penuh rasa ketakutan dan cemas.
- Bersambung -
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
Rinjani
lo kok tiba2 hrs hati2
2021-11-25
0
naviah
saya sudah like+favorit Thor🥰
wah sepertinya litha kebanyakan ngelamun 🤭
2021-11-07
1
ZainabMuhdhor89
loh kan saya jadi keterusa..... lanjooot
2021-11-05
2