"Apa jawabanmu Tuan Yang Mulia Rayyendra ... kau ingin mematahkan sendiri ucapanmu barusan huh ...." Tidak kalah sengit Litha membathin.
"Apakah jawaban saya sebelumnya belum jelas, Nona?"
Rayyendra mengatakannya dengan penuh tekanan. Aura dingin menyeruak ke seluruh aula, sebisa mungkin yang ada disitu menahan nafas, antara takut dan tegang menjadi satu.
"An-- "
Suara Litha berhenti, salah satu bahunya dicengkram kuat, dia tidak menoleh.
"Jangan gegabah Nona! Simpan semua rasa penasaranmu." Suara pelan namun jelas masuk ke gendang telinga Litha.
Meski tidak melihatnya, ia tahu siapa pemilik suara. Seperti robot ia mematuhi perintah tanpa protes, ia langsung mendudukkan dirinya.
Ninda melirik sekilas laki-laki yang berbisik ke Litha. Ia tidak begitu jelas apa yang dibisikkannya, tapi sangat manjur untuk membungkam suara Litha ketimbang ia menarik-nariki ujung baju sahabatnya itu.
Setelah yakin Litha kembali duduk dengan tenang, ia kemudian beranjak meninggalkan barisan kursi paling belakang itu kembali ke samping panggung memasang mode siap untuk Tuan Mudanya.
🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀
"Dia pikir itu dia siapa hah!!! Besar sekali nyalimu, gadis licik ..," umpat Rayyendra begitu masuk mobilnya.
Betapa susahnya ia tadi menahan amarah demi menjaga citranya di depan publik. Rasanya ia ingin segera menangkap leher gadis itu dan mencekiknya saat itu juga, berani mengusik kehidupan pribadinya, bahkan Neneknya pun bersikap hati-hati jika menyinggung privacynya.
"Apa yang di maksud menyelamatkan karena memilki alasan yang sifatnya pribadi. Dia tau apa? Sok tahu!!!" Rayyendra masih melanjutkan umpatannya tidak peduli Abyan sudah di belakang kemudi bersiap melajukan kendaraan.
"Yang dimaksud Miss Responbility adalah mutasi Tuan Sebastian karena dia ayah dari kekasih Anda, Tuan Muda." sahut Asisten Yan sambil memutar kemudinya.
"Apa.....!?!? Darimana dia tahu? Ini masalah intern Pradipta grup, dan hanya sebagian yang tahu." Ray melempar tatapannya ke kaca spion depan.
"Semuanya tahu Ray, hanya media saja yang tidak berani memberitakannya." Abyan menjawab dalam hati, ia tidak ingin menanggapi Tuan Mudanya jika sedang marah, bisa-bisa dia juga kena nanti.
"Kalau benar Yan... siapa yang berani memberitahukannya, skandal itu tidak ada di media, kan?"
"Tidak ada media yang berani memberitakannya, Tuan. Kalau dia tahu ya pasti bersumber dari rumah utama"
Rayendra menghela nafasnya berat.
"Sebegitu dekatkah Nenek dengan gadis itu? Mengapa orang yang kau percayai seperti dia? Lihat, tingkahnya semakin berani."
"Yan, aku mau ke rumah utama, ada yang harus kubereskan," titah Rayyendra pada asistennya, dibalas dengan sekali anggukan.
Di lain tempat dan situasi. Litha duduk dengan kepala sedikit tertunduk. Di ruangan dekannya, ia menjadi pesakitan, siap diadili dengan petinggi universitas yang tadi juga mengikuti perkuliahan umum.
"Mana keberanianmu seperti yang kau bertanya tadi Litha?" Bu Marisa, dekan kampus Z, tempat Litha kuliah mencecarnya. Litha hanya diam, masih tertunduk.
"Kau ini tahu aturannya tidak? kan sudah jelas disebutkan di grup angkatan semalam bahwa tidak ada session tanya jawab karena Tuan Rayyendra tidak suka ditanya." Salah satu dosen berkacamata ikut menimpali, Pak Munir, dosen walinya.
"Semua tahu kau mahasiswa yang pandai, nilai-nilaimu sangat memuaskan, tapi attitude mu sangat buruk. Gosipmu yang menjadi simpanan om-om pun merusak citra kampus ini, ditambah lagi sekarang sikap sok tahumu bertanya pada Tuan Muda semakin membuat kampus kita makin buruk." ujar seorang dosen wanita berkacamata yang sedari tadi melihat Litha tertunduk, dia ketua jurusan.
Litha yang awalnya menyadari kesalahannya, ditunjukkan dengan sikap diam dan tertunduknya kini mengangkat wajahnya karena ucapan dari ketua jurusannya. Apa dia seburuk itu di mata orang-orang di kampus ini? Tudingan dia sebagai wanita simpanan semakin menguat, walaupun terlihat demikian. Dia sakit hati.
"Maaf bapak dan ibu, saya tidak mengetahui bahwasanya tidak ada session tanya jawab, karena saya sudah dikeluarkan oleh admin dari grup tanpa saya tahu sebabnya. Saya akan bertanggungjawab dengan meminta maaf langsung kepada presdir Pradipta Corp."
Litha muak disudutkan, ia ingin segera mengakhiri persidangan tanpa ada pembela untuknya.
"Heh ... tau dirilah. Apa kau bisa menemui presdir? Apalagi kau sudah melakukan hal yang tidak disukainya." cibir ketua jurusan.
"Sudahlah... Litha, lain kali kau harus berpikir lebih panjang sebelum kau mengatakan sesuatu. Ada hal-hal di dunia ini memiliki rules nya sendiri yang mau tidak mau kita harus mengikutinya. Untung saja Tuan Muda tidak membatalkan MoU yang sudah disepakati. Sekarang, istirahatlah dan renungi apa yang telah kau lakukan." ujar Pak Rektor mengakhiri.
Tidak pernah sebelumnya seorang Rektor ikut duduk menyelesaikan masalah kampus di universitasnya, ada dekan dan jajarannya yang akan mengurusnya. Tapi tidak kali ini, masalah ini menyangkut universitas.
"Baik Pak Rektor, terima kasih atas pengertian dan kebijakannya. Saya akan instropeksi diri dan memastikan hal ini tidak akan terulang kembali." Litha berdiri dari duduknya dan membungkukkan badannya di depan rektor, dekan dan semua dosen yang ada di ruangan tersebut.
Ketika ia berhadapan dengan ketua jurusan ia membungkukkan badannya meminta maaf, namun setelah itu ia menatap mata ketua jurusan dan berkata "Saya bukan wanita simpanan Bu. Maaf jika selama ini saya sudah menciptakan rumor yang membuat citra kampus ini buruk."
Kali ini ia hanya menundukkan kepalanya saja, lalu ia berbalik dan keluar dari ruangan. Langkahnya tegap namun hatinya perih, air matanya keluar dengan sendirinya. Ia tidak menyangka dampak gosip wanita simpanan akan membuatnya sakit hati seperti ini.
Sebelumnya Litha mengacuhkan tanpa memedulikan omongan orang, ia hanya fokus pada kehidupannya sendiri hingga ia dikeluarkan dari grup angkatan di kampusnya, Litha tidak ambil pusing.
Ahhhh..... betapa melelahkan hidupnya, ingin rasanya Litha mengeluh namun ia sadar ia akan semakin melemah jika hanya mengeluh. Dihapusnya air matanya, ia langsung menuju area parkir, ada mobil mewah milik Nenek Dayyu yang sedang menunggunya. Ia tersenyum, lalu masuk ke dalam mobil yang membawanya ke rumah utama.
🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀
Litha melangkahkan kaki masuk melalui ruang dapur, kebiasaannya selama ini setiap kali datang ke rumah utama. Dia membuka kulkas dan mengambil gelas, menuangkan air dingin untuk menyejukkan hatinya. Belum tandas air di gelas, ada suara menegurnya.
"Sebutan apa yang cocok buatmu? semakin kurang ajar atau semakin tidak tahu diri?"
Glekkkk...
Litha tersedak air minumnya sendiri. Ia menoleh arah sumber suara.
Tubuh tinggi Tuan Muda Rayyendra yang bersandar pada dinding sembari melipat tangan, kedua matanya mengintimidasi lawan bicaranya. Litha tidak bisa berbicara, ia kaget, kaku menatap sosok yang kini didepannya.
"Kenapa? Mana nyalimu yang begitu besar?" ledek Ray melihat Litha yang sekarang berbeda, tidak segarang yang dia lihat di aula kampusnya.
Litha hanya diam. Lalu permintaan maaf atas mengajukan pertanyaan di kuliah umum siang ini terucap lirih dari mulutnya, matanya kosong meski menatap Rayyendra.
"Kau pikir bisa berbuat seenaknya hah?!? Hanya karena kau dekat dengan Nenek!"
Satu tangannya yang besar sudah meraih dagu Litha, dicengkramnya kuat, memaksa wajahnya untuk berhadapan dengan wajah pemilik tangan.
"Maaf ...."
Litha mengulangi permintaan maafnya, namun kali ini ia menutup kedua matanya, ia tidak berani melihat wajah penuh amarah pria di depannya. Ia akui, tidak ada keberanian sedikitpun di dirinya saat ini, hanya rasa takut dan cemas.
"Aaaawwwwww ... sakit Tuan!"
Litha merintih pelan, ditahan sekuat tenaganya agar dia tidak mengeluarkan airmata, ia sudah terlihat lemah tadi.
Rayyendra malah makin menguatkan cengkramannya, dia begitu tertantang sampai dimana Litha bisa menahan sakit yang ia terima. Ia tersenyum ketika ujung mata Litha mulai mengalirkan air tanpa suara.
"Am-- ampun Tuan ... saya mohon lepaskan, sakittt ...."
"Kau tahu batasanmu, kan?" Rayyendra melepas cengkramannya. Ada bekas jemarinya di dagu Litha. Semakin deras air yang mengalir di pipinya, Litha segera menghapusnya dan mengusap dagunya yang sakit.
"Saya tahu batasanku, Tuan. Maaf, karena telah membuatmu marah."
Litha membungkukkan badannya lagi. Ia tahu diri, siapa dia dan apa posisinya. Ia tidak lebih dari seorang pelayan VIP di rumah ini dan hanya berlaku untuk Nyonya Besar, bukan termasuk Rayyendra.
Rayyendra agak sedikit terkejut, dia tidak menduga reaksi Litha seperti ini. Bayangannya di mobil selama perjalanan ke rumah utama, mereka akan beradu mulut dan itu membuatnya bersemangat karena mendapat lawan yang bisa mendebatnya.
Selama hidupnya tidak ada yang berani beradu pendapat selain neneknya, bahkan Abyan yang meraih predikat cumlaude dari kampus hanya menurut dan mengalah jika ia memiliki pemikiran yang berbeda dengannya.
"Sial.... ada apa dengannya? Kenapa dia berbeda sekali?"
"Maaf, Tuan. Aku lupa tempatku dimana." Suara hati Litha menyesakkan rongga hatinya sendiri.
"Maaf Tuan, apakah sudah selesai? Saya ingin ke taman menemui Nenek seperti biasa," tanya Litha menundukkan pandangannya, bak seorang jongos kepada majikannya.
"Hemm ...." Ray hanya menjawab tanpa membuka mulut.
Litha mengangguk dan menarik diri dari pandangan Ray, hatinya masih terasa sakit, moodnya belum kembali normal, kini ditambah sisa sakit dan tanda cengkraman di dagunya. Ia tidak langsung menemui Nenek Dayyu tapi menuju ke kamar mandi.
Didepan cermin kamar mandi ia melihat wajahnya, bukan wajahnya yang terlihat tapi kemalangan yang terjadi pada dirinya. Sekilas seperti rekaman berkelebat dalam pandangannya, memori-memori kesedihan yang tersimpan. Akhirnya ia terduduk dan menangis tersedu dengan suara air kran westafel yang ia biarkanmengalir. Sesak ia rasakan begitu penuh, hatinya menyimpan sedih seorang diri.
Sementara itu di ruang keluarga, giliran Ray yang tertunduk di hadapan neneknya. Ternyata, ketika Ray mencengkram dagu Litha dengan kuat, Nenek Dayyu melihatnya. Ia tidak tahu apa yang menjadi masalah diantara keduanya, tapi tidak pantas seorang laki-laki menyakiti fisik wanita, terlebih wanita itu sudah memohon ampun.
"Seperti itukah aku mengajarimu?" tanya Neneknya geram. Ia merasa gagal mendidik cucunya berperilaku hormat kepada wanita.
Ray hanya diam tertunduk.
"Dia wanita yang tegar Ray, jangan kau paksa dia menangis, pasti sakit dihatinya melebihi sakit yang kau berikan difisiknya."
"Dia terlalu berani padaku Nek. Nenek terlalu baik padanya. Dia memanfaatkan Nenek." Ray mencari pembenaran.
"Aku hanya memberi sedikit kebaikan di tengah kemalangan hidupnya, Rayyendra. Jika kau tidak bisa menghormatinya, cukup kau tidak membuatnya sedih dengan perlakuanmu, apalagi sampai ia menangis. Percayalah ... apa yang kau lihat di permukaan tidak bisa kau duga, ada apa dan seberapa dalamnya air itu kecuali kau menyelaminya."
Nenek Dayyu memberi petuah bijak pada penerus keluarga Pradipta. Ia sangat berharap cucunya menjadi seorang yang kuat namun bisa menghargai wanita, meski dia tidak mengenal apa itu dan bagaimana wanita karena dalam hidupnya wanita adalah neneknya.
"Aku akan memintanya istirahat di rumah, pasti hari ini ia lalui dengan berat." Nenek Dayyu beranjak dari tempatnya, memanggil Pak Is menyampaikan maksudnya barusan dan masuk ke kamar meninggalkan Rayyendra sendirian.
"Nek, yang menjalani hari berat itu aku, cucumu. Dia justru pelakunya. Tapi kenapa malah kau membelanya?" gumam Ray bingung Neneknya yang hilang dari pandangannya.
"Hmmmpffffffhhh ...." Ray menghela nafasnya.
Dilihatnya Litha keluar dari kamar mandi, masih dengan wajah tertunduk, kemudian ia dihampiri Pak Is untuk meneruskan perintah neneknya. Ia mengangguk tanda mengerti, kemudian berjalan mau keluar rumah dari arah dapur.
Dengan cepat Ray menyusul Litha. Sebelum Litha melangkahkan kakinya ke pintu, tangannya ditarik. Litha berbalik dan matanya bersirebok dengan manik milik Rayyendra. Suasana canggung pun tercipta.
"Kau mau kemana?" tanya Ray mencairkan suasana, masih digenggammya tangan Litha. Ia bingung mau mengatakan apa, jadi pertanyaan itulah yang keluar dari mulutnya, padahal ia sudah tahu jawabannya.
"Pulang Tuan, Nyonya Besar mengizinkanku untuk istirahat"
"Kenapa? Kau mengadu apa pada nenekku?"
🙋 Hei Tuan Muda, kau lihat sendiri Nyonya Besar tidak langsung bertemu Litha hari ini, bagaimana Litha bisa mengadu padanya 🙋
"Hari ini saya belum bertemu dengan Nyonya Besar, Tuan. Beliau hanya mengizinkanku istirahat tanpa saya tahu alasannya."
Mata Rayyendra menelisik ke Litha, masih ada bekas cengkramannya walau sekarang sudah terlihat samar, matanya juga masih terlihat hampa, dan tidak ada semangat dalam suaranya. Benar, ia dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
"Maaf Tuan, kalau tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, saya pamit pulang."
"Oh, ya sudah, pulanglah kalau begitu."
"Tapi --"
"Tapi apa?"
"Mohon lepaskan tangan Tuan dari lengan saya."
Glekkkk....
Refleks Rayyendra melepaskan genggamannya yang dari tadi ia tidak sadari.
Litha mengangguk sekali lagi dan meninggalkan Rayyendra.
- Bersambung -
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
Rinjani
jahat Rayyandra ..lo udah lah Litha Nenek Dayyu sayang dan malah lihat kelakuan cucu tersayangnya😢🤲🤲☝️🙏🙏
2021-11-29
0
Puan Harahap
masuk pavorit tbor, biar terlihat saat udah up
2021-11-12
1
💖🍁K@$m! Mυɳҽҽყ☪️🍁💖
litha gadis yg kuat
2021-11-10
1