Firda duduk malu-malu di kursi makan, Umi dan Abah hanya tersenyum tipis melihat menantunya yang salah tingkah.
Karena tadi di minta bantuin di dapur untuk membuat sarapan malah tidur, untungnya Umi mengerti kalau Firda masih belum siap untuk jadi seorang istri.
Beda dengan Bujang, dia akan menatap galak kalau Firda melihat ke arahnya.
Habisnya, sudah jadi menantu orang lain tapi kelakuannya masih absurd. Disuruh sholat malah tidur.
"Hari ini kuliah, Nak?" tanya Umi lembut.
Menantunya itu jauh lebih muda dari kedua orang putrinya yang sudah menikah, jadi harus di perlakukan seperti anak bungsu.
"Hari ini nggak ada kelas, Umi." jawabnya lembut, sampai Bujang tersedak nasi goreng mendengar suara mendayu-dayu milik Firda.
Dasar ratu drama.
"Bisa masak?" tanya Umi lagi.
Firda mengangguk kalem.
Kepentok apa kepala nih bocah.
"Masak apa saja itu? Umi jadi pengen mencoba masakan menantu Umi, pasti suamimu jika pengen rasa juga. Iyakan, Mish?" Umi beralih pada Bujang yang cuma bisa tersenyum.
Palingan juga cuma bisa masak air.
"Cuma bisa masak air sama telur ceplok, Umi."
Tuh kan, apa aku bilang.
Umi dan Abah hanya tersenyum, Bujang pura-pura tidak peduli. Anak gadis sekarang kan bisanya cuma nongkrong, ketawa-ketiwi, dan rebahan di dalam kamar sambil hanyut dalam dunia medsos.
"Nanti belajar sama, Umi? Mau?"
Terpaksa Firda mengangguk.
"Atau mau ikut Hamish ke cafe? Bantu-bantu, sekalian Hamish akan memperkenalkan kamu dengan karyawannya."
"Nggak dulu, Umi, Firda di rumah saja sama Umi belajar masak," jawab Firda cepat.
Apa kata dunia jika tahu Firda sudah menikah, tidak, tidak ada yang boleh tahu. Bahkan Sisil dan Gita saja tidak tahu jika dirinya malam tadi sudah menikah, bisa tertawa senang Gita mendengar musibah yang menimpa dirinya. Secara kan dia yang paling keberatan untuk patungan membeli ponsel.
Bujang sendiri juga belum ada niat untuk memperkenalkan Firda sebagai istrinya, biarlah kabar yang beredar meredam terlebih dahulu baru Bujang akan membawa Firda ke permukaan.
Bujang juga harus mempersiapkan mentalnya terlebih dahulu, karena menikahi seorang gadis remaja tidak terpikirkan oleh Bujang sama sekali.
Setelah sarapan, Bujang pergi cafe. Dia harus mengklarifikasi pada semua karyawannya tentang pembatalan pernikahan dengan Mawar.
Untungnya dia masih bisa berpikir jernih kemarin dan segera membuat pengumuman di grup wa karyawan cafenya, begitu juga dengan grup wa teman SD, SMP, SMA, dikampus dulu dan teman-teman sekalian.
Bisa rugi berat Bujang kalau semua undangan dari pihak teman-temannya datang ke pestanya Mawar. Biaya pesta dari Bujang, yang dapat amplop justru Mawar dan suaminya.
Beuh...Maaf maaf saja ya, Bujang tidak sepemurah itu.
Banyak reaksi yang Bujang terima, dari ejekan, ingin tahu kenapa, ada apa, mengapa dan banyak juga yang prihatin dengan nasib Bujang.
"Ganteng-ganteng tapi nasibmu gak semujur wajahmu, Jang."
Nah itulah salah satu contoh ucapan prihatin dari seorang temannya.
"Gadis tak dapat, janda pun tak dapat, mungkin jodohmu nenek-nenek, Jang. Atau belum lahir."
Sadis kan? Bukan ucapan yang menghibur hati Bujang, justru membuat Bujang ingin membelah kepala temannya itu.
"Bagaimana kalau kau bertapa atau mandi air tujuh muara dulu untuk menghilangkan kesialan nasibmu, Jang?"
Ya Allah, andai membunuh itu nggak dosa, ingin sekali Bujang memberikan espresso rasa sianida pada mulut yang asal nyablak itu.
Saat itu Bujang tidak sempat membalas satu demi satu obrolan di grup wa. Dia, Abah, Umi, kedua adik dan iparnya sedang fokus mempersiapkan serangan balasan untuk Firda.
Segala hantaran dan pernak- pernik langsung di beli saat itu juga. Termasuk meminta kesediaan ustadz Syukur untuk menikahkan dirinya dengan Firda.
Akhirnya seperti yang terjadi tadi malam, Firda tidak bisa mengelak. Gadis nakal itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Firda bersama Umi Sri berada di dapur, Abah Surya cuma bisa menatap menantunya dengan senyum lucu.
Apalagi ketika melihat Firda yang meneteskan air mata dan terus mengucek-ucek kedua matanya yang perih karena di suruh Umi mengupas bawang.
"Fir, kamu nggak pernah di suruh ibumu ke dapur ya?" tanya Umi pelan melihat Firda yang memejamkan matanya menahan perih.
"Ada Umi, Firda paling di suruh cuci piring atau nyuci sayur."
"Begini, jangan terlalu dekat jarak antara bawang dengan wajahmu! Biar nggak perih."
Firda mengikuti instruksi yang diberikan oleh ibu mertuanya.
Ponsel mahalnya terdengar menjerit-jerit di atas meja makan, tapi Firda tidak berani untuk melihat dan menjawabnya.
"Angkatlah, Nak! Mungkin ada yang penting, atau suamimu yang menelepon." saran Umi Sri. Wanita berusia hampir kepala enam itu tahu jika Firda terus melirik kearah ponselnya, cuma sepertinya dia segan untuk mengangkatnya.
Suami? Mana Firda tahu berapa nomor ponsel Bujang, nama Bujang siapa saja baru tahu kalau ngobrol sama Abah dan Uminya.
Firda melihat nama Sisil yang memanggil dirinya.
[Fir, yuk ketemu di D'Nongkrongs! Kita cari tahu apa pria itu masih hidup atau sudah bunuh diri, secara kan kau sudah minta pertanggungjawaban atas kehamilan palsumu.]
Firda menjauhkan ponselnya dari telinga, dia lupa kalau ponselnya di buat dengan mode speaker menyala.
Firda menatap ayah mertuanya yang pura-pura mendengarkan berita di televisi, lalu beralih pada Umi yang untungnya sedang menggoreng ikan. Sudah bisa dipastikan kalau Umi tidak akan mendengar, tapi kalau Abah...Firda cepat-cepat menekan lambang speaker.
[ Lain kali saja, aku sedang sibuk.]
[Sibuk apaan? Memang kau sudah beranak? Aku dan Gita meluncur ke TKP ya! Kami tunggu kau disana.]
Belum sempat Firda menjawab, Sisil sudah memutuskan sambungan telepon seenak jidatnya.
"Bah, Firda boleh keluar nggak?" Firda bertanya takut-takut.
"Kemana?"
"Pulang, mau mengambil mukena."
Alasan yang tepat, tadi pagi kan dia dipinjamkan mukena oleh Umi pas sholat subuh.
"Nanti sore saja, biar bisa sekalian dengan suamimu. Bukankah Hamish tadi sudah berjanji dengan ayahmu untuk datang nanti sore?" Abah Surya tersenyum kecil, dia cukup mendengar apa yang di bicarakan oleh temannya Firda tadi di telepon.
"Iya, baiklah, Bah." Firda kembali lagi ke dapur membantu Umi, tapi cuma ngeliatin doang.
Menjelang tengah hari Bujang sudah kembali, dia hanya melirik ke arah Firda tanpa berniat untuk menegurnya.
"Bagaimana? Sudah selesai urusan di cafe?"
"Sudah, Bah. Seperti yang kita duga bersama, berita aku menghamili anak ingusan sudah menyebar luas." lirih suara Bujang karena Firda duduk tidak jauh dari keduanya mengobrol.
"Terus?"
"Aku bisa apa, Bah? Tidak mungkin aku mengatakan kalau aku di fitnah, dia sudah jadi istriku. Aku harus melindungi nama baiknya."
Abah Surya menepuk pundak putra sulungnya pelan.
"Abah bangga padamu, Mish. Memang harus seperti itu seorang suami, kecuali dia tidak kamu nikahi. Maka kita bisa melaporkan dirinya atas pencemaran nama baik, tapi dia cantik, Mish. Relakan Mawar! Kau mendapat gantinya yang masih gresh, ini namanya fitnah membawa berkah."
Abah Surya terkekeh, Hamish hanya bisa tersenyum tipis.
"Bang, kita bisa pulang ke rumah Ayah? Kan tadi pagi ayah sudah nyuruh."
Bujang mendelik, gaya ngomong Firda yang di lembut-lembutin itu membuat Bujang ingin menjitak kepalanya, tapi Abahnya justru tertawa.
Bujang bingung, sebaiknya anak nakal itu diapain ya? Apa dikarungin aja?
Pulang siang dari cafe itu harusnya disediakan makan siang, bukan diajak pulang.
Ya Allah....Bujang hanya bisa mengadu pada Tuhannya.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Mbak Latif
mesti banyakin setok kesabaran bang hamist
2023-11-23
1
Qaisaa Nazarudin
Astaga Firda mmg cari mati jadeehh😜😜
2023-04-03
0
Fahri S Wali
kak.... aq plng suka karya kk yg ini dan project memikat hati suami😍
2023-02-06
0