Ada senyum kebahagiaan yang menghiasi wajah tampan Aithan saat melihat kalau Argani ada diantara mahasiswa yang akan berangkat ke Cina.
Dua hari yang lalu, melalui salah satu panitia, Daren sudah mengirim pakaian seragam yang akan para mahasiswa kenakan selama menjadi relawan.
Para rombongan mahasiswa ini akan berangkat dengan pesawat komersil kelas VIP. Sebenarnya dari pihak kampus menyiapkan kelas ekonomi namun Daren sudah mengubahnya demi keamanan sang pangeran.
Di dalam pesawat ini terdiri 200 lebih para relawan yang akan pergi membantu korban banjir yang melanda beberapa daerah yang ada di Cina.
Mereka pun berangkat ke bandara dengan menggunakan 2 mobil sejenis hammer. Argani dan Shaini adalah mahasiswa perempuan diantara 5 mahasiswa laki-laki. Dhani sendiri adalah anak salah satu pejabat penting yang ada di Cina.
Saat mereka sudah ada dalam pesawat, Aithan sudah mengatur tempat duduknya agar bersebelahan dengan Argani.
"Hai....!" Sapa Aithan pada Argani yang sudah duduk di kursinya.
"Aithan? Tempat duduk Jomu di sini?"
"Iya. Apakah ada orang yang duduk di sini?"
Argani menggeleng. "Tidak."
"Aku boleh duduk kan?"
"Tentu saja boleh."
Hati Aithan berbunga. Ia duduk di samping Argani tanpa bisa menyembunyikan senyum di wajahnya.
"Ada apa? Senyum-senyum terus dari tadi?" tanya Argani heran.
"Senang saja. Nggak boleh ya?" Aithan melirik Argani.
"Bolehlah. Senyum itu kan sesuatu yang manis."
Semanis wajah kamu, cantik.
"Aithan, kamu tahu nggak kenapa aku bisa terpilih sebagai salah satu mahasiswa yang akan berangkat? perasaan hanya aku aja yang mahasiswa penerima beasiswa."
Aithan mengangkat bahunya. "Mungkin karena kamu pintar."
Argani mengerutkan dahinya. Ia kemudian hanya tertawa kecil. Tak mau merasa tersanjung dengan pujian Aithan.
Akhirnya perjalanan ke Cina menjadi satu hal yang sangat menyenangkan bagi sang pangeran. Argani ternyata gadis yang sangat menyenangkan dalam mendiskusikan apa saja. Bukan hanya soal dunia kedokteran, bahkan topik tentang dunia politik pun gadis itu tahu. Soal musik, film, pemain basket dan pemain sepak bola pun ia tahu.
"Aku suka Juventus." Ujar Argani.
"Aku juga suka Juventus."
"Benarkah?"
Aithan mengambil ponselnya dan menunjukan kamarnya. Salah satu dindingnya di pasang wallpaper Juventus. Aithan juga menunjukan beberapa koleksinya mulai dari kaos, gelas, gantungan kunci dan jam dinding yang kesemuanya berwarna hitam putih.
"Aku juga punya beberapa sovenir Juventus."
"Senang dapat teman yang menyukai Juventus."
Lagi-lagi Argani hanya tertawa kecil. Hati Aithan semakin berbunga-bunga melihat manisnya senyum gadis itu. Ingin rasanya ia membawa Argani ke dalam pelukannya dan membenamkan kepalanya di rambut panjang gadis itu.
Tuhan, bagaimana caranya mengungkapkan perasaan ini? Aku sungguh tak menahan semua ini.
Perjalanan selama 12 jam itu ditempuh dengan suasana hati yang menyenangkan bagi Aithan dan Argani. Keduanya terus berbincang sampai roda pesawat menyentuh landasan bandara Shanghai.
Dari bandara, mereka naik bus selama kurang lebih 4 jam menuju ke lokasi kejadian banjir. Jalanan agak macet sehingga bus jalannya agak pelan. Argani pun menjadi mengantuk. Tanpa sadar ia tertidur di bahu Aithan dan tentu saja Aithan dengan rela memberikan bahunya. Di dalam bis yang agak gelap itulah, tanpa Argani sadari, Aithan mencium puncak kepalanya dengan hati yang bergetar.
**********
Sesampai di lokasi, mereka pun langsung di bagi di beberapa titik lokasi pengungsian. Argani dan Aithan tentu saja satu kelompok. Mereka membantu para pengungsi mendapatkan susu, roti dan selimut serta baju hangat. Hujan belum juga reda dan luasan wilayah yang terkena dampak banjir semakin besar.
Aithan dengan tulus membantu para penduduk. Ia sama sekali tak merasa jijik atau sungkan bersentuhan dengan mereka yang sudah bau karena beberapa hari tak ganti pakaian. Argani menjadi kagum melihat pria kaya itu sangat mudah akrab dengan siapa saja. Apalagi Aithan bisa berbahasa mandarin.
"Argani, tolong anak ini. Sepertinya ia terluka." Kata Aithan sambil membawa seorang anak perempuan berusia sekitar 10 tahun. Nampak memar di bagian kaki dan tangan.
Argani yang sudah menyiapkan kotak obat di tas punggungnya pun segera membantu anak itu. Ia begitu sabar dan lembut membujuk anak itu agar bisa membiarkan Argani merawat kakinya.
Dia pasti akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku nanti. Ah, Aithan, kenapa sampai pikiranmu sudah sejauh itu?
"Pangeran, ada apa senyum-senyum sendiri?" bisik Darren membuat Aithan sadar dari lamunannya.
"Aku semakin kagum padanya." Kata Aithan tanpa melepaskan pandangannya dari Argani.
"Bagaimana jika ia tak tertarik denganmu, pangeran? Maaf ya jika kata-kataku kesannya agak kasar." kata Darren masih dengan suara pelan.
Aithan tersenyum. "Akan ku buat agar dia menerima cintaku. Akan ku lakukan semua cara agar dia membuka hati untukku."
"Bagaimana bila ia tak juga mencintai, pangeran?"
Senyum di wajah Aithan menghilang. "Aku mungkin akan patah hati. Aku pasti terluka. Namun cinta tak bisa dipaksakan bukan?"
Darren terlihat lega. Tugasnya sekarang hanya satu. Meyakinkan Argani agar tak menerima cinta Aithan. Tentu saja Darren harus melakukannya dengan hati-hati. Harus tanpa sepengetahuan Aithan. Karena tugas yang diberikan padanya cukup berat. Jangan sampai pangeran jatuh cinta pada gadis sembarangan. Apalagi sampai nekat menikahinya.
Itulah pesan Permaisuri sebelum Darren berangkat menemani Aithan hampir 5 tahun yang lalu.
***********
Argani keluar dari hotel tempat rombongan mereka menginap. Shaini sedang pulang ke rumah orang tuanya. Ia mengajak Argani untuk ikut namun Argani memilih tetap berada di hotel untuk beristirahat. Besok mereka akan kembali menjadi tim relawan.
Menikmati sore hari yang kota ini, membuat Argani harus merapatkan jaketnya karena cuaca cukup dingin apalagi hujan baru saja berhenti.
"Butuh teman untuk jalan-jalan?"
Argani menoleh. "Aithan?"
"Bosan di kamar terus? Mau ikut aku minum teh? katanya di sekitar sini ada tempat minum teh yang sangat enak."
"Boleh juga."
Keduanya pun melangkah bersama menuju ke tempat yang dimaksud. Sebuah kedai kecil yang letaknya di pinggir sungai. Kota ini memang agak jauh dari lokasi banjir dan letaknya di dataran tinggi.
Setelah memesan minuman dan kue, Aithan mengajak Argani duduk di luar kedai.
"Argani, kalau aku boleh tahu, apa yang membuatmu suka mengambil jurusan kedokteran?" tanya Aithan sambil menatap gadis itu.
"Aku dibesarkan di panti asuhan. Ibuku salah satu pengurus di sana. Setiap kali ada anak-anak yang sakit, jika keuangan panti asuhan sedang menipis, maka para pengasuh panti asuhan, tak membawa mereka ke dokter, hanya memberikan pengobatan seadanya. Mamaku tahu pengobatan herbal. Aku sering bertanya dalam hati, mahal kah biaya untuk ke dokter sehingga mereka tak bisa membawa anak-anak yang sakit? Makanya sejak kecil aku juga sudah belajar membuat obat herbal. Aku senang membaca buku-buku yang berhubungan dengan kesehatan dan ilmu kedokteran. Aku ingin menjadi dokter agar bisa menolong anak-anak di panti asuhan dan orang miskin lainnya. Waktu itu, aku tahu kalau cita-citaku tak akan terwujud. Sekolah dokter mahal. Apalagi saat mamaku meninggal. Sampai akhirnya aku membaca sebuah tawaran beasiswa di internet. Dan ada jurusan kedokterannya. Aku ikut tes. Ternyata lulus."
"Dan aku baca kalau kamu lulus dengan nilai tes tertinggi. Kamu adalah mahasiswa termuda dengan usia 16 tahun. Kamu bahkan telah menyelesaikan setengah dari mata kuliahmu di tahun kedua kamu kuliah."
"Aku memang selalu mengikuti kelas summer. Aku belajar keras untuk bisa mendapatkan nilai A di semua mata kuliahku. Aku ingin cepat pulang dan kembali ke Indonesia."
"Aku bangga denganmu."
Argani hanya tersenyum. Ia tahu kalau lelaki tampan di depannya ini penuh sejuta pesona. Namun gadis itu menutup rapat hatinya. Ia tak mau terluka karena jatuh cinta pada orang yang salah. Aithan tak mungkin menyukainya. Aithan tak mungkin menginginkannya. Aithan mungkin hanya kagum padanya karena ia pintar. Itulah yang selalu Argani katakan pada hatinya.
"Kamu juga mahasiswa yang pintar. Sementara ambil S2 kan? Kenapa suka dengan sejarah?"
"Dari sejarah kita akan banyak belajar tentang kehidupan. Baik mereka yang berhasil, maupun mereka yang pernah gagal."
Argani mengangguk. "Benar juga."
Aithan menyesap teh nya sambil menatap Argani. "Apakah kau tahu kalau nama kita mirip dan memiliki arti yang sama?"
Argani menatap Aithan. "Benarkah?"
"Nama kita diawali dari A. Aithan dan Argani. Namaku artinya tampan dan berani. Argani juga artinya gadis yang cantik dan berani. Aku merasa dari nama saja kita seperti sudah berjodoh."
"Ha?" Argani terkejut. Pandangan mereka saling beradu. Jantung Argani bagaikan mau keluar dari dadanya.
Aithan menikmati saat mata mereka saling bertemu. Ia rasanya tak ingin menahan isi hatinya. "Aku rasa kalau aku jatuh cinta padamu, Argani."
"Apa?"
"Wo Ai ni."
Argani melemparkan pandangannya pada sungai yang ada di depannya.
"Argani.....!" Aithan menyentuh tangan Argani. Namun gadis itu buru-buru menariknya.
"Maaf kalau aku kurang sopan."
Argani memberanikan diri menatap Aithan. "Aithan, bukankah kau sudah tahu siapa diriku sejak awal kita bertemu?"
"Aku tahu."
"Aku bukan siapa-siapa."
"Kau sangat berarti. Untukku."
"Jangan mempermainkan aku."
"Aku tidak mempermainkan kamu. Aku serius dengan semua ini. Aku sudah memendam perasaan ini sejak 6 bulan ini."
"Apa?"
"Aku sudah lama melihatmu sebelum aku menyapamu di taman fakultas kedokteran."
"Kenapa aku?"
"Aku juga tak tahu kenapa harus kamu. Perasaan ini tumbuh tanpa bisa ku tahan. Mencintai seseorang itu tak harus ada alasan."
Argani berdiri. "Sebaiknya kita kembali ke hotel. Mungkin karena kita lelah selama seminggu ini sampai akhirnya kau ngelantur dalam bicara." Argani mulai melangkah.
Aithan dengan cepat meninggalkan uang di atas meja dan langsung mengejar Argani.
"Aku mohon pikirkan lagi, Argani. Aku mau kita pacaran."
Argani tak menjawab. Ia terus melangkah. Aithan berjalan di belakangnya. Memperhatikan rambut panjang gadis itu yang bergerak karena tiupan angi sore.
Aithan mempercepat langkahnya. Ia menghadang Argani.
"Aithan, aku masih 18 tahun. Aku belum mau pacaran. Aku takut kuliahku terganggu." kata Argani tegas.
"Aku tahu kalau kamu punya rasa sedikit untukku. Aku yakin itu. Aku melihatnya di matamu."
"Menjalin hubungan bukan hanya karena memiliki rasa yang sama tapi juga kehidupan yang sama."
"Apa maksudmu?"
"Kau ada di atas langit dan aku ada jauh di bawah bumi."
"Akan ku buat tangga untuk menjadi penghubung cinta kita jika itu yang kau takutkan."
"Aku ingin pacaran saat usiaku 19 tahun."
"Kapan itu?"
"6 bulan lagi."
"Aku akan menunggu."
"Jangan ditunggu."
"Kenapa? Kau kan bilang siap pacaran saat usiamu 19 tahun."
"Jarak....."
"Akan ku buktikan padamu jarak antara langit dan bumi itu akan menjadi tak ada."
Argani tersenyum. "Memangnya kamu bisa turun sejauh itu? Karena aku tak mungkin mendaki ke tempat setinggi itu."
"Akan ku buktikan." kata Aithan dengan penuh keyakinan.
Argani sekali lagi hanya tersenyum. "Kita akan melihatnya nanti." ujar Argani lalu kembali melangkah. Gadis itu tahu, Aithan yang memiliki 2 mobil mewah unlimited itu, tak akan mudah melepaskan gaya hidupnya itu.
Aithan kembali mengikuti langkah Argani. Kaki ini ia membiarkan gadis itu ada di depannya. Ia yakin suatu saat mereka akan berjalan bersisian dan sambil bergandengan tangan.
**********
Berhasilkah Aithan membuktikan pada Argani?
Hai
dukung emak terus ya???
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
gia gigin
Aithan perjuangan cinta di mulai 😜
2022-12-23
1
Jeng Anna
Aku : aku suka Chelsea, mereka tim ibukota yg awalnya diremehkan tp pernah menang Champions 2x dll
Aithan & Argani : gak nanya, emang sapa elu.. 😄😄
2022-07-08
1
𝐀𝐧𝐧𝐚.R⃟ᵇᵃˢᵉ
bapernya lihat mereka berdua 😘😘😘
2022-04-23
1