Zayn menoleh. Kebetulan ia memang duduk membelakangi pintu cafe. Tanpa disangka-sangka wanita yang saat ini sedang dibicarakan berada di depannya.
Amelia Sari, kekasih dari Zayn. Wanita yang ia cintai sejak masa kuliah dulu sekaligus calon istri masa depan hidupnya. Wanita yang selalu ada dalam pikiran serta hatinya.
"Sayang! Kamu beneran ada di sini?" takjub karena tidak pernah menyangka jika Amel telah kembali. Zayn beranjak dari duduknya, dan langsung memeluk Amel erat. "Kamu sengaja bikin kejutan, kan?"
Amel tersenyum manis. "Saat kamu menghubungiku, aku tengah berada di negara transit menuju tanah air. Aku juga menghubungi Alvin dan Devan agar mengajakmu keluar."
Zayn benar-benar kaget, lalu menoleh kepada dua sahabatnya. "Kalian sudah tahu Amel ingin kembali?"
Alvin dan Devan hanya menyengir. Mereka memang diajak kerja sama oleh Amel untuk membuat kejutan bagi Zayn.
"Selamat, Sayang. Aku bangga banget sama kamu," ucap Amel.
"Amel makin cantik saja sehabis pulang dari luar negeri," kata Lia.
"Kekasihku memang cantik. Dia tidak ada duanya," sahut Zayn.
"Benar. Amel semakin cantik saja," sambung Alvin.
Tidak dipungkiri cantiknya Amel. Sungguh murah hati Sang Pencipta menganugerahkan wajah begitu sedap untuk dipandang. Hidung mancung, dagu lancip. Disertai tinggi tubuh serta kulit putih. Sangat serasi bila disandingkan pada Zayn.
"Kapan aku punya pacar secantik Amel," celetuk Devan sembari tertawa.
Tanpa peduli ada seseorang yang terluka atas perkataan itu. Rere hanya terdiam, dan menjaga kondisi wajahnya untuk tidak bersedih. Baru saja ia bersama dengan Zayn, tetapi Amel malah sudah kembali.
"Selamat datang, Amel," ucap Rere.
"Selamat untukmu, Re." Amel hanya mengucapkan itu tanpa memeluk Rere. Sedangkan Lia, Alvin dan Devan mendapat pelukan hangat sebagai sahabat.
Ibaratnya Rere itu teman, tetapi tidak diharapkan. Jika ada Amel, maka Rere akan terlupakan. Namanya sahabat, tetapi rasa musuh. Tidak heran jika tempat tinggal Rere hanya Zayn yang tahu sebab teman-teman Rere tidak pernah berkunjung.
"Tempat duduknya tidak muat. Re, kamu duduk di meja sebelah saja. Biar Amel duduk di dekat Zayn. Mereka baru bertemu dan pasti pengen berdekatan," kata Lia.
Rere mengangguk, "Iya, silakan."
Rere pindah ke meja sebelah yang kebetulan kosong. Lia bergeser ke tempat duduk yang ditempati Rere tadi agar Amel bisa duduk di samping Zayn.
Tidak lama pelayan datang membawa pesanan makanan. Karena Amel datang terakhir, jadi, ia belum sempat memesan.
"Ini punya siapa?" tanya Amel.
"Itu punya Rere," jawab Devan.
"Rere, aku pesankan lagi untukmu. Amel pasti lapar karena baru tiba," kata Alvin.
"Enggak apa-apa, kok. Biar aku pesan baru lagi saja." Rere memesan lagi makanan baru. Padahal ia sangat kelaparan, tetapi Amel lebih membutuhkan makanan itu dari pada dirinya.
Rekan-rekannya semua makan kecuali Rere yang masih harus menunggu. Kembali pelayan wanita datang menghidangkan pesanan untuk Rere.
"Mbak, tolong tagihannya," kata Rere.
"Iya, Mbak. Saya bawa ke sini nanti."
"Biar aku yang bayar saja, Rere," sahut Amel.
"Oh, tapi hari ini aku .... "
Amel tersenyum, "Tidak apa-apa. Lain kali saja. Biar aku yang bayar." Amel beralih kepada pelayan. "Nanti bawa ke meja ini saja tagihannya."
"Siap, Nona," jawab pelayan itu.
Rere melahap hidangan yang ada di depannya. Secepat mungkin karena tidak tahan untuk segera pergi dari cafe terkutuk. Perihnya hati tidak sanggup ia tahan. Rere ingin menangis di tempat sepi.
"Aku sudah selesai makan. Aku pulang dulu," kata Rere.
"Aku punya oleh-oleh untukmu," kata Amel.
"Merepotkanmu saja."
"Tidak, kok. Hanya gantungan kunci." Amel mengeluarkan gantungan kunci berlambang negara Amerika dari dalam tasnya. "Semoga kamu suka."
Rere tersenyum menyambut hadiah dari Amel. Meski hanya gantungan kunci yang, bahkan penjual asongan ada menjualnya, tetapi Rere tetap menerima dengan senang hati.
"Terima kasih, Amel," ucap Rere.
"Kamu pulang pakai apa?" tanya Zayn. "Aku jadi tidak enak karena kita pergi bersama-sama."
"Aku pakai taksi online saja."
"Rere sudah biasa pakai taksi. Tidak perlu khawatir," sahut Alvin.
"Tidak apa-apa, kok. Aku pulang dulu semuanya."
"Hati-hati, Re," seru Lia.
Rere bergegas keluar dari cafe. Berjalan cepat ke depan jalan raya mencari taksi. "Pesan ojek online saja, deh." Rere mengeluarkan ponsel, menekan layar sentuh pada benda pipih itu. "Semoga tukang ojeknya cepat datang. Jangan sampai mereka keluar dari cafe dan aku masih di sini."
Doa Rere dikabulkan. Tukang ojek yang ia pesan datang cepat. Kebetulan tukang ojek itu mangkal tidak jauh dari cafe.
"Nona Renata?" tanya tukang ojek.
"Iya, Pak. Cepat sekali datangnya."
"Naik, Non. Saya mangkalnya tidak jauh. Mau diantar ke mana?"
"Ke kota tua, Pak. Malam begini mau nongkrong dulu," jawab Rere.
...****************...
Setelah membayar tukang ojek, Rere bergegas pergi menikmati pemandangan museum. Hawa dingin, suasana tentram dengan lampu berpendaran membuat Rere menikmati malam lebih intim.
Nyanyian dari para pengamen menyegarkan pikiran sekaligus membuang stress, dan setidaknya membuat Rere lupa akan kejadian di dalam cafe tadi.
"Suaranya bagus. Coba saja dia ikut kompetisi menyanyi," ucap Rere.
Rere ikut duduk di depan museum Fatahillah bersama dengan para pengunjung lainnya. Rata-rata semua berpasangan, dan ada juga yang datang bersama keluarga serta teman.
"Nona, mau beli bukunya? Jepit rambut juga ada," tawar seorang pedagang.
Rere mendonggak. Seorang pedagang muda. Pria berambut gondrong yang diikat kucir kuda, berwajah manis dan hidung mancung.
"Boleh," kata Rere.
Senang, hati penjual itu ketika Rere bersedia membeli dagangannya. Pedagang itu duduk di hadapan Rere sembari meletakkan barang dagangannya.
"Nona mau beli apa? Saya jual jepit rambut, kacamata, dompet dan juga buku novel."
Rere melihat si pedagang menjual buku novel dari salah satu penulis digital. Ia mengenal para penulis itu secara online karena tergabung dalam sebuah grup.
"Saya beli jepit rambut sama dompetnya saja." Rere melirik alat lukis di dalam tas ransel pria itu. "Abang pelukis?"
"Saya melukis kalau ada yang mau dilukis saja."
"Kalau begitu, saya mau dilukis juga," kata Rere.
"Boleh, Nona." Pedagang itu berucap syukur karena Rere ingin dilukis dan membeli barang dagangannya.
"Abang dari mana?" tanya Rere. "Sepertinya masih muda."
"Dari Bandung. Umurnya saya dua puluh tiga."
"Oh, siapa namanya?" tanya Rere.
"Nama saya Doni."
Sedikit berbincang-bincang membuat perasaan Rere membaik. Doni menyelesaikan lukisannya dengan cepat, dan sangat murah untuk bayaran pria itu terima untuk hasil yang memuaskan.
"Berapa jadinya?" tanya Rere.
"Seratus ribu saja, Mbak."
"Murah sekali." Rere mengeluarkan uang tiga ratus ribu kemudian memberikannya kepada Doni. "Ambil saja semuanya.
"Terima kasih banyak, Mbak."
"Saya ambil dompet sama jepit rambut saja. Untuk lukisannya, abang ambil saja. Siapa tahu kangen sama saya." Rere beranjak dari duduknya, lalu pergi.
Doni hanya bisa tercengang. "Gadis aneh."
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
ilusi
Ternyata Rere yg aslinya jadi sukses
apa ini kisah nyata auhtornya????
2024-11-30
0
Imas Masripah
apa memang begitu kl bergaul dengan orang berada,aku jadi sedih😭... semoga Rere bisa sukses
2024-02-10
0
Zamie Assyakur
ya ampun re kasihan bgt,,udh berkorban bnyak malah diperlakukan bgtu..sadar re..
2023-02-20
1