Risma memeluk ketiga anaknya yang masih menangisi kepergian sang ayah. Sepulang dari misi, bukan Erik yang datang, namun sebuah peti yang berisikan jasad sang suami. Erik Alfan Permana. Seorang perwira yang gugur dalam tugasnya. Sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad saat merawat jasad para sahabat yang wafat dalam perang, begitu juga dengan Erik. Darah dalam tubuh dan baju yang dia kenakan, akan menjadi saksi bahwa Erik meninggal karena membawa nama agama dan negara. Hubbul wathoni minal iman. Apa yang dilakukan Erik adalah wujud dari cinta tanah air dan itu merupakan sebagaian dari iman.
“Bund, kita puyang” ajak Rama, si bungsu yang baru serusia tiga tahun.
“Kita tunggu sebentar sayang. Kata pak ustadz, jika masih ada anak dan istri di makam, malaikat akan bertanya dengan pelan. Bunda mau menemani ayah melewati pertanyaan dari malaikat. Boleh ya?” ucap Risma dengan lembut dan mengusap lembut rambut putranya. Rama mengangguk dan kedua kakak kembarnya hanya menangis dengan berpelukan.
Risma menangis dalam diam dan memcegah air matanya sampai jatuh karena tidak ingin menambah beban suainya di alam barzah.
“Jangan sampai menetes air matanya ya sayang” ujar Risma pada kedua anak kembarnya. Rama belum mengetahui tentang kematian. Namun ingatan saat sang ayah berada di dalam peti tidak bisa hilang darinya.
“Bunda, ayah pasti bahagiakan di sana?” tanya Rendi, si sulung dengan sesunggukan.
“Insya Allah. Ayah meninggal dalam keadaan syahid. Jaminannya adalah surga. Apalagi punya tiga anak yang shaleh dan shalehah, insya Allah kuburanya menjadi terang karena do’a kita semua” meskipun dalam keadaan berduka, Risma tetap memberi pengertian yang bisa diterima oleh anak-anaknya.
“Bund, Yama mau temani ayah. Kacihan ayah cendili di cana” ucap Rama membuat Risma tak mampu membendung air matanya lagi.
“Rama temani ayah dengan do’a ya nak. Doa Rama, Kakak dan Abang juga do;a bunda insya Allah akan menjadi teman buat ayah”
“Kalau begitu, Yama mau do’ain ayah tiap hali bial do’a Yama temani ayah di cana”
Risma merengkuh ketiga anaknya dalam dekapannya. Berat, itulah yang dia rasakan.
“Sekarang kita bisa pulang. Insya Allah ayah sudah melewati semua pertanyaan malaikat dan bisa menjawabnya. Tidak boleh menangisi ayah lagi. Kita harus ikhlas dan selalu mendo’akan ayah. Oke”
“Oke bunda” jawab ketiganya dengan lesu.
Meskipun Risma meminta anak-anaknya untuk tidak menangis lagi, namun justru Risma sendiri yang belum mampu menyudahi tangisannya. Sepuluh tahun bersama dalam biduk rumah tangga, belum lagi saat mereka menjalin hubungan sebelum akhirnya memutuskan menikah tentu tidak mudah. Kenangan demi kenangan terngiang di setiap sudut rumah. Sesak dadanya ketika mengenang kebersamaan dengan suaminya.
“Aku sudah ikhlas dengan kepergianmu mas, namun kenangan ini, hati ini, pasti akan selalu rindu padamu. Aku mencintaimu. Jika nanti aku menikah lagi, bukan berarti aku melupakanmu. Kamu tetap ada dalam hatiku. Tetap tersimpanrapat di tempat yang paling dalam. Aku mungkin akan menerima seseorang suatu hari nanti. Tapi orang itu harus bisa bersanding denganmu di hatiku. Bukan berniat menggantikan atau menggesernya dari hatiku” ucap Risma sambil mengusap foto Erik yang mengenakan seragam kebesarannya. Saat ini, dia masih setia berada dalam kamar kenangannya.
“Bunda” panggil Riana mengintip dari balik pintu. Hanya kepalanya yang terlihat.
“Sayang, masuklah” perintah Risma dengan suara serak.
“Bunda masih menangisi ayah? Riana kangen sama ayah. Riana ingin ayah” rengek bocah usia tujuh tahun itu. Tangisnya membuat Risma tak tahu harus bagaimana. Saat ini hatinya benar-benar kacau.
“Ris” panggil seorang pria dari pintu.
“Kak, masuklah”
“Kamu baik-baik saja?” tanya Wiliam. Ya, pria itu adalah Wiliam.
“Aku mencoba baik-baik saja” jawab Risma serak sambil memeluk Riana. Hanya itu yang bisa Risma lakukan. Jujur kata-kata menenangkan yang biasa keluar dari mulut Risma menguap entah ke mana. Apa yang ingin dia ucapkan tidak sejalan dengan hatinya. Hal itu yang membuatnya sulit untuk mengucapkan sepatah dua patah yang
bisa menenangkan Riana.
“Apa rencana kamu selanjutnya?” tanya Wiliam.
“Aku mau pergi dari sini. Setidaknya menunggu sampai empat puluh harinya Mas Erik” jawab Risma lesu.
“Anak-anak?”
“Tentu mereka ikut. Aku akan mengurus surat pindah untuk si kembar. Kak Wil bisa bantu?”
“Aku bisa mengurus semua itu untukmu. Kurang seminggu, kamu kabari akau. Aku akan datang untuk mengurusnya untukmu”
“Tidak perlu seperti itu kak”
“Tidak ada penolakan Ris. Aku akan mengatur semuanya untukmu. Kamu adalah adik dari sahabatku. Apalagi Ria sudah menitipkanya padaku sampai nanti ada penggantinya Erik”
“Jangan bahas itu dulu kak” tegas Risma.
“Baiklah, maaf”
“Hem”
“Setelah tujuh harian almarhum, kakak akan kembali ke kota. Akan ke sini nanti saat empat puluh harian. Kamu terima beres soal kepergianmu. Lalu bagaimana dengan rumah ini?”
Riana sudah tidur dalam dekapan Risma. Mungkin gadis kecil itu kelelahan menangisi ayahnya.
“Aku ingin tetap seperti ini. Biar anak-anak nanti yang menentukan mau diapakan rumah ini. Aku tidak ingin menjualnya”
“Baiklah. Aku akan menyewa orang untuk membersihkan rumah paling tidak seminggu sekali. Jika kalian rindu ingin nostalgia, kalian bisa datang sewaktu-waktu”
“Terimakasih kak. Tanpa kak Wil, entah apa jadinya aku. Mas Erik pasti tenang di sana karena ada kak Wiliam di sisi kami. Kami sayang kak Wil”
“Kakak juga sayang pada kalian. Kalian adalah keluarga kakak setelah keluarga kandung. Apalagi Erik sudah banyak mengajariku bela diri”
“Sedih boleh, tapi jangan berlarut. Tiga anakmu butuh perhatianmu. Kalau kamu sendiri tidak semangat, bagaimana kamu akan menyemangati anak-anakmu?” tambah Wiliam mencoba memberi suntikan semangat pada Risma, jaru antig. Janda baru anak tiga.
“Kakak benar. Aku harus semangat, tidak boleh lemah” tekad Risma. Wiliam tersenyum. Sejatinya Risma adalah wanita yang kuat dan tidak mudah baper. Mudah bagi Risma untuk segera bangkit dari keterpurukan. Wiliam sangat tahu watak sahabat sekaligus adiknya. Keras kepala dan sulit melupakan kesalahan orang-orang sekitarnya walaupun di mulut sudah memaafkan. Prinsipnya adalah memaafkan bukan berarti melupakan. Memaafkan bukan berarti mau kembali terlebih kembali terluka. Jadi, jika berhubungan dengan Risma, jangan berharap untuk mendapat kesempatan lebih dari satu kali. Dia tidak sesabar itu untuk membiarkan dirinya terlebih anak-anaknya dalam lubang kesengsaraan ataupun penderitaan dalam waktu yang lama. Dengan segala upaya, Risma akan membuat dirinya dan anak-anaknya keluar dari zona merah versi Risma.
“Bibi Ani, salah satu pelayan di rumah besar, aku ajak kemari untuk menemanimu selama aku kembali ke kota. Akan pergi bersama dengan kita nanti setelah empat puluh hari Erik selesai. Kamu tidak keberatan?” tanya Wiliam hati-hati.
“Tidak kak. Teimakasih karena memikirkan semuanya untuk kami” Risma meletakkan Riana di ranjang dan dia keluar bersama Wiliam. Para tetangga sudah ribut di dapur membahas apa yang akan dimasak untuk malam ini. Do’a untuk hari pertama kepergian almarhum.
“Nah, mbak Risma, apa yang akan kita sajikan malam ini?” tanya salah satu tetangganya.
“Emm, adanya apa bu?” tanya Risma lagi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Risma sangat jago dalam urusan
dapur.
“Ada tempe, tahu juga tapi lebih banyak tempenya. Terus ada telur, kelapa, mie, gula kopi, teh” jawab ibu itu yang menerima sumbangan duka dari para tetangga dan orang sekitarnya.
“Kalau begitu, kita masak yang simpel aja ya bu. Kita masak lodeh tahu dan tempe ditambah dengan telur. Telurnya direbus dulu, lalu dikupas dan digoreng. Kelapanya diparut untuk santan. Bisa kan bu?” tanya Risma dan diangguki oleh para ibu-ibu.
“Baiklah. ibu-ibu atur sendiri ya? Saya mau lihat Randi dan Rama dulu. Dari tadi belum melihatnya” pamit Risma. Biarlah urusan dapur menjadi urusan ibu-ibu itu. Yang penting semua bahan sudah ada.
“Bu, apa uangnya ada untuk keperluan bumbu dapur yang belum ada?” tanya Risma sebelum melangkah pergi.
“Uang dari melayat masih cukup nak Risma. Nanti kalau kurang kita akan cari nak Risma” jawab bu RT mewakili ibu-ibu lainnya.
“Terimakasih bu. Maaf kalau merepotkan ibu-ibu semua. Saya permisi”
“Sama-sama”
Risma benar-benar pergi meninggalkan dapur setelah melerai keributan yang dibuat ibu-ibu tersebut. Risma membuka kamar putranya Randi dan Rama. Ternyata mereka berdua juga tidur. Terlihat kalau keduanya habis menangis sebelum tidur. Dengan sayang, Risma membelai keduanya lalu mengecup kening masing-masing.
Begitulah kehidupan, tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Manusia hanya mampu menjalankan skenario yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Menyiapkan mental dan hati jika keputusan ataupun takdir dari Tuhan tidak sesuai apa yang kita mau.
*****
Ketemu lagi sama bunda di novel DUREN ANTIG. Novel ini selow update seperti novel-novel sebelumnya. Bagi readers baru yang belum membaca novel bunda sebelumnya, boleh dikepoin dengan klik profil dan pilih novel yang ingin dibaca. Ada PERNIKAHAN DADAKAN, OH SUAMIKU dan TUAN MUDA NYANTRI NONA MUDA JADI BU NYAI.
Jangan lupa untuk Like, Komentar, Vote, Beri Hadiah dan Rating Bintang limanya. Terimakasih karena sudah bersedia mampir. Salam sayang dari bunda untuk readers semua.
*****
NEXT
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Siti Masruroh
yg sabar y risma tetep semangat
2023-04-02
0
Siti Masruroh
bunda blh dong kenalan sama bunda aku pengemar novel bunda lo novel bunda sdh aku lahap hbs semuanya pernikahan dadakan yg keren hbs suamiku yg bikin adrenalin naik tuan muda nyantri nona muda jd bunyai yg kocak
2023-04-02
0
Rinjani
aduh baca di suguhi sedih past nanti bahagia
2023-03-21
0