Hawa sejuk terasa dari AC yang berhembus. Mizyan yang duduk di meja dekat kaca sesekali menatap lalu lintas jalan raya yang ramai lancar di jam siang. Sambil menunggu teh Sarah yang sedang ke toilet, ia bertanya kepada Olla tentang kesan di minggu pertama sebagai guru tahfidz.
"Aku mulai dengan pengelompokkan berdasarkan kemampuan murid. Soalnya kemampuan hafalannya berbeda-beda."
"Ada yang lucu juga sih." Olla tampak antusis menceritakan dengan terkekeh dulu. "Kemarin pas lagi pelajaran tahsin ada satu anak yang gemetaran karena salah mulu. Eh terusannya kentut keras banget....nangis deh jadinya karena diketawain teman-temannya." Pungkasnya sambil tertawa dengan bahu terguncang.
Mizyan ikut tertawa mendengar cerita Olla. Ia bisa membayangkan bagaimana harus sabarnya menjadi guru pengajar tahsin dan tahfidz untuk anak-anak.
"Aku sampe ngaca. Apa aku terlihat galak sampai ada anak yang ketakutan gitu."
Mizyan menggeleng. "Itu mungkin reaksi prustasi aja. Wajah Bu Olla nggak galak kok. Punya karakter melindungi dan mengayomi."
"Kayak motto Polri deh." Olla terkekeh sambil geleng-geleng kepala dengan candaan ringan Mizyan yang juga ikut tertawa.
Mizyan menatap ke arah luar kala petugas parkir mengarahkan 2 motor yang akan parkir. Toko kue ini tak pernah berhenti keluar masuk pengunjung. Bisa menandakan taste yang disukai masyarakat. Ia mendongak ke atas saat Olla tengah asyik dengan ponselnya. Pas sekali tatapannya menghadap CCTV dan ia merasa seseorang sedang mengawasinya. "Mungkinkah Bunda Dika sedang mengawasi? Ia tersenyum menanggapi praduga hatinya itu.
"Pulang sekarang, yuk. Bentar lagi tamunya datang." Sarah datang mendekat setelah selesai urusan ke belakangnya.
Mizyan mengangguk. Ia meneguk minuman yang tersisa dan sebelum beranjak menyempatkan menatap sekilas kamera CCTV. Memberikan seulas senyum dan anggukkan sebagai tanda pamit.
"Do, kamu boleh makan semua makanan ini." Mizyan menunjukkan satu box berisi kue campuran. "Tapi yang ini jangan ya!" Ia menunjuk box berisi pie buah.
"Asyik..." Dado tampak girang melihat aneka makanan di meja yang menggiurkan itu. Ia memilih duduk di bawah, mulai mengambil kue sus.
"Punya A Iyan cuma 1 macam. Kok punya Dado campur. A Iyan apa nggak bosen?" Dengan mulut penuh, Dado merasa ingin tahu alasannya.
"Karena ini dari..." Mizyan menggigit pie buah bertopping anggur merah dan kiwi sampai tengah. Seulas senyum mengiringi kunyahan halus dan lumer di mulut. Bukan hanya merasakan paduan lembutnya fla dan segarnya buah. Ia pun teringat kala tadi Rahma yang memberikannya meski dengan ketus. Namun ia merasa senang sebab sudah dilayani oleh Rahma.
"Ih, Aa mah kalah sura seuri (malah senyum-senyum)." Protes Dado yang merasa lama menunggu kelanjutan ucapan Mizyan. "Dari siapa?" lanjut Dado yang mendadak kepo .
"From her with love...soon to be." Jawabnya dengan sangat percaya diri. Pie ke dua ia lahap dengan cepat sebelum sebentar lagi mulai fokus di depan laptop.
"Artinya?!" Pinta Dado dengan bibir bergerak-gerak sebab mengunyah dengan cepat.
"Kepo." Mizyan menyentil kening Dado sambil beranjak menuju meja kerjanya.
"Perasaan tadi kata-katanya panjang..." Dado beranjak mengambil air minum untuknya dan untuk Mizyan. "Tapi kok artinya kepo." Ia menyimpan segelas air di meja Mizyan yang tanpa disadarinya tengah mengulum senyum mendengar Dado berbicara sendiri.
****
Rahma berkutat di dapur rumahnya untuk membuat adonan bika ambon yang sebagian sudah dikerjakan di toko. Masih kurang 15 loyang lagi untuk memenuhi target pesanan Bu Puput. Uma turut membantu membuat adonan. Ia memasak santan yan dicampurkan daun jeruk, sampai mendidih. Setelah dingin, menyampurkannya dengan tepung sagu. Lalu beralih membuat bahan biang, dengan menyampurkan air hangat, ragi instan dan gula pasir sesuai takaran.
Rahma begitu semangat mengocok telur bersama gula pasir dengan speed rendah sampai gula larut. Tak nampak kelelahan di wajahnya. Ia bersyukur punya kesibukan yang bisa mengalihkan perasaan rindu kepada almarhum suaminya.
"Nda, mo bobo---" Dika masuk ke dapur dengan mulut yang menguap dan mata yang sayu.
"Dika bobo sama kakek dulu ya. Bunda belum beres nih." Rahma mencium puncak kepala Dika yang kini menggelayut di pahanya.
"Mo sama Nda----" rengeknya masih tetap memeluk kaki Bunda Rahma.
"Udah, kelonin dulu." Uma menengahi toh adonan juga harus didiamkan dulu 1 jam sebelum masuk ke oven.
Rahma mengalah. Ia menitipkan pada Uma, bika yang sedang dipanggang dalam oven yang 15 menit lagi matang. Lalu menuntun Dika masuk ke kamar dan membiasakan anaknya itu untuk mencuci tangan dan kaki serta menggosok gigi sebelum tidur.
Ia merasa heran dengan kebiasaan tidur Dika sejak mempunyai robot sapi. Dua ekor sapi yang dinamai Bunda dan Dika itu harus selalu ada menemaninya tidur. Meski mainan yang lainnya pun banyak jenisnya, namun Dika lebih sering bermain dengan robot sapi.
"Nda, sapi atu..." Dika yang sudah terbaring di ranjang meminta Bunda membawakan sapi yang tertinggal di ruang tengah.
"Tunggu, Bunda ambilin dulu."
Rahma kembali membawa 2 robot sapi yang lalu dipeluk dan diciumi dengan penuh sayang oleh anaknya itu. Tak butuh waktu lama, usai dibimbing membaca doa sebelum tidur, Dika terlelap dengan pelukan yang kian mengendor. Membuat 2 sapi yang dipeluknya itu terlepas. Ia pun memperbaiki posisi sapi, menyimpannya di samping sang anak.
Kegiatan di dapur selesai jam 11 malam. Rahma menarik nafas lega sebab target tercapai. Tinggal 2 hari lagi, besok dan sabtu untuk mengolah 2 jenis kue yang akan dikerjakan anak buahnya di toko.
"Abang, maaf. Aku belum bisa melanjutkan membaca. Seminggu ini sibuk sekali dengan pekerjaan."
"Minggu depan aku senggang. InsyaAllah bisa membaca lagi."
Rahma berbicara sendiri pada diary bersampul hitam yang dipegangnya. Ia kecup seluruh permukaannya penuh perasaan seolah itu wajah suami tercintanya.
"Miss you so much, Abang."
Ia mendekap diary dalam dada. Buku yang selalu menjadi teman tidurnya selama seminggu ini sebab belum sempat membacanya lagi. Lelah dan kantuk membuatnya cepat terlelap. Ditemani diary bersampul hitam sebagai pelipur lara dan rindu.
Pagi menjelang.
Sudah menjadi rutinitas selepas subuh berbagi tugas bersama Uma. Ia membersihkan lantai dan mengepel. Sementara sang ibu berkutat di dapur menyiapkan menu sarapan. Ia lanjut memandikan Dika dan juga menyiapkan diri pergi ke toko.
Baginya, tak ada waktu untuk berleha-leha ataupun bermalas-malasan. Ia kini berstatus single mom, harus bisa mandiri. Meskipun pemasukan dari perusahaan Nico mengalir setiap bulan dan cukup untuk biaya hidup dirinya dan Dika. Adapun Ayah dan Uma yang datang sejak kesehatan Malik terus menurun. Dan sampai sekarang ia menahan kedua orangtuanya itu agar tidak pulang lagi ke Aceh. Beruntung di sana punya orang kepercayaan yang mengurus usaha perkebunan dan pertanian milik Ayahnya itu.
"Aku sama siapa di sini." Kala itu, usai 40 hari meninggalnya Malik, ia memelas sambil berlinang air mata melarang Ayah dan Uma yang berniat pulang ke kampung halaman. Ia sangat bersyukur memiliki orangtua yang selalu menguatkan dan mengingatkan akan ikhlas menerima takdir yang sudah digariskan Tuhan untuknya.
"Hwua....hwua..."
Suara tangisan kencang Dika dari arah depan, membuat Rahma berlari meninggalkan sarapannya yang belum habis.
"Kenapa, sayang?!" Rahma berjongkok di depan Dika yang menangis terduduk sambil menghentak-hentakkan kaki.
Ayah Badru yang tengah memanaskan mobil pun turun. Merasa heran dengan cucunya yang tadi anteng tiba-tiba menangis kencang.
"Sapi....sapi..." Dika menjerit sambil menunjuk-nunjuk ke kolong mobil.
Rahma dan Ayah bersamaan melongok ke bawah mobil dan terkaget mendapati satu sapi telah remuk.
"Pantesan tadi pas mundurin mobil ada suara 'krek'." Ayah memungut 2 robot sapi yang berada di kolong mobil. Dimana yang induk selamat, sementara yang anak remuk alias rusak parah. Rupanya tanpa sepengetahuannya, Dika mengarahkan sapi berjalan ke kolong mobil.
"Hwua.....sapi atu..." Dika masih tidak rela sapinya hancur. Meskipun sang bunda berkali-kali menghiburnya dengan mengatakan ada satu sapi yang selamat. Tetap saja mau 2.
Rahma menggendong Dika yang masih menangis sesenggukan masuk ke dalam rumah.
"Ssshh. Anak soleh jangan nangis terus. Cup cup..." Ia mengusup-ngusap punggung Dika yang kini nemplok di dadanya.
"Nda, sapi atu...hiks hiks." Dika memelas dengan isakan yang masih ada.
"Iya Bunda beliin lagi ya. Tapi Dika nya harus berhenti nangisnya."
Dika mengangguk dengan wajah yang masih menelusup di dada Bunda nya itu.
Rahma mulai berselancar masuk ke market place dengan mengetikkan robot sapi di pencarian. Gambar pun bermunculan, bukan hanya sapi tapi mainan lain pun tampil. Ia menggeleng. Belum ada yang cocok sesuai kriteria.
"Nah ada nih..." Dengan sumringah ia memperlihatkan layar ponselnya ke Dika. Tampak gambar sapi perah belang hitam putih mirip mainannya Dika.
"Eh, tapi ini dari plastik. Nggak ada bulunya." Ia pun membaca deskripsi barang yang ternyata tak ada istimewanya. Tak bersuara, tak ada remote, hanya 1 ekor.
"Pantesan harganya juga 20 ribu." Ia mendesah. Diluar prediksi, pagi ini harus dipusingkan dengan sikap Dika yang merajuk dan menangis lagi sebab belum menemukan toko online yang menjual mainan robot sapi.
Sudah 1 jam berselancar di berbagai market place. Namun nihil. Ia dengan sabar membujuk dan menghibur Dika yang tak mau lepas dari pangkuannya, menunggu robot sapi yang dijanjikan akan diganti.
"Coba tanya Mizyan."
"Kan dia yang ngasih kado itu."
"Pasti tahu belinya dimana."
Rahma yang tengah mengurut kening sebab lelah browsing 1 jam lamanya tanpa hasil, langsung menghentikan pijatannya. Mulutnya menganga mendengar Uma menyebut nama itu.
"Punya nomernya nggak?"
Suara Uma yang kini duduk di sisinya, membuat ia menelan saliva.
Dia lagi?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
Ita Mariyanti
jodoh mu kui Maa 😍😍
2024-11-06
0
Ita Mariyanti
bagi resep nya Thor kl blh 😍😍
2024-11-06
0
Mmh dew
❤🧡💛💚💙🖤
2024-08-03
0