Duka bukan hanya milik Rahma sebagai orang terdekat, terkasih, teristimewa, sang pemilik hati almarhum Malik. Namun pula dirasakan Nico sang sahabat karib. Empat puluh hari berlalu, tapi hati masih terasa kebas dan basah sebab kesedihan belum mengering. Memang, setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Syarat mati tak harus tua, dan di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkanmu kendatipun bersembunyi di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.
Riak air kolam renang berkilatan terkena sorot 3 lampu LED yang menempel di tembok benteng. Nico memandangi galeri ponsel. Terakhir kali kebersamaannya bersama Malik kala peresmian pabrik baru dengan kapasitas produksi lebih tinggi dan karyawan lebih banyak. Berdua mereka tersenyum lebar sambil beradu tos tangan di udara. Kerja keras ia dan Malik membuahkan hasil manis dengan meningkatnya omset penjualan.
Nico bahkan masih membiarkan meja kerja Malik yang satu ruangan dengannya, tidak merubahnya sama sekali, tetap terpajang satu bingkai foto Rahma dan baby Dika. Meski 6 bulan terakhir pun sudah tidak ditempati Malik sebab sakit yang makin memberat.
"Mereka berdua moodboster aku."
Nico ingat betul ucapan Malik setiap sahabatnya itu memandang foto anak istrinya dengan binar bahagia kentara di matanya.
Pijatan lembut di pundak membuat Nico mendongak dari fokusnya memandangi foto bersama kala pernikahan Malik Rahma di Aceh dengan gaya bebas yang gokil abis. Ia tak menyadari kedatangan sang istri yang menyusulnya ke teras belakang.
"Sudah malam, mas harus istirahat. Besok mau ke Jogja kan?" Suci, sang istri mengingatkannya sambil tak henti memijat pundaknya. Membuat Nico merasa lebih rileks.
"Yang ini!" Nico menunjuk kepalanya meminta Suci beralih memijat kepala yang terasa berat sebab banyak beban yang memenuhi otaknya yang biasanya dibagi 2 dengan Malik kini harus ia pikul sendiri.
"Mas, mulai sekarang sebaiknya punya asisten deh. Biar gak terlalu cape." Suci menangkap gurat lelah yang akhir-akhir ini tergambar di wajah suaminya itu.
"Iya. Nanti pulang dari Jogja aku seleksi." Nico menikmati pijatan lembut di kepalanya dengan mata terpejam.
"Sayang, besok mau ke rumah Rahma?"
"Iya. Manda juga pengen main sama Dika. Biar suasana rumah rame, biar Rahma terhibur."
"Sekalian minta nomer rekening Rahma." Nico menarik tangan Suci agar duduk di sisinya. "Ada hak Malik setiap bulannya yang akan dikirim ke rekening Rahma. Perusahaan juga akan memberi santunan dana setiap bulannya selama Rahma belum menikah lagi"
Suci mengangguk dengan senyum penuh kelegaan. "Alhamdulillah. Masa depan Dika terjamin kalau gitu."
"Apartemen Malik dijual buat biaya pengobatan. Yang aku tau aset yang tersisa tinggal rumah, ruko, kendaraan, sama saham perusahaan."
"Nanti kalau sikon sudah pas, aku akan urus balik nama saham atas nama Rahma."
Suci tidak menyela, memilih menjadi pendengar yang baik dan menyetujui tindakan bijak suaminya itu.
"Oh iya, tadi siang Rahma ngabarin, ada tante Indah datang."
Nico tampak terkejut mendengar nama yang disebutkan Suci. Tante Indah pertama datang ke pemakaman saat semua keluarga bersiap pulang. Bahkan berlaku kasar mendorong Rahma sambil marah-marah dengan menyebut Rahma sebagai perempuan pembawa sial.
"Dia bikin ulah nggak?" Nico seakan enggan menyebut nama ibu kandung Malik itu. Meski harusnya hormat pada orangtua. Baginya, tante Indah adalah pengecualian. Sebab wanita paruh baya itu angkuh dan egois.
"Tsnte Indah ingin membawa Dika jalan-jalan, katanya."
"Tapi anaknya nggak mau. Malah meronta dan nangis kencang."
Nico menghembuskan nafas kasar. "Anak kecil aja udah punya feeling, neneknya niat nyulik kali."
"Ishh. Tak boleh suudzon." Suci menggelengkan kepala tidak setuju dengan komentar Nico yang kini merebahkan kepala di pangkuannya.
****
Empat bulan 10 hari.
Tak terasa waktu bergulir. Dan Rahma melaluinya dengan rasa terseok dan tertatih sebab harus terbiasa sendiri. Tak ada lagi dada bidang tempat ia menyandarkan kepala sambil bermanja. Bahkan ia harus terbangun tengah malam karena tiba-tiba tersaji segala kenangan manis di kamarnya itu. Bagaimana Malik memintanya mendengarkan hafalan surah juz amma. Sampai hafal semua surah juz ke 30 itu dalam hitungan bulan.
Termasuk kilasan saat Malik mencumbunya, bagaimana aksi pijat memijat berubah menjadi candaan penuh tawa dan berujung plus-plus. Tembok kamar bagaikan layar bioskop yang tengah memutar film. Tampak jelas tersaji di depan mata. Membuat Rahma menangis tanpa suara dan beristigfar serta mengirimkan doa untuk almarhum suaminya itu.
Beruntung ada Ayah dan Uma yang dengan sabar membantunya melewati hari-hari yang berat. Kedua orangtuanya selalu mengingatkan akan qodo dan qodar.
"Jangan pernah menolak takdir. Sama saja dengan keimanan kita tidak sempurna."
"Karena percaya pada takdir Allah adalah bagian dari rukun iman."
Perkataan Uma membuatnya perlahan belajar mengikhlaskan kepergian sang suami. Belajar ikhlas pula menerima ketetapan jika kini dirinya berstatus janda anak satu.
Ia bahkan pernah mengeluh pada Uma di suatu malam.
"Ikhlas itu susah, Uma. Apalagi bayangan Abang selalu hadir."
"Wajar. Manusiawi."
" Berawal dengan membiasakan dan memaksakan diri, ikhlas akan mengikuti dengan sendirinya."
"Berusahalah ridho dengan takdir Allah karena Allah lebih tahu yang terbaik untuk hambaNya yang beriman."
Rahma menatap pantulan dirinya di cermin. Hari ini masa iddahnya telah berakhir. Selama ini ia tidak melakukan aktifitas apapun di luaran rumah. Bahkan tak ada gairah merawat diri sebab tak ada lagi orang yang akan menggodanya kala ia tampil cantik dan wangi menyambut sang suami pulang kerja.
Untuk pertama kalinya ia kembali menyapukan bedak tipis di wajah dan memoles bibirnya dengan lipstik warna soft agar keseluruhan tampilannya lebih segar tak lagi pucat.
"Uma, hari ini aku mau cek toko." Rahma menggigit roti isi selai kacang sebagai sarapan paginya. Tubuhnya yang ramping tampak lebih kurus sebab ***** makan yang masih kurang.
Uma dan Ayah saling pandang dengan wajah berbinar. Terdengar ucap syukur dari mulut kedua orangtuanya itu.
"Allah telah takdirkan jalan hidupmu seperti ini, Rahma."
"Jadilah wanita yang tegar dan kuat. Ingat, kamu masih punya Mahardika yang butuh kasih sayang dan perhatian ibunya."
"Jangan terus-terusan larut dalam kesedihan. Kamu harus melanjutkan hidup."
"Iya Ayah." Rahma mengangguk setuju dengan nasehat sang ayah. Life must go on.
Rahma belum beranjak keluar dari mobilnya. Ia masih terdiam di balik kemudi sambil menatap ruko dua lantai tempat usahanya. Toko kue Citarasa.
Toko kue citarasa awalnya adalah usaha gabungan Suci, Rahma dan Salma. Namun seiring waktu dengan kesepakatan bersama, toko rintisan di Jakarta menjadi milik Salma dan Rahma membuka mandiri cabang di Bandung. Sementara Suci memiliki saham di keduanya.
Sudah lama sekali Rahma tidak menginjakkan kaki di tokonya itu. Sebab ia berada di Jakarta menemani Malik berobat, ditambah selama masa iddahnya ia sama sekali tak datang ke toko, hanya memantau via telepon dan email untuk mengecek laporan yang dikirim pegawai kepercayaannya.
"Ayo sayang, turun." Rahma membukakan pintu sebelah kiri untuk membuka car seat anaknya. Dengan wajah riang, bocah tampan yang masih polos itu mengayun-ngayunkan tangan sang ibu yang menuntunnya masuk ke dalam toko.
"Mbak Rahma, apa kabar?"
Langkahnya terhenti di ambang pintu kala seseorang yang akan keluar dari toko dengan menenteng goodie bag berlogo Citarasa, menyapanya dengan ramah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
werdi kaboel
in sya allah Rahma kuat menjalani hidup tanpa Malik.
2024-09-12
1
Mmh dew
❤🧡💛💚💙💜
2024-08-02
0
maya ummu ihsan
bintang 5 itu aslinya kata apa kak .kenapa jadi *****
2024-07-19
0