Rahma berkutat di pantry dengan apron warna oren ciri khas toko kuenya, terpasang di badan. Ia berkonsentrasi penuh menghias birthday cake pesanan Rade untuk Nana yang merengek ingin kue ulang tahun seperti yang ditontonnya di youtube. Konsep hiasan yang dipinta adalah tema LOL surprises. Dan Rade sudah mengirimkan gambarnya tadi malam.
"Ultahnya masih dua bulan lagi lho, mbak."
"Tapi Nana keukeuh merajuk pengen kue LOL."
Begitu keluhan Rade diiringi tawa saat menelponnya semalam, membuat ia pun ikut tertawa.
"Tak apa mbak Rade, rejeki buat aku. Jadi double ya entar." balas Rahma masih tetap tertawa renyah.
Dengan dasar kue tart yang dibuat Dewi asistennya, Butter cream warna pink dan biru muda telah membalut rapih cake dua tingkat itu. Ia melukis bentuk pita warna pink di bagian atas. Lalu gambar-gambar kecil bentuk love yang menempel di sisi kiri dan kanan tingkat pertama. Tak lupa menancapkan lima boneka mini karakter LOL dan terakhir menuliskan ucapan 'Happy Birthday Zwastina' serta angka 2 yang menancap paling atas di samping satu tokoh LOL.
Done.
"Mba Rahma, ada Bu Puput." Fitri, salah satu pegawainya muncul di pantri dengan senyum kagum melihat birthday cake yang sudah jadi.
"Kasihkan aja pesanannya, Fit. Bika ambon 10 box." Rahma beralih ke washtafel untuk mencuci tangan sebagai ritual akhir pekerjaannya.
"Pengen ketemu dulu sama mbak Rahma, katanya."
"Oke." Rahma membuka apronnya. Menyuruh Fitri menyimpan kue ulang tahun itu ke showcase sebab baru akan diambil nanti sore.
Rahma menemui Bu Puput, seorang istri purnawirawan TNI AU yang menjadi pelanggan setianya.
"Ibu apa kabar?" Rahma dengan senyum terkembang menyalami seorang ibu bergamis blink-blink yang tampak cantik berkilau dengan wajah awet muda.
"Alhamdulillah, Neng Rahma." Bu Puput balas memeluk hangat dengan binar bahagia sambil menanyakan juga kabar Rahma.
Keduanya duduk di meja paling sisi menghadap kaca yang tembus ke tempat parkir. Dua gelas teh tawar hangat dan sepiring kudapan dihantarkan Fitri dan menyajikannya di atas meja.
"Ibu seneng deh bisa dibuatin lagi bika ambon."
"Huh. Harus sabar nunggu beberapa bulan biar dapet bika buatanmu. Bika buatan pegawai rasanya beda dengan buatan neng Rahma."
"Maaf lho, ibu bicara apa adanya aja."
"Iya bu, nggak apa-apa." Rahma tersenyum melihat antusias bu Puput yang memuji kue buatannya. "Memang saya akui, pegawai belum ada yang bisa membuat sesuai taste saya, padahal udah diajarin," lanjutnya sambil terkekeh.
"Makanya ibu lebih baik nunggu neng Rahma aktif lagi." Bu Puput lalu meraih tangan Rahma. "Yang sabar dan kuat ya. Ibu tahu ini tidak mudah , tapi yakin kamu bisa melaluinya. Karena gusti Allah tidak akan membebani hambaNya di luar batas kemampuan."
Rahma mengangguk dengan mata berkaca. "Aamiin, Bu. Mohon do'anya."
"Wes, jangan sedih-sedihan ah." ujar Bu Puput sambil menyeruput tehnya. "Eh, aku penasaran juga. ini kamu bisa bikin bika yang jos gandos gini, kursus di mana?"
"Jadi aku ndak perlu jauh-jauh ke Medan karena di sini...beuh enak tenan." Bu Puput yang kadang membahasakan dirinya ibu, kadang aku, terus nyerocos penuh ekspresif.
"Kamu kan orang Aceh," lanjutnya menjegal Rahma yang siap membuka mulut untuk menjawab.
Rahma terkekeh sesaat sebelum menjawab. "Ayah asli Aceh, Ibu asli Medan. Jadi belajarnya dari ibu saya."
"Oalah, pantesan. Warisan leluhur toh. pasti ada resep rahasia." Bu Puput mengangguk-angguk sebab kini dirinya faham.
"Ah iya, ke sini selain mau ambil pesanan, juga mau pesan kue lagi untuk bulan depan." Masih berlanjut ternyata obrolan bu Puput.
"Saya mau nikahin anak bungsu. Jadi mau pesan 4 macam kudapan. Bika, pie buah, 2 lagi sak karepmu (terserah kamu)."
"Jumlah tamunya seribu orang. Kudapannya kali dua, jadi dua ribu pcs."
"Nanti disiapkan stand khusus. Neng Rahma siapin satu pegawai buat jaga stand. Seragamnya entar tak kirimin sekalian kirim undangan buat kamu juga."
"Boleh simpan kartu namamu, sekalian promosi gratis tis." Bu Puput mengakhiri penjelasan panjang lebarnya dengan membulatkan jari dan kedipan mata.
Rahma mengusap wajahnya sambil berucap syukur. Rejekinya mengalir melalui perantara Ibu Puput. Lalu ia menghitung berapa nominal rupiah untuk dua ribu pcs kudapan. Dan 50% uang muka pesanan langsung ditransfer ke rekeningnya saat itu juga.
"Yo wes aku tak muleh sek (aku pulang dulu)."
"Jaga kesehatan ya. Ingat, kamu masih punya Dika," Bu Puput yamg asli Madiun itu mengusap-ngusap bahu Rahma begitu akan keluar dari toko usai sopir memasukkan belanjaannya ke dalam mobil.
"Makasih, Bu. Ibu udah perhatian sama saya." Rahma balas menatap haru sebab ia dikelilingi oleh orang-orang baik dan peduli. "Ibu juga jaga kesehatan, bentar lagi mau nambah mantu."
"Ashiaap." Bu Puput memberi tanda hormat dengan gaya jenaka.
"Wah, ibu gaul deh."
Keduanya tertawa lepas sebagai akhir perjumpaan hari ini. Rahma berdiri di ambang pintu sambil melambaikan tangan kala mobil yang ditumpangi Bu Puput perlahan keluar dari parkiran.
Ia berjalan tergesa naik ke lantai 2, menuju kamar tempat sang anak tidur siang. Ia khawatir anaknya terbangun dan menangis sebab pintu dikunci dari luar, sebagai jaga-jaga dari kemungkinan sang anak turun tangga sendirian. Bahaya.
Rahma bernafas lega. Dika masih tidur dengan nyenyak. Ia menghampirinya dan mencium kening Dika berkali-kali sambil lirih berkata "Maafin Bunda, sayang."
Tadi pagi, spontan ia meraih Dika. Membawanya keluar dari kamar tamu menuju kamarnya.
"Sayang, nggak boleh manggil orang lain 'Ayah'!"
"Itu bukan ayah Dika."
"Ayah udah pulang, Nda."
"Atu mau te ayah."
Sikap ngeyel Dika membuatnya emosi. Ia menghalangi Dika yang akan turun dari ranjang. Dan memperlihatkan foto-foto Malik di galeri ponselnya kepada anaknya yang masih polos itu.
"Ini ayahmu, nak."
"Nanti minggu depan Dika ulang tahun. Bunda akan ajak Dika ke tempat ayah."
"Ingat ya. Nggak boleh panggil orang lain ayah."
"Panggil OM!"
"Ayah Dika cuma satu, namanya ayah Malik."
Ia tak sadar sudah berkata dengan nada tinggi. Membuat Dika ketakutan dan menangis keras, tersedu sambil menelungkupkan badan.
"Apa-apan kau ini, Rahma."
"Istigfar!"
Entah sejak kapan Uma berdiri di ambang pintu yang terbuka itu. Ia bahkan terkaget mendengar Uma yang membentaknya.
"Dika masih kecil. Mana ngerti dengan ucapanmu.
"Kayak nasehatin anak SD aja."
"Bukan gitu caranya ngasih pengertian."
"Lembutkan suaramu!"
"Belai rambutnya dan ngomong pelan-pelan!"
Omelan panjang Uma membuat Rahma terhenyak, tersadar. Ia menyesal sudah membentak Dika. Sungguh, ini di luar kesadarannya. Ia buru-buru meraih Dika ke dalam pelukannya. Menciuminya bertubi-tubi sambil berucap maaf.
Jam 7 pagi ia memutuskan berangkat lebih awal ke toko tanpa sarapan. Memilih membawa bekal untuknya dan Dika yang akan dimakan saat sampai di ruko. Entah apa yang sedang dibahas Ayah bersama dokter Gunawan. Yang ia tahu, saat bersiap berangkat pun, orang yang berada di kamar tamu itu belum juga terbangun.
Maafkan kekhilafan hamba, ya Allah. Aku hanyalah manusia biasa.
"Maafin Bunda, sayang." Rahma mengusap kening yang dipenuhi bulir keringat. Memperhatikn Dika yang mulai menggeliatkan tubuhnya, mengerjapkan mata, lalu menguap panjang.
"Huoam..."
Rahma tersenyum sambil menutupkan tangan ke mulut Dika yang terbuka lebar.
"Nda..." Dika tersenyum. Sungguh cute. Lalu menyusupkan wajah ke dada sang ibu dengan manja. Yang dibalas Rahma dengan mengusap-ngusap punggung jagoan kecilnya itu.
"Bunda sayang Dika. Sangat sayang." Ia mengeratkan pelukannya seolah takut orang lain mengambil buah hatinya itu.
****
Mizyan mengerjapkan mata. Rasa pusing yang berputar di kepala membuatnya mengernyit dan meringis. Ia memilih memejamkan mata lagi sesaat. Perlahan rasa pusing mulai berkurang berganti merasakan kering di tenggorokan. Ia mengedarkan pandangan, memindai seluruh ruangan kamar bercat abu muda yang tampak asing.
Ia beringsut menyandarkan punggung di kepala ranjang dalam posisi setengah duduk. Ia pun terkaget mendapati baju yang dipakainya hanya kaos hitam tanpa jaket kulit. Bertambah kaget kala sadar bagian bawahnya hanya mengenakan ****** ***** yang ditutup selimut sampai ke pinggangnya.
Apa yang terjadi?
Ia berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Kilasan peristiwa saat di hotel, jalannya yang sempoyongan menuju mobil lalu melajukan mobil sembarang arah tanpa tahu tujuan.
Lamunanya buyar kala melihat handle pintu diputar dari luar. Seseorang masuk dan wajah yang tampak familiar.
"Alhamdulillah. Sudah bangun, nak."
"Bapak...." Mizyan berusaha mengingat-ngingat dengan mata menyipit.
"Kenalkan saya.Badru, kakeknya Dika."
"Kita ketemu di kajian ahad kemarin. Masih ingat?" Pak Badru tersenyum sambil duduk di tepi ranjang memperhatikan keadaan Mizyan.
"Oh ya ya, saya ingat...saya ingat." Mizyan mengangguk-angguk teringat sosok bocah bermata bulat yang duduk di pangkuannya sampai tertidur.
"Nama saya---"
"Bapak sudah tahu." Pak Badru memotong ucapan Mizyan sambil terkekeh. "Mizyan, kan?!"
"Idolanya emak-emak. Nggak mungkin nggak kenal lah," lanjut Ayah Badru sedikit berseloroh.
"Bapak bisa aja."
Kini ia tahu apa yang terjadi semalam usai dirinya terjatuh di depan gerbang sebuah rumah dan baru terbangun jam 9 pagi. Pak Badru dan Uma, begitu istrinya pak Badru minta dipanggil, menceritakan secara detil usai menemaninya makan.
"Dokter bilang harus cek lab, untuk memastikan zat apa yang membuat nak Mizyan tidur panjang.
"Ia meminta ijin untuk mengambil sampel darah, namun bapak tolak. Bapak harus dapat persetujuan nak Mizyan dulu."
Mizyan yang kini lebih segar usai perutnya diisi penuh, tampak menggelengkan kepala.
"Tak usah, pak. Biar saya cek sendiri. Kebetulan ada teman seorang dokter."
Merasa keadaan badan sudah lebih baik, jam 11 siang Mizyan memutuskan untuk pulang. Ia bahkan menulipkan sejumlah uang yang ada di dompetnya saat bersalaman sebagai ucapan terima kasih. Namun Pak Badru menolaknya dengan tegas. Membuatnya tak bisa berbuat apa-apa lagi selain ucapan terima kasih yang bertubi-tubi.
"Jaket sama celana panjangnya lagi dicuci. Nanti aja ya Uma bawakan kalau kajian ahad." Uma mengulum senyum memperhatikan Mizyan yang mengenakan celana pendek milik Ayah yang mengatung di atas lutut padahal jika dipakai oleh suaminya pas menutupi lutut.
"Nggak usah, Uma. Jangan repot-repot. Biar saya aja yang ambil ke sini kapan-kapan."
"Yakin kuat nyetir, nak?" Pak Badru memastikan lagi kondisi Mizyan yang tengah memanaskan mobilnya yang kini berada di pekarangan.
"InsyaAllah, Pak. Saya sudah bugar."
Usai pamit dan sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada orang tua yang ramah dan baik itu, Mizyan tidak mengarahkan mobilnya ke pesantren melainkan ke apartemen.
Sesungguhnya badannya masih terasa lemas. Namun ia malu jika harus tinggal lebih lama di rumah orang yamg telah menolongnya itu. Ada hal yang harus ia pastikan begitu tiba di apartemen.
****
Assalamualaikum
Aku baru menyapa di bab 11 ini.
Apa kabar readers semua? 😁
Semoga sehat dan tetap semangat mengikuti alur ceritanya ya.
Gimana2 emak, teteh, mbak, akang, mas, abang? udah abis tisu brp lbr nih 😄
Aku kabulkan nih permintaan crazy up. Eh tapi yg mintanya terdeteksi ada yg nggak vote or ngasih hadiah. Hehehe, ayo ngaku 😉
Saling memberi dan menerima pastinya menyenangkan kedua belah pihak, bukan?
Over all, makasih utk semua sedekah dlm berbagai bentuk yg udah diberikan pembaca. Wah, aku terharu banyak KOIN yg othor terima pdhl blm banyak bab.
Seperti biasa, mari selalu jaga IMAN & IMUN!
Imun tinggi, iman lemah, hanya akan menjadikan pribadi yg sombong merasa diri sehat krn usahanya bukan krn pertolongan Allah. So, balancing is good.
Peluk onlen untuk semuanya 😍
Salam
Me Nia
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
Yeti Kosasih
Alhamdulillah dari semua karya teh Nia hanya satu yg engga ketemu " Biarkan aku jatuh cinta"
bolak balik di cari tetep g ada..
😭
pdhl sepertinya seru bangeet ya kyknya tentang si kocak Ami yg jatuh cinta sama Akbar ya..duuh
2025-01-18
0
Oyah Karlinaa
aku bacanya ini udah yang ke 4 kali tapi ta bosan,, makasih me -nia,,😘😘😘
2024-09-30
0
Naya
peluk onlen juga neng Nia, lg nunggu novel Zaky, jadi mampir lg kesinii 😍
2024-08-21
3