Lelah, penat dan lengket. Itu yang dirasakan tubuh Rahma saat ini. Ia baru pulang menjelang pukul 9 malam menggunakan taksi online sebab mobilnya sengaja dibawa lebih dulu saat ayah menjemput Dika. Guyuran air hangat dari shower berhasil menyegarkan tubuhnya dan menipiskan penatnya pikiran.
Ia mematut diri di depan cermin dengan handuk yang masih melilit di badan dan rambut yang terbungkus handuk kecil. Pipi tirus dan cekungan dalam di leher menandakan berat badannya belum kembali normal alias masih kurus. Ia memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam dari hidung, menghembuskan perlahan dari mulut. Ia mencoba membangun kekuatan, motivasi diri untuk bisa melalui jalan panjang ke depan. Be a single mom.
Menjadi single mom adalah orang yang kuat. Begitu ia menyimpulkan bacaan dari sebuah artikel di laman online tadi siang saat di toko. Membutuhkan kekuatan serta kesehatan mental dan fisik. Dan ia mulai membangun itu.
Tumben Dika udah bobo. Biasanya nungguin aku pulang.
Ia tersenyum melihat pemandangan di atas ranjang yang menyejukkan hatinya. Dikecupnya kening sang buah hati yang terlelap dengan mulut sedikit terbuka itu.
Rahma keluar dari kamar mengenakan daster coklat polos dengan bordiran bunga di bagian dada. Bibirnya melengkungkan lata 'wow'w dengan binar ceria melihat sepiring nasi goreng hangat di meja makan yang sudah dipastikan untuknya. Ia memilih makan sambil bergabung dengan ayah dan uma yang tengah menonton televisi.
"Hmm. Enak banget ini nasi gorengnya. Kayak buatan restoran." Ia mengomentari rasa nasi goreng sea food yang memenuhi mulut. Entah efek badannya yang kini segar atau karena lapar menyebabkan ia menjadi rakus sampai-sampai makan dengan cepat seolah takut jatahnya diambil orang.
Uma mengedipkan mata ke arah Ayah dengan senyum dikulum menyaksikan aksi rakus anak tunggalnya itu.
"Alhamdulillah...nikmatnya." Rahma menyimpan gelas kosong dan piring yang telah licin berdampingan di atas meja.
"Emang itu dari restoran kok. Uma sama Ayah abis makan di luar." Uma baru mengomentari usai Rahma mengelap bibirnya dengan selembar tisu.
Rahma membeliakkan matanya sambil tersenyum lebar mendengar jawaban ibunya itu. "Nah gitu, pacaran di luar. Bagos." Lanjutnya sambil mengangkat dua jempolnya.
"Tadi pulang dari toko mampir ke alun-alun, shalat ashar di sana. Terus ketemu temennya Ayah, ngobrol-ngobrol sampe nggak kerasa mau magrib. Sekalian deh magrib di sana."
"Dika juga anteng mainnya. Berbaur sama anak-anak lain di lapang rumput."
"Abis shalat temen ayah maksa ngajak makan bareng. Ya...rejeki nggak boleh ditolak. Kita lanjut ke TSM."
"Udah gitu harus bekal juga buat dibawa pulang. Uma inget kesukaanmu, nasi goreng seafood."
"Tambah abis makan, lanjut main di play ground. Uh, senengnya dia sampe gak mau pulang. Baru nyampe rumah jam 8 tadi juga."
Penjelasan Uma membuat Rahma manggut-manggut. "Pantesan Dika cepet bobo, cape ya," lanjutnya terkekeh membayangkan tingkah anaknya yang aktif.
"Temen ayah yang mana sih?" Rahma menatap ayah dengan raut penasaran. "Hebat ayah. Baru setahun tinggal di Bandung udah banyak teman aja."
"Temen pengajian." Jawab Ayah singkat tanpa mengalihkan tatapannya dari tayangan berita televisi.
Rahma kembali le kamarnya. Ia menatap buku diary bersampul hitam yang diambilnya dari laci lemari. Tak ingin terus larut dalam kesedihan, demi berusaha menjadi single mom, ia menguatkan hati untuk melanjutkan membaca tulisan tangan Malik, sang pemilik hatinya.
14 April 20xx
Rahma istriku sayang,
Abang tak ingin terus dalam kepura-puraan. Kuat di depanmu, padahal hati remuk. Jujur, abang belum ikhlas menerima takdir penyakit yang menimpa, belum ikhlas jika kemungkinan umur abang tak akan lama lagi.
Beruntung Nico mengajak Abang bertemu seorang ustad. Nasehatnya mengena di hati. Alhamdulillah pulang dari sana, titik balik Abang menjadi pribadi yang tawakal.
Rahma mengusap sudut matanya yang berkaca. Terbayang kilas balik saat Malik begitu santai dan tenang menghadapi ujian penyakit itu. Beda dengan dirinya yang sering menangis sembunyi-sembunyi.
19 April 20xx
Setelah sekian lama libur, Abang seneng banget bisa menyentuhmu lagi semalam. Kenyang banget kayak orang kelaparan, hehe....
Blush. Wajah Rahma merona membaca bagian ini. Darahnya berdesir kala membayangkan saat malam itu. Malik yang rakus menyentuhnya, melarutkannya dalam kenikmatan tak bertepi. Ia mendekap buku diary sepenuh hati. Membayangkan Malik yang tengah dipeluknya untuk melepas rindu yang tiba-tiba menyesak dada.
Hari ini Abang mulai kemoterapi kedua. Abang siap jalani dengan semangat. Demi bisa terus mendampingimu dan anak kita.
Lagi. Ia harus berkaca-kaca demi membaca kelanjutan tulisan tangan sang suami yang sangat rapih itu.
Malam ini cukup. Ia menutup diary bersampul hitam itu. Dan berjanji akan terus membacanya di malam-malam berikutnya sebagai dongeng pengantar tidur.
Ia merafalkan doa sebelum tidur dan tak pernah terlewat selalu mengirimkan doa terbaik untuk almarhum.
****
Hari-hari menjelang ulang tahun Dika yang kedua, Rahma disibukkan dengan banyaknya pesanan setiap harinya. Ia tak bisa mencegah Ayah yang turut membantu menjadi sopir yang mengantar 300 box snack ke salah satu bank BUMN yang hari ini merayakan ulang tahun. Ia dan Uma pun turun tangan di pantry dibantu 2 karyawan bagian pantry yang tampak cekatan dan bersemangat. Demi mengejar target menyelesaikan 250 box snack yang akan diambil sore ini.
Alhamdulillah rejekimu, nak.
Rahma beralih mengontrol ke ruang pengemasan sambil menciumi pipi Dika yang turut nimbrung membentuk dus kemasan. Bukannya membantu malah membuat dus penyok-penyok.
"Hari ini Bunda kasih dispensaai deh, yang penting kamu anteng." Dengan gemas Rahma menggesekkan hidungnya di ketiak Dika.
"Ih Nda ihh....diem..." Dika tertawa-tawa dengan badan mengkerut sebab geli. ia pun melayangkan protes sebab sang bunda sudah mengganggu kegiatannya.
Sandi dan Lia, dua karyawan yang tengah menyusun isian box, senyum-senyum menyaksikan interaksi ibu dan anak itu.
"Mbak Rahma, ada tamu." Fitri memanjangkan leher di ambang pintu sebab tak bisa lama-lama meninggalkan meja kasir.
"Siapa, Fit?"
"Ibu Indah."
Rahma cukup terkejut mendengar nama itu. Terakhir mertuanya itu datang ke rumah saat 40 harinya Malik untuk mengajak Dika jalan-jalan. Namun Dika sama sekali tidak mau, malah menangis. Kali ini mau apa?
"Rahma. Apa kabar, nak?" Mama Indah dengan senyum terkembang, berdiri menyambut kedatangan Rahma ke mejanya dengan pelukan dan mencium kedua pipinya.
Tunggu-tunggu. Nggak salahkah ini.
"Alhamdulillah baik, Ma." Balasnya dengan sedikit kerutan di kening sebab merasa heran dengan perubahan 180° sikap mertuanya itu. Biasanya mama Indah akan memalingkan muka saat ia mencium tangannya.
"Mama minta maaf atas sikap mama selama ini." Mama Indah memasang wajah penuh penyesalan dengan tangannya menggenggam kedua tangan Rahma di tengah meja.
"Mama sadar udah berlaku egois. Please, lupakan masa lalu. Mulai sekarang kita keluarga."
Rahma, antara bahagia dan ragu berpadu di hati. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba mama Indah berubah baik dan ramah. Benarkah mama tulus?!
"Mau kan maafin Mama?!"
Rahma menatap kedua bola mata wanita berambut coklat yang duduk di depannya itu. Seolah mencoba mengorek kejujuran dari sorot mata yang berkaca itu.
"Iya, Ma."
Cukup lama mereka berbincang bahkan Dika menghampiri dan bergelayut manja di lengan Rahma. Anak itu menggeleng kuat saat sang nenek meminta beralih duduk di pangkuannya.
"Ini Oma bawa kado buat Dika. Lusa ulang tahun kan, sayang." Mama Indah menyerahkan goodie bag besar ke depan sang cucu.
"Besok Oma mau pergi ke Singapura. Jadi kadonya sekarang aja."
"Jadi anak yang hebat ya, sayang." Mama Indah mencium kedua pipi cucunya itu. "Kamu mirip sekali ayahmu waktu kecil."
Rahma terbawa haru melihat mama Indah yang berkaca-kaca. Mungkin benar mertuanya itu kini telah berubah. Semoga ini bagian dari berkah di usianya Dika yang ke 2 tahun.
"Bilang makasih sama Oma, sayang." Rahma mengingatkan Dika yang tengah mengintip isi di dalam goodie bag berwarna biru itu.
"Maacih, Oma."
****
Tak ada lembaran diary yang dibuka dua malam terakhir ini. Sebab kesibukan di toko yang membuat Rahma lelah dan cepat tidur saat tiba di rumah.
Kajian ahad pagi ini ia tidak ikut ke pesantren sebab bertepatan dengan milad sang anak. Dan ia sudah berjanji akan membawa Dika ke tempat ayahnya. Lalu siangnya akan ada acara kumpul-kumpul di rumah. Salma dan Candra sudah datang dari Jakarta membawa si kembar dan menginap di rumah Suci. Tidak ada acara pesta, hanya acara main bersama dengan mengundang badut bermain sulap untuk menghibur anak-anak.
Suasana komplek pemakaman di hari minggu tentu berbanding terbalik dengan suasana car free day yang sangat ramai pengunjung. Di sini sepi. Hanya segelintir orang yang berjalan di depan gerbang masuk komplek, sebagian ada yang mengais botol-botol plastik bekas.
Rahma menuntun buah hatinya menyusuri jalan kecil menuju pusara Johan Al Malik yang tampak berhias rumput hijau, seragam dengan pusara lainnya.
Ia duduk bersimpuh, diikuti Dika yang berjongkok di sisinya. Satu keranjang berisi penuh kelopak mawar merah tersimpan di sisi kiri. Sebaris doa dengan tangan menengadah lirih terucap. Aamiin. Ia telah menyelesaikan doanya.
Abang, aku datang bersama Dika.
Anak kita kini usianya 2 tahun. Sudah besar dan makin aktif. Tambah ceriwis juga. Aku sampe cape melayani celotehannya.
Rahma menyunggingkan senyum sambil menaburkan kelopak bunga mawar segar di atas pusara.
"Dika, ini rumah Ayah." Rahma menelan saliva saat harus memperkenalkan keberadaan Malik pada anaknya yang turut menaburkan bunga. Padahal dari rumah ia sudah menguatkan hati agar bisa tegar dan tidak menangis.
"Bilang, Assalamualaikum Ayah."
"Salamikum, Ayah." Dika berseru riang mengucapkan salam mengikuti sang bunda.
"Mana ayah, Nda?" Dika menoleh ke arah bundanya dengan raut penasaran.
"Ayah lagi bobo di dalam. Dika nggak bisa bertemu Ayah. Hanya bisa melihat rumahnya aja."
"Nda, atu mo peyuk ayah."
Bobol sudah bendungan air mata yang dari tadi dikuatkannya, ditahannya. Ucapan polos Dika dengan sorot mata yang merajuk sungguh mengiris hatinya.
Tolong, bagaimana cara menjelaskannya lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
betriz mom
luar biasa cerita nya bagus banget Thor.😭😭😭
2024-05-12
0
Erna Masliana
sedih lg 😭
2024-04-26
0
Normahasrul
Sedihhhh aku😫😫😫
2023-12-07
0