Suasana hening menyelimuti acara sarapan pagi bersama ustad Ahmad dan juga istrinya Umi Hani serta anak pertama beliau bernama Fahri. Mizyan tak berani membuka percakapan saking takzimnya terhadap dua orang bersahaja yang telah menganggapnya sebagai anak angkat. Abah, panggilannya untuk ustad Ahmad, paling senang acara makan sambil duduk lesehan. Beralaskan karpet yang empuk, tampak hidangan ala sunda tersaji di tengah-tengah. Tutug oncom, goreng ikan nilem, mendoan, ditambah sambal lalab serta kerupuk menjadi sajian yang nikmat usai acara kajian .
"Bagaimana pekerjaannya, nak Mizyan?" Abah menyusut permukaan bibirnya dengan tisu usai meneguk teh hangat dengan piring yang telah licin tanpa sisa.
"Alhamdulillah, Bah. Lancar." Mizyan turut mengakhiri acara makan dengan berucap hamdalah. Sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan menu sederhana namun sangat nikmat itu. Selama 6 bulan nomaden ia selalu makan di restoran dan lebih banyak dijamu oleh kliennya.
"Solatnya bagaimana lancar juga? Nggak pernah bolong?"
"Nggak pernah bolong, Bah. Tapi kadang shalatnya akhir hehe..." Mizyan tertawa sumbang sebab merasa. Di saat sedang bekerja bersama klien ia masih menunda-nunda melaksanakan ibadah wajib itu.
"Shalat adalah perkara pertama yang akan dimintai pertanggung jawaban kelak, maka jangan jadikan shalat sebagai hal terakhir yang kamu pikirkan."
"Maafkan saya, Bah." Mizyan menundukkan kepalanya. Merasa malu mendapat teguran halus dari Abah.
"Belajar dan terus belajar menggali fadilah shalat. Bisa bertanya pada kakakmu." ustad Ahmad menunjuk Fahri dengan dagunya yang duduk di samping Mizyan.
"Jangan anggap shalat hanya penggugur kewajiban, karena kita akan terburu-buru mengerjakannya."
"Bila kita anggap shalat hanya sebuah kewajiban, maka kita tak akan menikmati hadirnya Allah saat kita mengerjakannya."
"Lakukan shalat dengan benar dan ikhlas, maka akan membuat hati bahagia, jiwa damai, dan menghilangkah kegelisahan hidup."
Sebenarnya Mizyan masih betah mendengarkan nasehat ustad Ahmad yang disampaikan dalam suasana kekeluargaan itu. Namun asisten sang ustad datang membawa kabar jika sekarang waktunya berangkat ke bandara. Ustad Ahmad harus berangkat ke Pekanbaru untuk kegiatan safari dakwah selama seminggu di sana.
Mizyan mengantarkan Abah dan Umi yang berangkat ditemani 2 asisten sampai depan mobil.
"Maafin kami ya nak, harus pergi. Padahal kamu baru datang, umi juga masih kangen." Umi menepuk-nepuk lengan Mizyan dengan sorot mata penuh sayang seorang ibu. "Mau tinggal lama kan di Bandung?"
Mizyan mengangguk. "InsyaAllah Umi. Saya juga mau tinggal di sini (pesantren) mau lanjutin ngaji."
"Alhamdulillah." Umi tersenyum senang. "Jangan sungkan. Anggap rumah sendiri ya. Kalau perlu bantuan apa aja, kamu bisa minta tolong santri."
"Tapi ingat santriwan. Bukan santriwati!"
Mizyan tertawa mendapat todongan telunjuk Umi yang seolah mengancamnya. Ia pun melambaikan tangan kala mobil mulai melaju.
"A Iyan, hayu!"
Mizyan menoleh ke asal suara yang memanggilnya. Rupanya Dado dari tadi setia menunggu di teras. Keningnya mengkerut melihat Dado dengan isyarat tangan menunjuk ke arah paviliun.
"Kang, saya tinggal dulu ya." Mizyan pamit kepada Fahri yang sedang berbicara dengan salah seorang pengurus yayasan. Yang kemudian dibalas anggukkan oleh Fahri.
Dengan semangat 45, Dado membuka pintu ruang paviliun. Mizyan menyaksikan banyaknya tumpukan kado berbagai ukuran tersimpan memenuhi salah satu kursi.
Kayak kado ulang tahun aja.
Mizyan geleng-geleng kepala. Selama setahun tinggal di pesantren, kehadirannya telah mencuri perhatian para gadis. Baik santriwati maupun jemaah pengajian dari luar pesantren. Bahkan proposal taaruf menumpuk di sudut meja kerjanya. Hanya dibaca sekilas bahkan sebagian belum dibuka. Entahlah, sejak ditolaknya lamaran oleh Rade, ia merasa belum siap memiliki hubungan spesial dengan wanita apalagi rencana menikah. Masih jauh.
****
Mizyan memarkirkan mobilnya di halaman sebuah rumah berlantai 2 tepat di samping mobil SUV berwarna hitam. Bersaman dengan ia keluar dari mobil, sepasang suami istri keluar pula dari dalam rumah dengan berpakaian serba hitam.
"Assalamualaikum." Mizyan berseru dengan penuh keriaan sebab bisa bertemu lagi dengan orang-orang yang dirindukannya.
"Waalaikumsalam."
Satya dan Rade sang pemilik rumah, menjawab dengan kompak diiringi senyum lebar melihat siapa tamu yang datang.
Mizyan dan Satya saling berpelukan dan tertawa sebab merasa senang bisa bertemu lagi. Selama ini mereka hanya melakukan komunikasi lewat telepon dalam membahas pekerjaan.
"Keponakanku mana, De? Kangen nih." Mizyan beralih menatap Rade yang tengah senyum-senyum menyaksikan interaksinya dengan Satya.
"Di dalam kak, sama mbak. Kita ngumpet-ngumpet nih keluarnya. Kalau tau bisa nangis pengen ikut." Rade menoleh ke arah pintu yang tertutup.
"Oh, kalian mau pergi ya?" Mizyan baru sadar jika pasangan di depannya itu memakai warna baju yang sama dengan Rade menyampirkan tas di bahu.
Satya mengangguk. "Kita mau takziah. Tadinya mau ke rumahnya tapi sekarang sudah siap-siap pemakaman. Jadi mau langsung ke TPU."
"Siapa yang meninggal?"
Bertiga mereka menaiki mobil yang sama menuju TPU (Tempat Pemakaman Umum). Mizyan memilih ikut sebab kenal dengan Nico sebagai partner Satya dalam bisnis properti.
Mobil masih melaju pelan menyusuri jalanan komplek perumahan dengan unit limited edition itu. Mizyan sempat menoleh ke arah rumah Nico yang tampak sepi tanpa ada kendaraan terparkir di luar.
"Meninggal karena apa, Sat?" Mizyan yang memilih ikut takziah yang duduk sendiri di baris kedua mulai bertanya sebab penasaran. Ia tidak kenal dengan sahabatnya Nico yang meninggal itu. Hanya kenal dengan Nico nya saja.
"Sakit. Kanker nasofaring."
"Anaknya satu, laki-laki seumuran Nana. Kasihan udah jadi yatim..."
Mizyan mengangguk-ngangguk mendengar penjelasan Satya. Mendadak atmosfer dalam mobil diselimuti rasa duka. Ketiganya terdiam dengan masing-masing pikiran berkelana membayangkan jika kematian memang tak mengenal batas usia. Membayangkan pula kedukaan istri almarhum yang ditinggalkan.
Suasana pagi menjelang siang di komplek pemakaman sudah dipenuhi orang-orang yang mengantar dan melepaskan almarhum Johan Al Malik menuju peristirahatan terakhir. Deretan makan tampak tertata apik, seragam berumput hijau dengan hiasan nisan di bagian kepala. Mizyan, Satya dan Rade berdiri berbaur di barisan orang-orang yang menyaksikan pengurugan tanah yang memenuhi liang lahat.
Mungkin itu istrinya.
Pandangan Mizyan tertuju pada punggung seorang wanita berpakaian serba putih yang berjongkok di depan pusara sambil menaburkan bunga mawar. Tampak dua orang wanita di kiri dan kanannya mengusap-ngusap punggung wanita itu seolah mentransfer dukungan agar sabar dan tabah.
Mizyan menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan. Suasana duka begitu kental terasa dan ia pun ikut terhanyut terbawa suasana. Apalagi saat terdengar isakan kecil dari pemilik punggung seorang wanita berpakain serba putih itu yang kini luruh terduduk di tanah kala ustad memimpin doa. Hatinya ikut perih.
"Anaknya satu, laki-laki seumuran Nana. Kasihan udah jadi yatim..."
Ucapan Satya terngiang kembali kala Mizyan mengusap wajah usai mengaminkan doa sang ustad.
"Saya turut berduka cita. Semoga almarhum mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah."
"Yang sabar dan kuat, bro." Mizyan menyalami dan memberi pelukan kepada Nico yang tampak raut kesedihan mendalam meski matanya ditutupi kacamata hitam.
"Aamiin. Makasih buat kedatangannya."
Satya pun melakukan hal yang sama mengucapkan bela sungkawa. Tampak pula Rade menghampiri sekumpulan wanita dan menyalami semuanya.
Orang-orang berangsur meninggalkan komplek pemakaman dan menyisakan beberapa orang yang merupakan keluarga terdekat almarhum Malik.
"Kita pulang!" Colekan dibahunya membuat Mizyan menoleh. Ia melihat Satya dan Rade berjalan terlebih dulu meninggalkan dirinya yang masih berdiri mematung menyaksikan pemandangan keluarga yang mengelilingi pusara, terdengar mulai melantunkan doa.
"Yan!"
Panggilan Satya membuat Mizyan tersadar dari keterpakuannya. Ia membalikkan badan, berjalan cepat menanggalkan kedukaan yang telah menyelimuti hati. Sebelum keluar dari gapura, ia menatap untuk terakhir kalinya ke arah gundukan tanah merah dengan sekumpulan orangnya yang masih melantunkan doa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
Mmh dew
❤🧡💙💜💚💛
2024-08-02
0
Aira Azzahra Humaira
lanjut
2024-07-04
0
lacibolalaaaaaa
alhamdulillah ya Allah itung2 di ingetin
2024-02-02
0