Rahma terbangun dengan kaget dan mata menyipit kala wajahnya terkena hantaman tangan si kecil Dika. Sudah menjadi hal biasa sebab anaknya itu jika tidur posisinya akan berubah-ubah, berguling dan berputar. Ia memasangkan kembali selimut yang melorot ke tubuh Dika dan kembali dirinya merebahkan badan.
Jam dinding menunjukkan pukul 23.30 malam. Berarti ia baru tertidur 2 jam lamanya. Namun kini rasa kantuk mendadak sirna. Padahal sepanjang hari ia sengaja menyibukkan diri agar malam bisa tidur lelap dan terbangun menjelang subuh. Demi apa? Demi bisa menghindari dari terus-menerus mengingat sang suami, mengingat cinta dan kenangannya.
Rahma menghembuskan nafas kasar. Mencoba berganti-ganti posisi agar mata bisa terpejam. Tetap saja susah.
Rindu.
Kemana kulabuhkan rasa rindu ini, Bang.
Rahma terduduk sambil menutup muka dengan kedua telapak tangan. Berat, sungguh berat beban rindu yang dipikulnya. Ia mendesah, menghembuskan nafas panjang, lalu memilih beranjak menuju lemari dan membuka sebuah laci.
"Perawat menitipkan ini sama Uma. Katanya almarhum pernah berpesan untuk memberikan buku ini sama kamu."
Ia mendekapnya di dada. Sudah lima bulan berlalu sejak kepergian Malik. Namun ia belum ada keberanian membuka buku diary bersampul hitam itu. Takut, belum siap.
Dengan tangan gemetar, ia duduk di depan meja rias, memberanikan diri membuka halaman pertama sambil berucap bismillah. Tanpa bisa dibendung, air mata luruh membasahi kedua pipi. Sebuah family potret dengan pose senyum merekah menghadap kamera sembari dirinya mendekap baby Dika dan Malik merangkum bahunya, menjadi pembuka halaman pertama.
Halaman kedua.
4 April 20xx
Hari ini menjadi hari yang menakutkan. Kanker nasofaring stadium 3, begitu dokter menyimpulkan dari semua keluhan yang Abang rasakan.
Kamu menangis dan memeluk Abang dengan rasa takut kehilangan. Namun Abang berusaha tegar dan tersenyum penuh ketenangan sambil mengecup keningmu penuh sayang.
"Semua sudah takdir Tuhan," begitu Abang menghiburmu.
Padahal hati Abang menangis. Merasa hidup Abang akan singkat. Akan berpisah, kehilanganmu dan anak kita...
Ia tak mampu lagi melanjutkan. Memilih menutupnya sambil menciumi seluruh permukaan buku lalu memeluknya erat diiringi linangan air mata. Menangis tanpa suara.
Ia berusaha menenangkan diri. Menghirup udara sebanyak-banyaknya dari hidung dan melepaskan lerlahan dari mulut. Satu gelas air putih di atas meja diminumnya sampai tandas.
Kepalanya menggeleng diiringi ucap istigfar berkali-kali. Tak lupa lirihan doa dipanjatkan untuk almarhum suami tercinta.
Aku harus kuat. Demi Dika.
Bugh.
Suara benda jatuh dikeheningan malam, membuat Rahma terperanjat. Ia buru-buru menyeka mata yang masih berair juga mengeringkan pipi yang basah dengan beberapa lembar tisu. Ia beranjak menuju jendela. Menyingkap sedikit kain gorden untuk mengintip ke arah halaman. Tak ada sesiapa di luar, hanya dedaunan dalam pot yang berjajar tampak basah sebab hujan rintik-rintik mulai turun. Keningnya mengernyit, dari loster pagar tembok terlihat ada mobil berhenti. Mobil yang tidak dikenalnya.
Rahma mengusap tengkuknya. Tiba-tiba ia merasa takut sebab di rumah hanya ada dirinya dan sang anak. Ayah dan Uma belum pulang dari rumah Suci untuk menemui Umi yang baru datang dari Jakarta.
Tarik selimut menjadi pilihannya sembari mendekap Dika yang sangat lelap. Ia merafalkan zikir dalam hati, terus dan terus sampai terasa lelah dan tak lama kantuk pun menyerang.
****
Titik-titik air mulai jatuh menimpa kaca depan mobil. Hujan rintik pun mulai turun membasahi jalanan. Membuat udara tengah malam terasa makin dingin menusuk kulit. Ayah Badru menghidupkan wiper untuk mengelap kaca mobil yang basah sebab pandangannya menjadi buram akibat air hujan berpadu debu yang menempel di kaca.
Acara kangen-kangenan dengan sang kakak yang tak lain ibunya Suci, yang mendapat giliran tinggal di Bandung membuat ia dan istrinya lupa waktu saking betah hingga tak terasa sudah tengah malam.
"Uma, tahu kan mualaf yang di pesantren ustad Ahmad?" Ayah memecah keheningan dengan mengajak sang istri mengobrol sambil tetap fokus memperhatikan jalanan yang cukup lengang hanya ada sedikit kendaraan yang lalu lalang.
"Oh itu. Pastinya, yah. Idola emak-emak pengen dijadiin mantu." Uma terkekeh. Sebab ia sering mendengar candaan ibu-ibu pengajian yang berharap ada yang berhasil menjadikan mantu sang selebritis pesantren itu.
Ayah Badru tak menampakkan senyum, malah terlihat raut serius di wajahnya. "Tadi di kajian pas ayah selesai shalat sunah, liat Dika akrab sama dia. Malah nggak mau lepas duduk di pangkuannya sampe kajian selesai. Malah sampe Dika ketiduran."
Uma tampak membulatkan matanya. Kaget tentunya. Ia memeringkan badan menghadap sang suami untuk fokus mendengar kelanjutannya.
"Kalau telinga ayah nggak salah tangkap, Dika memanggilnya 'Ayah'."
"Ya Allah, Dika." Uma menggelengkan kepala sebab tertenyuh dengan sikap sang cucu yang mungkin saja kangen dengan ayahnya. Sehingga menganggap orang lain sebagai ayahnya.
Ayah Badru menautkan kedua alisnya begitu mobil yang dikendarainnya mendekati rumah. Ada sebuah mobil terparkir di luar menghalangi setengah pintu gerbang dengan lampu hazard yang menyala.
"Mobil siapa, Yah?" Uma menahan lengan sang suami yang akan turun dengan rasa was-was sebab suasana komplek sangat sepi. Sepertinya dua security sedang berkeliling dan belum sampai ke bloknya.
"Tunggu. Ayah mau lihat." Ayah turun dengan memayungi kepala menggunakan jaketnya sebab hujan rintik-rintik masih membasahi bumi.
"Uma. Sini!" Dengan sedikit keras dan wajah kaget, Ayah melambaikan tangan menyuruh istrinya turun.
"Innalillahi....ini kan?!" Uma memekik sambil menutup mulutnya. Penerangan dari lampu neon jelas mengidentifikasi jika pria yang telentang tak sadarkan diri, dengan wajah basah tertimpa rintik hujan itu adalah orang yang tengah mereka perbincangkan.
Adzan subuh berkumandang. Ayah Badru memastikan keadaan Mizyan sebelum bersiap pergi ke masjid. Masih saja belum terbangun. Semalam dengan dibantu 2 orang security, ayah mengangkat tubuh Mizyan ke kamar tamu. Sekalian juga menjelaskan kepada petugas jaga jika ia mengenal orang yang pingsan itu.
"Uma, Ayah bawa hape ke masjid. Kalau dia belum sadar juga, nanti kabari. Ayah mau ngajak dokter Gunawan ke sini."
Uma mengangguk sembari mengikuti langkah Ayah menuju pintu untuk menguncinya kembali. Ia pun menuju kamar untuk melaksanakan shalat subuh sendiri.
"Ganti bajumu, ada tamu." Uma menegur kedatangan Rahma ke dapur yang masih mengenakan baju tidur selutut.
Rahma yang kaget buru-buru berlari menuju kamar dan kembali muncul mengenakan gamis rumahan.
"Tamunya siapa, Uma?" Rahma mendekati Uma, membantu memasukkan bumbu yang sudah diulek ke dalam katel yang tampak minyaknya sudah panas.
"Mizyan."
Rahma lalu memasukkan kangkung yang sudah dipotong-potong dan dicuci bersih. Sambil mengaduknya, kedua alisnya bertaut merasa pernah mendengar nama itu.
"Temen ayah?" Rahma menoleh ke arah sang ibu yang tengah melumuri potongan daging ayam dengan bumbu ulek kemudian memasukkan ke dalam panci yang airnya sudah mendidih.
"Assalamualaikum."
Uma tak sempat menjawab pertanyaan Rahma. Ia mengambil alih pekerjaan Rahma dan menyuruh anak itu membuka pintu. Suara Ayah yang berucap salam kembali terdengar kedua kalinya yang baru pulang dari masjid menjelang pukul 6 pagi.
Rahma menyahut sambil bergegas menuju pintu.
"Pagi, Rahma." Dokter Gunawan, yang berdiri di samping ayah Badru tersenyum menyapa Rahma yang baru saja membukakan pintu.
"Pagi, dok." Balas Rahma sambil tersenyum tipis. "Ayah sakit?" Ia beralih menatap sang ayah dengan rasa heran sebab datang bersama dokter yang merupakan tetangga di blok C.
"Bukan Ayah, tapi itu..."
"Ayo dok, di kamar tamu."
Rahma masih penasaran dengan jawaban Ayah yang menggantung dengan raut khawatir. Ia mengekori langkah ayah dan dokter ke arah kamar tamu.
Deg.
Deg.
Ia melongo dan mematung di ambang pintu menyaksikan pemandangan yang tersaji.
"Nda, ayah pulang....."
Dua hal yang membuat jantung Rahma serasa mau lepas dari tempatnya. Pertama, wajah yang terbaring dengan pulas. Kedua, anaknya yang berdiri berjingkrak-jingkrak di atas kasur di samping orang yang tengah berbaring, sambil meneriakkan 'Nda, ayah pulang'.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
Khairul Azam
dari semua novel othor, menurutku ini yg berasa banget nympk nyentuh ke hati. bukan berarti novel yg lain gak bagus bagus semua kq, aku jg nympk baca 2x semua 🤭🤭
2025-01-27
0
Siti Aisyah
Terenyuh dgn sikap Dika, polos banget perasaannya
2025-02-15
0
Mmh dew
❤🧡💛💚💙💜
2024-08-02
0