Rahma memilih membereskan piring kotor di dapur selama Ayah dan Uma menemani tamu mengobrol. Bahkan kala ia menuju kamarnya terdengar pula sang ayah menahan-nahan Mizyan yang hendak pulang. Sungguh membuatnya jengah dan memilih berdiam di kamar, tiduran di sisi Dika.
Kasur empuk dan badan yang lelah usai aktifitas seharian yang nano-nano campuran antara tegang, bahagia, haru, kesal, membuat kantuk mulai menyerang. Kala mata siap menutup, terasa guncangan lembut di lengannya. Mau tak mau Rahma membuka matanya kembali dengan enggan.
"Mizyan mau pulang. Kamu temui dulu sana!" Uma menggucang lengan Rahma untuk yang kedua kalinya sebab anaknya itu hanya merespon dengan menggeliatkan tubuh.
"Ada Ayah ini, Uma." Rahma memilih meringkuk sambil memeluk Dika yang tidur lelap dengan mulut yang sedikit terbuka.
"Kamu juga harus temui dulu. Dia kan udah baik nolong urusin mobil ke tambal ban, terus antar ke rumah."
Rahma terduduk sambil merapihkan rambut panjangnyan untuk diikat sebelum mengenakan jilbab instannya.
Ditambah sudah menolongku dari kejaran penguntit.
Ia mengantar Mizyan sampai teras yang sebelumnya sudah pamit kepada Ayah dan Uma. Memilih sama-sama berdiri bersisian berjarak 1 meter sambil menunggu kedatangan taksi yang sudah dipesan secara online.
"Hmm, semuanya jadi berapa?" Rahma bertanya dengan canggung sambil menatap Mizyan yang berdiri dengan satu tangan dimasukkan ke saku celana dan tangan kanan yang memegang ponsel.
"Maksudnya?!" Mizyan menoleh menatapnya dengan kedua alis saling bertaut.
"Biaya mobil dan jasa antar."
"Oh itu. Berapa ya?! Saya nggak bawa kalkulator." Mizyan menjawab sambil terkekeh.
"Serius ih." Rahma mengerucutkan bibirnya mendengar jawaban pria tegap di sampingnya itu. Aneh, pria itu selalu saja sengaja membuatnya tiba-tiba kesal dan jengkel yang membuatnya berlaku judes. Yang tentunya itu bukan sifat aslinya.
"Nggak ada biaya apapun. Saya ikhlas membantu kok."
Berulangkali Rahma memaksa ingin membayar, namun Mizyan tetap menolak.
"Makasih banyak, untuk segala kebaikan dan pertolongan hari ini. Makasih...makasih" Rahma mengatupkan kedua tangan di depan dada dengan sedikit membungkuk. Ia tulus mengucapkan rasa terima kasih pada pria berwajah blasteran yang tanpa disadari terus menerus menatap lurus kepadanya.
Mizyan membalas dengan anggukkan. "Sama-sama. Maaf juga saya sudah numpang makan di sini. Abisnya masakannya bikin nagih."
"Memangnya sebelumnya pernah makan di sini?" Rahma memicingkan mata dengan kening mengkerut.
"Waktu Pak Badru nolong saya saat pingsan di depan," ujar Mizyan sambil menunjuk arah pintu gerbang dengan dagunya.
"Oh." Rahma mengangguk. Ia tidak tahu sebab waktu itu berangkat ke toko lebih awal dan pulang sore.
"Saya belum sempat beli kado buat Dika. Besok aja ya."
Rahma menggeleng. "Nggak usah repot-repot. Biarin nggak usah ngasih kado."
Mizyan mengangkat bahunya. "Tapi saya sudah janji sama Dika."
"Dika nggak akan nagih kok. Dia masih kecil, belum mengerti apa-apa. Jadi nggak usah repot-repot."
"Hm, kita lihat saja nanti."
Rahma mendecak usai orangnya pergi dijemput taksi. Ia masih berdiri di teras. Tak habis pikir dengan reaksi hati yang sebal dengan jawaban santai dan cuek Mizyan tadi.
"Rahma, nak Mizyan mana?" Uma tergesa-gesa menghampiri sambil menenteng sebuah paper bag.
"Udah pulang barusan. Kenapa, Uma?"
"Ini lupa." Uma mengangkat paper bag yang ditentengnya. "Celana sama jaket waktu pingsan."
Waduh, bahaya. Ada alasan dia ke sini lagi.
Entah mengapa Rahma jadi merasa takut untuk berjumpa lagi dengan pria yang menurutnya menyebalkan itu.
****
Pagi harinya, Rahma menceritakan kepada Ayah dan Uma perihal 2 orang pria yang membuntutinya sejak dari komplek TPU sampai jalan raya. Mau tidak mau ia harus jujur perihal Mizyan yang telah menyelamatkannya termasuk persinggahannya ke apartemen untuk menenangkan diri. Semuanya diceritakan tanpa ada yang ditutupi.
"Ya Allah, Rahma. Kenapa tidak cerita kemarin?" Ayah geleng-geleng kepala memandang Rahma yang menundukkan kepala sambil memilin-milin ujung jilbabnya. "Kalau tahu dari kemarin, minimal Ayah bisa ucapin terìma kasih dengan benar."
"Kemarin situasinya nggak memungkinkan, repot juga banyak orang." Rahma berkilah membela diri.
"Sebaiknya Dika di rumah saja sama Uma. Jangan ikut ke toko." Ayah membuat keputusan demi keselamatan cucunya. Dan ia pun mulai hari ini akan mengantar jemput Rahma demi keselamatan putri tunggalnya itu.
Akhirnya Rahma berangkat ke toko dengan diantar Ayah. Dan sekitar 2 jam lamanya Ayah berdiam di lantai 2 mengawasi keadaan sekeliling ruko dari pantauan CCTV. Sementara Rahma di lantai bawah melongok ke ruang pantry yang tengah disibukkan dengan kegiatan baking.
Ia lalu beralih ke lantai 2 ruang kerjanya. Seminggu lagi menjelang pernikahan anaknya Bu Puput. Bahkan seragam untuk petugas stan sudah datang diantar sopirnya Bu Puput, termasuk undangan untuknya. Ia menyusun daftar belanja bahan baku yang sudah habis di gudang untuk stok dan persiapan menjelang produksi 2 ribu pcs kudapan. Tak perlu berangkat ke toko, cukup kirim pesan ke Ko Achong sebagai suplier langganannya. Maka bahan-bahan kue yang dipesannya akan diantarkan oleh pihak toko.
Siang ini Rahma memutuskan pergi ke kantor Nico usai menghubungi Suci terlebih dahulu untuk menanyakan posisi saat ini. Ia pergi menggunakan taksi online sebab Ayah sudah pulang dan akan datang lagi sore untuk menjemput. Meski hati masih diselimuti dengan rasa was-was, takut jika 2 orang berjaket itu masih membuntutinya, namun ia memberanikan diri sambil tak putus berdoa sepanjang jalan. Toh jarak ke kantor Nico tak terlalu jauh dan berada di jalan utama yang ramai.
Ini kali kedua Rahma datang lagi ke kantor Nico sejak Malik meninggal. Pertama, saat pemindahan nama kepemilikan saham menjadi atas namanya, dua bulan yang lalu. Hatinya teriris perih dengan mata berkaca melihat ruangan dan meja kerja Malik masih berada seperti semula. Bahkan ia meminta ijin mengambil frame berukuran 5R yang berada di meja Malik. Sebuah bingkai keluarga kecil, yang akan ia simpan sebagai kenangan.
Namun kunjungan kedua sekarang ia tampak terkejut saat membuka pintu sambil berucap salam. Interior dan cat ruang kerja utama sudah berubah.
"Maaf, Rahma. Aku mengubahnya agar tidak terus-terusan bersedih. Tapi kenangan Malik akan selalu ada di sini." Nico menepuk dada dengan intonasi yang tegas.
"Ya, mas. Aku mengerti. Aku juga sedang berjuang untuk kuat berdiri sendiri. Kalau nggak ada Dika, entahlah..."
Suci mengusap-ngusap bahu Rahma untuk memberinya semangat. "Aku tahu adikku ini wonder woman." Ia pun mengajak Rahma untuk duduk di sofa.
Suci dan Nico adalah orang terdekat tempatnya sharing. Rahma menceritakan tentang kedatangan mama Indah tiga hari yang lalu juga kejadian dirinya dibuntuti kemarin. Kecuali cerita si penyelamat, ia skip namanya.
"Menurut mas Nico gimana?" Rahma mengakhiri ceritanya dengan meminta pendapat, menatap Nico dan Suci bergantian.
"Aku nggak percaya tante Indah insyaf. Yang buntuti kamu pasti suruhan dia. Mungkin bukan untuk nyulik tapi agar kamu kena mental." Nico menjawab dengan yakin.
"Mas, setiap orang kan bisa berubah." Suci menyela sambil menggelengkan kepala.
"Tahu, sayang." Nico menoleh sejenak ke arah Suci yang duduk di sisinya. "Tapi tante Indah pengecualian. Aku udah mengenalnya lama jadi tahu pasti gimana karakter liciknya. Anak sendiri aja dikorbankan demi ambisi mendapatkan Teo, suami barunya."
"Gini aja. Kamu waspada aja, Rahma. Kalau dia datang lagi, kabari aku. Kita buka kedoknya sama-sama."
Usai bertemu Nico dan Suci, Rahma sedikit lebih lega. Bahkan ia pulang ke toko diantar sopir kantor sebab Suci merasa khawatir jika ia pulang sendiri.
Sesuai perkataan tadi pagi, Ayah menjemput sore hari ke toko. Sebelum pulang, Rahma wanti-wanti kepada Fitri, pegawai kepercayaannya, untuk tertib saat nanti malam menutup toko.
"Nda, liat..."
Sambutan pertama saat Rahma tiba di rumah, Dika meloncat-loncat riang memperlihatkan mainan robot induk sapi dan anaknya yang sedang berjalan dan bersuara lenguhan khas sapi.
"Wow, lucu banget ini..." Rahma berjongkok memperhatikan dua sapi yang tengah jalan-jalan di lantai. "Ini namanya apa ya?" Ia menatap Dika yang memegang remote control robot sapi.
"Sya pi."
"Ini atu....ini Nda." Dika menunjuk sapi kecil dan besar sambil terkikik. Membuat Rahma ikut terkikik sebab anaknya itu menganalogikan sapi sebagai dirinya dan Dika.
Dika-Dika...kerianganmu bikin Bunda semangat menjalani hari.
Rahma meraih Dika untuk duduk di pangkuannya. Ia menciumi kedua pipi sang anak sambil memeluk perutnya erat tanpa mengganggu kegiatan memainkan robot sapi.
"Kado dari siapa ya, sayang. Kok Bunda baru liat." Rahma mengambil induk sapi berwarna putih hitam seperti jenis sapi perah. Tekstur badan sapi berbahan kain rasfur kualitas tinggi membuat enak dan nyaman untuk di elus-elus."
"Dali Om."
Rahma menghentikan mengelus induk sapi. Menurunkannya lagi ke lantai dan membiarkan Dika beranjak dari pangkuannya untuk mengajak sapi berkeliling di ruang tengah.
"Tadi Mizyan ke sini jam 10 an. Ngasih kado buat Dika."
"Nggak lama sih. Katanya ada urusan pekerjaan."
"Tapi Dika malah menahannya dulu. Pengen diajarin cara main robot sapi itu."
Rahma mendengarkan cerita Uma sambil melahap ubi rebus yang masih hangat ditemani secangkir teh tawar.
"Hehehe...ditahan sama Uma malah maksa mau pergi karena ditunggu klien, sama Dika mah nurut."
"Celana sama jaket lain waktu aja katanya. Sudah telat meeting."
Rahma tersedak air teh yang diminumnya begitu mendengar akhir cerita Uma yang melenggang santai ke arah dapur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
muth yasin
jangan sebel-sebel bund... ntar sebelnya jadi kangen
2024-10-04
1
muth yasin
Ops...
2024-10-04
0
Sandisalbiah
modus Miyzan
2024-09-15
1