My Love From The Sea
Kata orang, kalau mau menikah harus dipingit. Belva besok akan melangsungkan pernikahan, tapi ia baru saja menerima telepon dari rumah sakit jika Papanya kecelakaan dan masuk UGD. Sontak saja Belva panik dan segera menghubungi tiga kakak kandungnya agar segera ke Rumah Sakit.
Belva panik bukan main. Ia segera turun dari ranjang sembari berusaha menghubungi Arman, calon suaminya. Tapi, tak ada respon apa pun dari lelaki itu selama beberapa kali Belva coba menghubungi. Dengan segala kedongkolan dan kepanikan yang menyelimuti diri, akhirnya Belva memutuskan mampir ke rumah Arman yang kebetulan searah dengan rumah sakit tempat Papanya di rawat.
" Non Belva, mau kemana? Non kan lagi dipingit. Nanti Bapak..."
Belva memotong, " Papa kecelakaan, Bi. Belva pergi dulu ya."
Belva berjalan terburu-buru menuju mobilnya, mengabaikan Bi Mirna yang masih bengong di tempatnya. Tak percaya terhadap apa yang baru saja dikatakan anak bungsu majikannya.
Keluar dari area rumah tiga lantai dengan luas tanah satu hektar, Belva melajukan mobilnya begitu cepat. Melewati jalanan Jakarta yang penuh sesak oleh pengendara kendaraan pribadi, kendaraan berat dan angkutan umum yang mangkal sembarangan di pinggir jalan.
Setengah jam kemudian, Belva sudah memarkir mobilnya di depan rumah Arman. Maksudnya, rumah Arman yang akan dijadikan mahar pernikahan mereka besok. Rumah minimalis dua lantai dengan luas lahan dua ratus meter. Namun, bukan itu yang Belva pikirkan sekarang. Perempuan itu harus memberitahu Arman secepat mungkin dan membawa serta calon suaminya ke rumah sakit.
Belva keluar dari mobilnya dan melihat SUV hitam Arman terparkir gagah di garasi. Artinya, lelaki itu ada di dalam. Setidaknya, Belva merasa tak sia-sia datang kemari.
Tak ingin membuang waktu lebih lama, Belva menekan bel di sebelah kiri pintu rumah. Tak ada jawaban. Sekali lagi ia ulangi, tak ada jawaban juga. Memutar kenop pintu yang rupanya tak terkunci, Belva langsung menghambur masuk dan mencari-cari keberadaan calon suaminya.
" Arman, kamu bejat! Besok kamu mau nikah, kenapa malah main sama perempuan lain?"
Belva mendengar suara itu. Pelan, tapi sangat jelas melewati indera pendengarannya yang masih normal. Belva juga mengenali suara itu. Tapi, ia harus memastikan dengan matanya siapa yang barusan bicara.
" Kalau aku bejat, nggak mungkin kamu mau sama aku."
Belva seperti sersengat aliran listrik dengan voltase yang sangat tinggi. Membuat dadanya berdebar takut. Suara terakhir jelas suara calon suaminya. Tapi, sedang apa Arman dengan perempuan lain berduaan di rumah? Ralat, di kamar. Belva yakin, suara itu berasal dari kamar utama yang tak sepenuhnya tertutup. Dan sekarang, Belva sudah berdiri di depan pintu yang di cat warna cokelat tua. Melihat kaki-kaki yang saling menindih.
" Ah!"
Belva menelan ludah dengan susah payah. Suara perempuan yang sangat ia kenali mendesah keras.
" Aw! Jangan digigit, Arman!"
" Kenapa?"
" Nanti bengkak!"
Terdengar suara tawa Arman. Belva meraih gagang pintu yang berwarna keemasan dan membuka celah di depannya agar sedikit lebih lebar. Paling tidak, agar ia tahu apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana.
" Ah! Ayo, aku udah basah."
Dan apa yang matanya lihat benar-benar membuat Belva lemas. Seluruh sendi-sendinya terasa mati. Urat-urat nya seperti tercerabut keluar. Dadanya nyeri. Nyeri sekali. Di atas ranjang, Belva melihat dua orang terdekatnya sedang bercinta. Arman, calon suaminya dan Febi, sahabat terdekatnya.
Habis kesabaran, Belva membuka pintu itu secara kasar hingga terbanting. Menimbulkan suara gedebuk keras yang berhasil mengalihkan atensi dua orang yang sedang memadu kasih di atas ranjang. Arman dan Febi terpaku. Segera mereka mememisahkan diri, menutup tubuh mereka dengan selimut. Arman memungut celana pendeknya dengan panik, dan buru-buru memakainya cepat-cepat. Sedangkan Febi lari ke kamar mandi dengan membawa selimut tadi untuk menutupi tubuhnya.
Belva masih berdiri di tempatnya. Matanya mulai berkaca-kaca, memandangi Arman yang berjalan mendekat ke arahnya.
" Bel, ini nggak seperti yang kamu pikirin..." Arman mencoba menjelaskan dengan gelagapan, " ini cuma salah paham."
Belva berbalik badan dan bergegas lari menjauh dari Arman. Perasaannya hancur-lebur menjadi serpihan-sepihan kecil tak berharga.
" Bel, tunggu! Belva!"
Belva tak menggubris panggilan itu. Ia masuk ke dalam mobil, menyalakan mesinnya dan tak peduli meskipun Arman berdiri di depan sana.
" Dengerin dulu penjelasan aku, Bel!" Arman berdiri di depan mobil Belva, merentangkan tangan agar Belva mau keluar. Namun, bukannya keluar, Belva justru melajukan mobilnya. Untung saja Arman segera menghindar. Jika tidak, sudah pasti ia akan terpental ke jalanan dan bisa langsung mati. Kalau pun tidak mati, ia pasti akan mengalami patah tulang yang sangat parah.
Di dalam mobil, Belva tak dapat membendung air matanya. Ia menangis sesunggukan meratapi apa yang baru saja ia alami. Kecelakaan Papanya dan perselingkuhan antara calon suami dan sahabatnya sendiri. Kenapa? kenapa semuanya terjadi begitu cepat?
Sampai di area parkir rumah sakit, Belva berusaha mengatur napasnya. Menghapus air matanya dan sedikit berkaca. Ia mengulas senyum miring meremehkan dirinya sendiri. Betapa berantakan penampilannya hari ini. Sama berantakan dengan perasaannya yang mengalami pengkhianatan.
Ketika dirasa sudah cukup tenang, Belva keluar dari mobil dan berjalan menuju ruangan UGD tempat Papanya di rawat. Di kursi tunggu, kakak-kakaknya sudah ada di sana. Kakak ketiganya, Hadi berjalan mondar-mandir di depan pintu.
" Belva! akhirnya kamu datang juga," ucap Maya, kakak perempuan Belva. Matanya merah dan bengkak. Kelihatan jika perempuan itu habis menangis.
" Belva, sini!"
Belva menoleh ke arah Guntur, kakak pertamanya. Lelaki itu memegang sebuah amplop putih. Belva berjalan ke arahnya dan menerima amplop tersebut dengan hati bertanya-tanya apa isinya.
" Dari Papa."
Belva membuka amplop itu pelan. Terdapat kertas selebaran yang dilipat-lipat. Ia buka lipatannya dan terkejut ketika membaca judul yang dicetak besar-besar di bagian atas.
SURAT WASIAT PEMBAGIAN WARISAN.
Tak membaca lebih jauh, Belva melipat surat itu dan memasukkannya kembali ke dalam amplop. Ia berikan surat itu kepada Guntur lagi. Tanpa membaca seluruh isinya pun, Belva sudah tahu maksud kakaknya itu.
" Kenapa nggak dibaca?"
" Mas, Papa belum meninggal. Jadi, nggak usah ngomongin soal warisan disaat Papa masih bisa napas."
" Cuma mau ngasih tahu aja. Ini wasiat langsung dari Papa."
" Belva nggak peduli. Belva nggak butuh warisan. Belva cuma mau Papa hidup," mata Belva kembali berkaca-kaca. Maya beringsut mendekatinya dan memeluk Belva. Mereka menangis dengan posisi berpelukan bersama, berharap Papa tidak apaapa.
Tak lama, Dokter keluar dari ruangan. Memandang satu-per-satu wajah-wajah kalut di depannya. Dua orang perempuan mendekat dan memberondonginya dengan pertanyaan bagaimana.
" Dok..."
" Kami..."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Siti Mujimah
awal.baca lgsg so sad
2022-10-04
1
azra
penghianatan selalu menorehkn luka yg dalam
2021-10-03
1
Hiatus
bagus ceritanya thor
aku jejak ya, udh ku fav jg biar kita bs saling support.
jgn lp mampir jg ke lapakku.
trims^^
2021-10-02
1