" Kenapa kamu begitu?"
Sagara menyadari jika setelah makan tadi tingkah Belva berubah. Mungkin karena ia sudah mengatakan jika dirinya bukanlah manusia, melainkan keturunan penguasa laut yang bijaksana.
" Enggak, cuma liat pemandangan lebih dekat aja," Belva berkilah. Ia menjaga jarak dari Sagara karena ia takut. Sepanjang perjalanan menuju rumah panggung kayu tempat Belva tidur semalam, menjadi canggung. Belva bahkan hanya sesekali melirik Sagara dengan ekor mata. Lalu, mengamati hamparan kebun melati yang harum dan indah.
" Apa kamu takut?" seolah menyadari keresahan Belva, Sagara bertanya.
Belva berteriak dalam hati, mengatakan jika dia sangat takut. Niat ingin mati, Belva malah terjebak dengan sejenis dedemit di tempat antah berantah. Tunggu, apakah pulau cenderawasih ini dunia dedemit?
" Kamu tidak usah berpikiran yang macam-macam," Sagara berkomentar lagi. Seolah dapat membaca pikiran Belva, " aku tidak akan menyakiti kamu."
Mendadak perasaaan Belva menghangat. Ia menoleh ke arah Sagara yang mengukir senyum tipis. Tipis sekali. Kelihatan misterius dan... mempesona. Sungguh, senyum setipis itu dapat membuat dada Belva berdebar tak karuan. Tapi, Belva segera sadar. Ia membuang muka menyadari perasaannya sudah tidak benar.
" Cuaca panas begini, kamu betah jalan pelan-oelan begitu?"
Belva kembali tersadar. Seolah pertanyaan Sagara menariknya ke dunia dimana ia sedang berjalan di bawah matahari yang sangat terik dan panasnya menusuk-nusuk kulit. Belva mempercepat langkahnya, setengah berlari melihat bangunan minimalis yang halaman depannya sudah kelihatan lebih rapi dan bersih daripada semalam.
Belva menaiki tangga, dan masuk ke dalam rumah panggung itu. Membaringkan tubuh di depan lemari. Lelah sekali. Tapi, mendadak ia merasakan hawa yang sangat sejuk menembus pori-pori kulitnya yang kepanasan. Lalu, Belva menyadari jika Sagara sudah berada di sebelahnya. Membaringkan badan juga. Lelaki itu tidak kelihatan capek atau pun kelaparan, meskipun tidak pernah makan dan bekerja sejak kemarin.
Belva menggeser tubuhnya menjauhi Sagara. Sagara yang sadar akan hal itu ikut menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Belva. Begitu Belva dan Sagara lakukan hingga Belva tak dapat lagi bergeser karena sudah mentok dengan lemari.
" Kamu tidak perlu takut sama aku," suara Sagara memecah keheningan, " bukannya lebih baik kalau kamu nyaman di dekat aku?"
Belva menoleh, bersamaan dengan Sagara yang juga menoleh ke arahnya. Belva tidak mengerti mengapa dalam kondisi ketakutan seperti ini pun, ia masih merasa nyaman berada di dekat Sagara.
" Apa kamu bisa baca pikiranku?" Belva masih penasaran, kemampuan apalagi yang dimiliki makhluk keren di sebelahnya ini selain tidak makan, tidak pernah lelah, dapat mengambil kelapa hanya dengan menggoyangkan batangnya dan membuka kelapa tanpa alat.
" Harusnya bisa. Tapi, aku tidak mengerti kenapa pikiran kamu tidak bisa ditembus kapan pun."
Belva semakin ngeri, sekaligus bangga pada dirinya sendiri karena Sagara tidak dapat mengakses seluruh isi pikirannya.
" Mungkin kamu punya pegangan," lanjut Sagara sembari memiringkan tubuhnya ke arah Belva.
Mendadak pipi Belva bersemu merah. Menyadari jika Sagara memandangnya dengan tidak biasa. Ia mengalihkan pandangan ke langit-langit ruangan, malu dipandangi sedekat itu oleh Sagara.
" Pe...pegangan apa maksud kamu?"
" Aku tidak tahu. Aku tidak bisa merasakan apa-apa. Tapi..." Sagara menghentikan ucapannya, mengurungkan niat untuk mengatakan hal selanjutnya.
" Tapi apa?"
" Manusia yang tidak bisa ditembus selalu buat aku penasaran."
Belva menelan ludah. Dadanya semakin berdebar tidak karuan. Sungguh, perasaan seperti ini belum pernah Belva rasakan sebelumnya. Bahkan rasanya lebih dari sekadar jatuh cinta biasa.
" Jadi, sebelumnya ada manusia yang nggak bisa kamu tembus juga pikirannya?"
Sagara mengangguk, " ya."
Belva penasaran. Meskipun perasaannya tak karuan, Belva sangat penasaran dengan manusia seperti apa yang tidak bisa Sagara tembus pikirannya. Belva memiringkan badannya, menghadap Sagara. Kini mereka saling berhadapan.
Belva terkejut. Baru kali ini ia melihat wajah Sagara sedetail ini. Wajah itu, tak pernah ia bayangkan ketampanannya. Mata Sagara berwarna biru tua, dan ketika Belva memandang ke sana, ia seperti melihat hamparan samudera yang tenang. Ada ikan-ikan dan tumbuhan laut di dalamnya. Lalu, Belva melihat dirinya di sana. Di kedalaman yang entah seberapa dalamnya. Gelap, hampa, sendirian, kosong. Kemudian Belva melihat sosok yang mirip Sagara, namun tidak memiliki kaki. Separuh ikan. Lelaki itu dapat berenang dengan cepat di kedalaman laut yang sangat dalam dan meraih pergelangan tangan Belva.
Belva memegangi kepalanya yang tiba-tiba pusing. Ia mengerjap berkali-kali, merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan otaknya.
Belva yakin ia baru saja melihat dirinya di dalam mata Sagara. Seperti film yang diputar di bioskop. Sangat jelas, bahkan Belva dapat merasakan dirinya yang kedinginan dan tak berdaya di dalam sana.
" Apa yang kamu lihat?" suara Sagara lirih sekali.
Belva menggeleng, " nggak ada."
Sagara tidak menjawab lagi. Masih mengamati Belva. Sedangkan Belva membalas pandangan Sagara. Ia masih tidak percaya dengan apa yang barusan ia lihat di mata Sagara. Dan, Belva ingin mencobanya lagi. Jika benar mata Sagara adalah lautan, Belva yakin akan menemukan sesuatu yang belum pernah ditemukan manusia mana pun di dunia. Tapi, untuk kali ini, Belva tidak menemukan apa-apa, selain pantulan dirinya yang menyedihkan.
" Sagara, manusia seperti apa yang nggak bisa kamu tembus pikirannya?" tanya Belva akhirnya.
" Manusia berhati bersih yang tidak pernah menyakiti hati orang tua dan binatang."
Mendengar Sagara menyinggung-nyinggung orang tua, Belva jadi sedih. Mamanya dan Papanya sudah tiada. Apa kabar mereka di akhirat sana? Mata Belva berkaca-kaca, merasa bersalah karena di hari kematian Papanya, Belva justru memilih bunuh diri.
Ia tahu, Sagara pasti salah. Belva sudah menyakiti hati Papanya di hari kematiannya. Sebagai anak yang baik, harusnya Belva bantu mengurus pemakaman Papanya, bukan malah putus asa dan menceburkan diri ke lautan.
Belva terkejut, merasakan sesuatu penyentuh matanya. Mengelap bulir-bulir air yang keluar dari sana. Jempol Sagara mengayun di ujung mata Belva.
" Hati aku kotor, Sagara. Aku nggak sepantasnya bunuh diri disaat jasad Papaku butuh bantuan."
" Itulah sebabnya aku masih bisa menembus pikiran kamu, sesekali."
" Jadi, kamu masih bisa baca pikiranku?"
" Lebih tepatnya, perasaan kamu," telunjuk Sagara menunjuk dada Belva.
Matilah. Jika benar Sagara dapat melakukan hal itu. Belva mengusap ujung-ujung matanya dengan kasar. Ia membalikkan badan. Jangan-jangan, Sagara tahu jika Belva menyukainya? Astaga! Tidak mungkin!
" Tidak ada yang tidak mungkin. Nyatanya, aku memang tahu."
Belva menggigit bibir bawahnya. Jika pikiran bisa dimanipulasi, tapi perasaan, siapa bisa bohong? Astaga, mengapa Belva bisa bertemu dengan makhluk sakti macam Sagara sih? sungguh, mengetahui identitas Sagara bukanlah awal yang baik bagi Belva.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
keysha🦅
dugong ya sagara?
2021-10-07
1
Diah Fiana
semangat kkak 😘🌹
2021-09-29
1
♕FiiStory_
seru Thor lanjut
2021-09-22
2