Kata orang, kalau mau menikah harus dipingit. Belva besok akan melangsungkan pernikahan, tapi ia baru saja menerima telepon dari rumah sakit jika Papanya kecelakaan dan masuk UGD. Sontak saja Belva panik dan segera menghubungi tiga kakak kandungnya agar segera ke Rumah Sakit.
Belva panik bukan main. Ia segera turun dari ranjang sembari berusaha menghubungi Arman, calon suaminya. Tapi, tak ada respon apa pun dari lelaki itu selama beberapa kali Belva coba menghubungi. Dengan segala kedongkolan dan kepanikan yang menyelimuti diri, akhirnya Belva memutuskan mampir ke rumah Arman yang kebetulan searah dengan rumah sakit tempat Papanya di rawat.
" Non Belva, mau kemana? Non kan lagi dipingit. Nanti Bapak..."
Belva memotong, " Papa kecelakaan, Bi. Belva pergi dulu ya."
Belva berjalan terburu-buru menuju mobilnya, mengabaikan Bi Mirna yang masih bengong di tempatnya. Tak percaya terhadap apa yang baru saja dikatakan anak bungsu majikannya.
Keluar dari area rumah tiga lantai dengan luas tanah satu hektar, Belva melajukan mobilnya begitu cepat. Melewati jalanan Jakarta yang penuh sesak oleh pengendara kendaraan pribadi, kendaraan berat dan angkutan umum yang mangkal sembarangan di pinggir jalan.
Setengah jam kemudian, Belva sudah memarkir mobilnya di depan rumah Arman. Maksudnya, rumah Arman yang akan dijadikan mahar pernikahan mereka besok. Rumah minimalis dua lantai dengan luas lahan dua ratus meter. Namun, bukan itu yang Belva pikirkan sekarang. Perempuan itu harus memberitahu Arman secepat mungkin dan membawa serta calon suaminya ke rumah sakit.
Belva keluar dari mobilnya dan melihat SUV hitam Arman terparkir gagah di garasi. Artinya, lelaki itu ada di dalam. Setidaknya, Belva merasa tak sia-sia datang kemari.
Tak ingin membuang waktu lebih lama, Belva menekan bel di sebelah kiri pintu rumah. Tak ada jawaban. Sekali lagi ia ulangi, tak ada jawaban juga. Memutar kenop pintu yang rupanya tak terkunci, Belva langsung menghambur masuk dan mencari-cari keberadaan calon suaminya.
" Arman, kamu bejat! Besok kamu mau nikah, kenapa malah main sama perempuan lain?"
Belva mendengar suara itu. Pelan, tapi sangat jelas melewati indera pendengarannya yang masih normal. Belva juga mengenali suara itu. Tapi, ia harus memastikan dengan matanya siapa yang barusan bicara.
" Kalau aku bejat, nggak mungkin kamu mau sama aku."
Belva seperti sersengat aliran listrik dengan voltase yang sangat tinggi. Membuat dadanya berdebar takut. Suara terakhir jelas suara calon suaminya. Tapi, sedang apa Arman dengan perempuan lain berduaan di rumah? Ralat, di kamar. Belva yakin, suara itu berasal dari kamar utama yang tak sepenuhnya tertutup. Dan sekarang, Belva sudah berdiri di depan pintu yang di cat warna cokelat tua. Melihat kaki-kaki yang saling menindih.
" Ah!"
Belva menelan ludah dengan susah payah. Suara perempuan yang sangat ia kenali mendesah keras.
" Aw! Jangan digigit, Arman!"
" Kenapa?"
" Nanti bengkak!"
Terdengar suara tawa Arman. Belva meraih gagang pintu yang berwarna keemasan dan membuka celah di depannya agar sedikit lebih lebar. Paling tidak, agar ia tahu apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana.
" Ah! Ayo, aku udah basah."
Dan apa yang matanya lihat benar-benar membuat Belva lemas. Seluruh sendi-sendinya terasa mati. Urat-urat nya seperti tercerabut keluar. Dadanya nyeri. Nyeri sekali. Di atas ranjang, Belva melihat dua orang terdekatnya sedang bercinta. Arman, calon suaminya dan Febi, sahabat terdekatnya.
Habis kesabaran, Belva membuka pintu itu secara kasar hingga terbanting. Menimbulkan suara gedebuk keras yang berhasil mengalihkan atensi dua orang yang sedang memadu kasih di atas ranjang. Arman dan Febi terpaku. Segera mereka mememisahkan diri, menutup tubuh mereka dengan selimut. Arman memungut celana pendeknya dengan panik, dan buru-buru memakainya cepat-cepat. Sedangkan Febi lari ke kamar mandi dengan membawa selimut tadi untuk menutupi tubuhnya.
Belva masih berdiri di tempatnya. Matanya mulai berkaca-kaca, memandangi Arman yang berjalan mendekat ke arahnya.
" Bel, ini nggak seperti yang kamu pikirin..." Arman mencoba menjelaskan dengan gelagapan, " ini cuma salah paham."
Belva berbalik badan dan bergegas lari menjauh dari Arman. Perasaannya hancur-lebur menjadi serpihan-sepihan kecil tak berharga.
" Bel, tunggu! Belva!"
Belva tak menggubris panggilan itu. Ia masuk ke dalam mobil, menyalakan mesinnya dan tak peduli meskipun Arman berdiri di depan sana.
" Dengerin dulu penjelasan aku, Bel!" Arman berdiri di depan mobil Belva, merentangkan tangan agar Belva mau keluar. Namun, bukannya keluar, Belva justru melajukan mobilnya. Untung saja Arman segera menghindar. Jika tidak, sudah pasti ia akan terpental ke jalanan dan bisa langsung mati. Kalau pun tidak mati, ia pasti akan mengalami patah tulang yang sangat parah.
Di dalam mobil, Belva tak dapat membendung air matanya. Ia menangis sesunggukan meratapi apa yang baru saja ia alami. Kecelakaan Papanya dan perselingkuhan antara calon suami dan sahabatnya sendiri. Kenapa? kenapa semuanya terjadi begitu cepat?
Sampai di area parkir rumah sakit, Belva berusaha mengatur napasnya. Menghapus air matanya dan sedikit berkaca. Ia mengulas senyum miring meremehkan dirinya sendiri. Betapa berantakan penampilannya hari ini. Sama berantakan dengan perasaannya yang mengalami pengkhianatan.
Ketika dirasa sudah cukup tenang, Belva keluar dari mobil dan berjalan menuju ruangan UGD tempat Papanya di rawat. Di kursi tunggu, kakak-kakaknya sudah ada di sana. Kakak ketiganya, Hadi berjalan mondar-mandir di depan pintu.
" Belva! akhirnya kamu datang juga," ucap Maya, kakak perempuan Belva. Matanya merah dan bengkak. Kelihatan jika perempuan itu habis menangis.
" Belva, sini!"
Belva menoleh ke arah Guntur, kakak pertamanya. Lelaki itu memegang sebuah amplop putih. Belva berjalan ke arahnya dan menerima amplop tersebut dengan hati bertanya-tanya apa isinya.
" Dari Papa."
Belva membuka amplop itu pelan. Terdapat kertas selebaran yang dilipat-lipat. Ia buka lipatannya dan terkejut ketika membaca judul yang dicetak besar-besar di bagian atas.
SURAT WASIAT PEMBAGIAN WARISAN.
Tak membaca lebih jauh, Belva melipat surat itu dan memasukkannya kembali ke dalam amplop. Ia berikan surat itu kepada Guntur lagi. Tanpa membaca seluruh isinya pun, Belva sudah tahu maksud kakaknya itu.
" Kenapa nggak dibaca?"
" Mas, Papa belum meninggal. Jadi, nggak usah ngomongin soal warisan disaat Papa masih bisa napas."
" Cuma mau ngasih tahu aja. Ini wasiat langsung dari Papa."
" Belva nggak peduli. Belva nggak butuh warisan. Belva cuma mau Papa hidup," mata Belva kembali berkaca-kaca. Maya beringsut mendekatinya dan memeluk Belva. Mereka menangis dengan posisi berpelukan bersama, berharap Papa tidak apaapa.
Tak lama, Dokter keluar dari ruangan. Memandang satu-per-satu wajah-wajah kalut di depannya. Dua orang perempuan mendekat dan memberondonginya dengan pertanyaan bagaimana.
" Dok..."
" Kami..."
***
"Kami mohon maaf. Kami sudah melakukan semaksimal mungkin. Tapi..."
" Tapi..." Belva tidak sabaran. Punggung perempuan itu diusap oleh Maya.
" Tapi... Tuhan berkehendak lain. Kami mohon maaf," Dokter melanjutkan. Wajahnya kelihatan begitu menyesal.
" Dok... maksudnya apa?" Belva mengguncang-guncangkan tubuh lelaki berkacamata itu, menuntut panjelasan sejelas mungkin, padahal ia sudah tahu maksudnya. Namun, tak ada jawaban yang keluar dari sana. Hingga ia melihat bangkar yang didorong keluar oleh beberapa orang, dimana di atas bangkar terdapat sesuatu yang ditutupi dengan kain putih. Sontak pandangan Belva mengikuti kemana benda itu dibawa. Dadanya sesak. Seluruh tubuhnya merinding. Terlebih ketika orang-orang itu berbelok ke arah yang ruang mayat. Tempat yang sempat Belva lirik ketika berjalan menuju kemari.
Tubuh Belva merosot. Terduduk di atas lantai bersama dengan Maya yang masih memeluknya. Sedangkan dua kakak lelakinya duduk di kursi tunggu sembari menggeleng tidak percaya. Mereka semua dirundung kesedihan dengan cara mereka masing-masing.
" Dok... tolong Papa saya, Dok!" Belva masih tak terima. Ia memeluk kaki si Dokter sambil menangis kencang. Berharap si Dokter dapat melakukan sesuatu yang dapat mengubah semuanya. Merawat Papanya dan memberikan obat-obatan apapun agar Papanya kembali hidup.
Belva benar-benar sudah tak punya harga diri lagi. Ia terlahir dari keluarga kaya raya yang tak pernah sekali pun berlutut kepada siapa pun. Tapi kali ini, Belva melakukannya. Ia bahkan bersujud agar Dokter dapat melakukan sesuatu yang dapat menolong Papanya.
Belva histeris.
Belva tak mau kehilangan lagi. Sudah cukup kehilangan Mama saat usianya masih lima belas tahun. Dan sekarang, ia tak mau kehilangan Papa. Ia tak mau kehilangan orang tua yang tersisa. Jika boleh ditukar, Belva akan mempertaruhkan dirinya. Ia rela menggantikan Papanya meregang nyawa.
" Mbak..." Si Dokter berjongkok. Berusaha melepas tangan Belva yang melingkar di kakinya.
" Dok... tolong... Papa..." gumam Belva terputus-putus. Suaranya tak jelas dan bergetar hebat. Saka seperti tubuhnya yang juga ikut-ikutan bergetar.
Si Dokter meraih punggung Belva ragu-ragu. Ia usap punggung itu lembut, " Mbak, saya cuma Dokter. Saya tidak bisa merubah takdir manusia."
Mendengar itu, Belva seolah sadar. Benar kata Dokter itu. Meski bisa menyembuhkan orang sakit, Dokter hanyalah perantara Tuhan. Ia tetap manusia yang tidak dapat menghidupkan orang mati.
Tangis Belva perlahan-lahan mereda. Ia setuju dengan apa yang dikatakan Dokter itu. Tapi tetap saja, Belva tak terima dengan kematian Papanya. Perempuan itu mengangkat kepalanya dan membiarkan matanya yang berkaca-kaca saling bertabrakan dengan manik si Dokter yang berwarna biru tua.
" Kamu berdiri ya," Dokter itu berucap lembut sembari memegangi lengan Belva untuk membantu perempuan itu berdiri.
Belva menurut. Ia berdiri, kemudian berjalan lemas menuju kursi tunggu. Perempuan itu duduk dengan pandangan kosong. Menyandarkan punggung pada sandaran kursi yang keras cukup lama. Belva mengabaikan ajakan kakak-kakaknya untuk pulang.
Dan sekarang, ia sendirian. Di depan ruang UGD yang kosong dengan perasaan dan hati yang kosong pula. Tiba-tiba, Belva berjalan menuju parkiran dan masuk ke mobilnya. Duduk di balik kemudi, Belva menjambak rambutnya sendiri. Kepalanya sakit dan berat sekali. Matanya bengkak dan merah. Ada garis hitam yang mengelilinginya. Rambutnya berantakan. Wajahnya pucat pasi. Perutnya keroncongan.
Belva lelah sekali. Ia tak tahu sudah berapa banyak air mata yang keluar seharian ini. Ia juga tak dapat mengukur seberapa sakit hatinya mengalami hal yang paling tak diinginkannya ini. Sungguh, Belva tak dapat berpikir jernih. Ia hanya merasa tak akan bisa hidup lebih lama lagi.
Belva putus asa. Bahkan otaknya sudah tak bisa berpikir senormalnya manusia. Belva hanya berpikir ingin mengakhiri hidupnya.
Belva berteriak sembari memukul setir. Tak ada yang ia pikirkan selain ingin bunuh diri. Apa yang ia alami seharian ini benar-benar membuat psikisnya jatuh ke jurang paling dalam. Belva ingin menyerah. Hidupnya seperti tak berarti lagi tanpa orangtua. Tanpa Arman.
Belva melajukan mobilnya membelah jalanan Jakarta yang sudah gelap. Ia masuk ke area pantai wisata paling terkenal di Jakarta. Tempat yang pernah ia dan Papanya kunjungi waktu kecil. Membayar tiket masuk, Belva segera mencari tempat parkir.
Perempuan itu melirik ponselnya sebelum benar-benar keluar dari mobil. Ada panggilan dari Arman si brengsek. Diraihnya ponsel di atas dasbor seraya menerima panggilan dari Arman.
" Arman, kita putus!" ucap Belva, kemudian langsung mematikan panggilan itu secara sepihak bahkan sebelum Arman membalas ucapannya.
Segera Belva keluar dari mobil. Semilir angin malam merasuk pori-pori kulitnya yang sawo matang. Rambutnya yang sepunggung berterbangan. Begitu juga dengan rok model A line selutut yang ia kenakan.
Suasana malam di pantai ini tak terlalu ramai. Ombaknya tenang meski angin bertiup begitu kencang. Belva berdiri di depan pembatas setinggi dada orang dewasa yang terbuat dari kayu, menghadap ke laut. Ia menutup mata. Membiarkan embusan-embusan tak berwujud itu menerpa wajahnya yang merah akibat menangis. Tak lama, ia membuka mata dan kakinya naik ke pembatas kayu di depannya. Ia tersenyum dan tanpa berpikir terlalu lama segera melompat.
Belva memejamkan matanya lagi. Merasakan gravitasi menarik tubuhnya ke bawah, merasakan dingin merasuk kulitnya. Belva membayangkan segala yang ia alami hari ini. Mulai dari kabar kecelakaan Papanya, perselingkuhan Arman dan Febi hingga kematian Papanya. Bagi, Belva lebih baik ia ikut mati saja. Bukankah lebih baik?
" Bel, kamu mau menikah sama aku?" Pertanyaan itu seperti menggema di bawah sini. Arman ada di depannya, membawa buket bunga dan berlutut. Persis seperti yang dilakukannya ketika akan melamar Belva enam bulan yang lalu.
" Bel, selamat ya! Akhirnya si Arman ngelamar kamu juga. Sebagai teman paling dekat, gue ikutan senang!" Febi memeluknya begitu erat. Waktu itu, Belva sangat bahagia sekali karena keberuntungan bertubi-tubi menghampirinya. Lupa jika setiap yang diciptakan adalah berpasangan. Kesialan adalah pasangan dari keberuntungan. Harusnya, Belva tahu sejak awal jika ia tak akan selamanya beruntung. Buktinya, Hari ini. Kesialan bertubi-tubi merenggut semuanya dari Belva. Hanya dalam waktu tak lebih dari dua belas jam.
Gravitasi menarik Belva semakin dalam hingga perempuan itu tidak dapat bernapas dengan benar. Ia megap-megap. Matanya terbuka. Ingin minta tolong, tapi... tidak. Belva ingin mati.
Kini, air telah masuk ke hidung dan kerongkongannya, memenuhi paru-paru dan Inilah saatnya. Belva tak merasakan apa-apa. Namun, ia merasakan sesuatu yang hidup menarik tangannya. Sepersekian detik sebelum kesadarannya benar-benar habis, Belva mengira jika itu adalah ikan hiu. Pasti ikan hiu sudah memakan tangannya dan Belva benar-benar kehilangan kesadaran sepenuhnya.
***
Belva mati, tapi ia bermimpi.
" Jangan tidur!"
Sebuah suara memenuhi kendang telinga Belva yang penuh dengan air. Belva tak yakin jika ia mendengar sesuatu dari kedalaman yang tidak ia ketahui. Meski matanya terpejam, Belva dapat merasakan tempatnya terbaring sangatlah gelap dan berpasir.
" Buka mata kamu!"
Suara itu terdengar semakin dekat. Menggema dan bergaung-gaung. Belva yakin ia tenggelam di dasar laut yang hampa, tapi mengapa suara itu kedengaran seperti di dalam goa?
Kemudian Belva terbatuk. Memuntahkan air ke wajah seorang bertubuh tinggi besar yang memangku kepalanya sembari menunduk. Suara ombak merasuk telinga Belva.
" As...uu!" lelaki itu mengumpat. Menyapu wajahnya dengan telapak tangan, sambil sesekali menepuk-nepuk wajahnya.
Belva membuka mata perlahan-lahan. Buram. Pandangannya buram. Tapi pelan-pelan matanya air yang memenuhi kelopak matanya mengalir ke samping dan pandangannya kian jelas. Yang pertama Belva lihat adalah wajah malaikat. Tampan sekali. Rahangnya kokoh. Rambutnya ikal sebahu. Ada bulu-bulu halus di area telinga hingga dagu. Tapi, malaikat itu tidak berekspresi.
" Aduh!"
Belva mengaduh setelah malaikat itu menampar pipi kanan dan kirinya bergantian. Dia bukan malaikat baik. Belva segera bangun. Mengubah posisinya menjadi duduk. Namun, rasanya sungguh aneh. Pinggangnya tiba-tiba berbunyi 'krek', disusul punggungnya yang mengeluarkan bunyi yang sama.
Apakah tulang-tulang Belva barusan patah? Namun, pertanyaan itu ia telan kembali saat matanya berkunang-kunang. Kepalanya benar-benar sakit dan berat sekali. Bahkan, melihat ombak di depannya terasa seperti berputar-putar. Perutnya perih. Belva memegang kepala dengan tangan kanan dan perutnya dengan tangan kiri.
Bagi Belva, terbangun dari kematian dengan keadaan seperti ini bukanlah hal yang baik. Benar, bukan hal baik. Pandangannya berkunang-kunang. Kepalanya sakit. Perutnya perih. Apakah Belva sedang ada di neraka? Tapi, apakah di neraka ada laut yang terhampar luas tiada berujung dengan gradasi warna yang indah seperti di depannya? Jika sedang tidak sakit kepala, Belva tidak akan menyia-nyiakan pemandangan seindah ini. Tapi, masalahnya...
" Aduh!"
Belva nyaris ambruk lagi, namun si malaikat itu dengan sigap menangkap tubuh mungilnya.
" Kenapa Ayahanda mengirim makhluk merepotkan seperti kamu sih!" si malaikat menggerutu sendiri.
" Aku lapar," Belva tak peduli dengan gerutuan itu. Yang jelas, ia akan mati lagi jika perutnya tidak segera diisi.
" Mati saja kamu!" Ucapnya, kemudian melepaskan lengan kekarnya yang tadi menahan Belva, membuat Belva jatuh lagi.
Sakit sekali.
" Heh, kamu! kamu tahu Papa sama Mamaku di mana?"
" Aku tidak tahu!"
Huh! Belva kesal sendiri. Apakah lelaki tadi benar-benar malaikat? Lalu, dimana sebenarnya Belva sekarang? surga atau neraka? kenapa badannya terasa tidak enak sekali?
Belva berusaha bangun dan berniat mengejar lelaki yang sudah berjalan lumayan jauh dari tempatnya. Perempuan itu menyipit, menyadari jika lelaki yang ia anggap sebagai malaikat tadi bertelanjang dada dan hanya memakai sarung batik sebatas bawah lutut sedikit.
Jika dilihat dari jarak seratus lima puluh meter, bagian belakang tubuh si lelaki kelihatan sempurna. Apalagi ketika tiba-tiba dia berbalik dan berlari ke arah Belva. Sungguh bagian depannya juga kelihatan sempurna. Tinggi. Tegap. Kekar. Kotak-kotak. Benar-benar fisik sempurna lelaki idaman wanita.
" Kamu lapar? Ayo kita cari makanan."
Belva tidak tahu jika kesadarannya semakin menurun akibat perut lapar. Tapi, lelaki itu sadar jika pasien yang dikirimkan Ayahandanya akan mati jika tidak segera diberi asupan makanan yang bergizi. Di bawah sinar matahari yang terik, kulit Belva kering kerontang. Bahkan kelihatan mengelupas. Si lelaki tahu jika itu adalah efek Belva terlalu lama tenggelam di air asin.
" Malaikat, siapa nama kamu?" pertanyaan Belva seperti igauan. Matanya merem melek menahan pusing yang semakin tak tertahankan.
Si lelaki menggendong Belva yang sebentar lagi akan pingsan. Bak mengangkat boneka berbahan busa, ia sama sekali tidak kesusahan bahkan mengeluh berat. Padahal berat badan Belva mencapai lima puluh kilo.
" Jawab dong. Siapa nama kamu, malaikat?"
" Raden Mas Agung Sagara Banyu Biru."
" Hah?"
" Sagara."
" Oh... Sagara."
Belva manggut-manggut. Ia mengalungkan dua tangannya di leher Sagara dan menempelkan salah satu sisi wajahnya di dada bidang Sagara.
" Aku di surga atau neraka?" Belva ledengaran seperti mengigau lagi.
Sampai di bawah pohon kelapa, Sagara mendudukkan Belva sedikit lebih jauh dari pohon itu. Karena ia akan mengambil semua buah yang matang di atas sana.
" Kamu jangan kebanyakan ngigau. Jangan kemana-mana. Tetap di sini. Aku mau panen kelapa dulu."
Meski Belva tidak terima dituduh mengigau, ia memilih tak banyak protes. Percaya saja pada makhluk kepercayaan Tuhan. Toh, Belva tahu, semuanya akan baik-baik saja. Ia akan kehilangan seluruh kesedihannya dan bertemu dengan kedua orang tuanya lagi.
Di tengah kesadarannya yang semakin menurun, Belva melihat atraksi paling keren seumur hidup. Sagara hanya mengguncang-guncangkan bagian bawah batang pohon kelapa, dan buah-buah di atasnya berjatuhan. Lebih kerennya lagi, Sagara menangkap satu per satu buah yang jatuh hingga buah di atas sana tak bersisa lagi. Sagara benar-benar malaikat yang punya kekuatan super!
Sagara berjalan mendekati Belva dengan memeluk tiga buah kelapa muda berukuran besar-besar. Lelaki itu membawanya tanpa keberatan apalagi kesusahan.
" Air kelapa bisa mengembalikan cairan tubuh kamu, jadi diminum sampai habis ya," perintah Sagara. Lelaki itu duduk di depan Belva. Menyentil-nyentil kulit kelapa, kemudian menekan bagian bawah kulit kelapa yang runcing. Terdengar bunyi 'buk' yang lembut dan bagian yang ditekan oleh Sagara ambles. Lelaki itu mencopot bagian yang ambles itu, membuat si kelapa jadi berlubang seukuran kepalan tangan.
Sagara benar-benar malaikat sungguhan. Ia bahkan bisa membuka kelapa tanpa alat. Belva semakin kagum saja dibuat lelaki itu.
" Ini buat kamu."
Belva menerimanya dengan senang hati. Tanpa berpikir lama, ia segera meneguk air kelapa hingga tandas. Merasakan perutnya yang kering kerontang dialiri cairan yang menyegarkan.
Perut Belva kembali keroncongan. Ia kebingungan, bagaimana cara memakan daging kelapa yang kelihatan tebal.
" Ada sendok?"
Sagara memberikan sebuah kelapa lagi kepada Belva.
" Nggak ada."
" Gimana cara makan daging kelapanya?"
Sagara melihat ke sekeliling area. Menemukan kulit kerang yang cukup di balik pasir. Ia memberikan kulit kerang itu kepada Belva.
" Pakai ini."
" Nggak mau. Itu kotor, Malaikat Sagara."
Agak aneh mendengar panggilan itu. Tapi Sagara Tahu jika perempuan di depannya masih belum sepenuhnya sadar.
" Aku bukan malaikat!"
" Kalau bukan malaikat, apa dong?"
Sagara tak menjawab. Ia meninju kelapa Belva hingga terbelah menjadi dua dan mengerok dagingnya yang tebal menggunakan kulit kerang hingga tak bersisa.
" Dimakan."
Belva menggeleng.
" Kenapa?"
" Kulit kerangnya kotor!"
Sagara tak bereaksi apa-apa. Lelaki itu malah diam saja memandangi hamparan samudera yang sangat luas di depan sana. Sagara tahu, jika Belva akan makan sebentar lagi karena perutnya kosong. Melirik dari ekor mata, benar kan Belva memakan daging kelapa yang dikerok menggunakan cangkang kerang yang katanya kotor.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!