Belva membuka mata ketika cahaya merasuk kelopak matanya yang tertutup. Samar, ia mendengar suara berisik dari luar.
Belva membuka mata. Langsung mengubah posisinya menjadi duduk ketika menyadari ia berada di tempat asing. Ia mengucek mata sembari berusaha mengembalikan kesadarannya secepat mungkin. Ruangan kosong dengan dinding-dinding kayu dan memiliki jendela kayu yang terbuka lebar. Belva beringsut mendekati jendela dan melongok ke luar.
Sagara terlihat sedang mencabuti rerumputan liar di halaman depan. Begitu gagah, membuat Belva sampai tak mengedipkan mata. Melihat lelaki itu, Belva jadi ingat jika ia sedang berada di tempat yang Sagara sebut sebagai istana tapi lebih mirip dengan dapur istana. Belva terkikik sendiri mengingat ucapan itu. Jika di rumahnya, bangunan seperti ini lebih mirip seperti rumah pembantu. Dimana Papanya membangun rumah lain dengan luas bangunan tiga puluh meter yang berisi kamar-kamar pembantu tak jauh dari gerbang depan. Tujuannya, agar jika tidak ada satpam berjaga di depan, para asisten rumah tangga bisa membukakan gerbang dengan cepat.
Sagara yang mendengar cekikikan Belva menoleh, " kalau bangun tidur, lebih baik langsung mandi," komentarnya dengan intonasi datar.
Belva menutup mulutnya. Ia garuk-garuk kepala yang tidak gatal sembari nyengir kuda.
" Sekarang jam berapa?" Belva sengaja mengalihkan topik pembicaraan. Matanya melihat langit yang cerah dan matahari masih jauh menuju puncak.
Sagara melihat langit sekilas, " sekitar jam sepuluh."
" Darimana kamu tahu, Sagara?"
" Matahari."
Belva sadar, ia sedang berada di alam yang entah apa. Namun, Belva masih tidak tahu Sagara ini makhluk apa. Mengapa dia begitu tampan sekali? Begitu baik meski sikapnya cenderung cuek. Tapi, untuk ukuran seorang berbadan sealtelis Sagara, tindakan lelaki itu benar-benar mencerminkan lelaki sejati yang tak banyak bicara, tapi bisa langsung bertindak. Seperti kemarin, dia tiba-tiba menggendong Belva yang kelelahan. Atau menuruti Belva yang tidak ingin ditinggalkan sendirian.
Belva mengamati lelaki itu bekerja. Dari kebiasaannya, Belva dapat menyimpulkan jika Sagara tipikal orang yang suka bertelanjang dada dan memakai sarung dengan motif-motif aneh selutut. Mungkin dia ingin memamerkan betapa indah setiap lekuk tubuhnya yang berotot kepada orang-orang. Atau... entahlah. Yang jelas, Belva merasa nyaman dan aman jika Sagara ada di dekatnya.
" Kamu dengar saya ngomong atau tidak sih?"
Belva tersadar. Sagara masih sibuk dengan pekerjaannya, tapi kali ini lelaki itu melirik Belva.
" Dengar kok. Aku mandi ya," Belva menjawab dengan santai. Perempuan itu lantas berjalan menuju kamar mandi, tapi lebih pantas disebut sumur. Karena Belva harus repot-repot menciduk air di mata air yang dipagari tanah liat membentuk bulat setinggi dada orang dewasa. Belva meraih ember yang diikat menggunakan tali sebagai alat untuk menciduk. Beberapa detik perempuan itu terdiam. Tidak tahu bagaimana cara kerja ember yang diikat dengan tali itu.
" Sagara!" Belva buntu. Ia tidak tahu bagaimana cara menggunakan alat aneh itu. Belum lagi keanehan tempat mandinya yang hanya diplester kasar menggunakan sesuatu seperti semen, tapi bagi Belva yang awam pun tahu, plester itu bukan terbuat dari pasta semen seperti dinding rumahnya.
Di sebelah Belva terdapat gentong-gentong besar yang berjumlah tujuh buah. Semuanya ditutupi daun pisang kering. Ketika mencoba melongok ke dalam gentong itu, rupanya kosong. Belva hanya menemukan batok kelapa di salah satu gentongnya.
" Ada apa?"
Itu suara Sagara. Lelaki itu sudah berdiri di ambang pintu sumur yang terbuat dari kayu.
" Aku nggak ngerti cara pakai benda ini."
Sagara maju dan meraih ember bertali di kaki Belva. Kemudian menceburkan embernya ke mata air yang dalam, sedangkan talinya tetap ia pegang. Belva mengamati tangan Sagara bergoyang sekali, kemudian ia menarik talinya hingga ember yang jatuh tadi naik. Ajaib. Belva benar-benar tidak percaya jika di ember itu sudah ada airnya.
Sagara menuangkan seember air tadi ke dalam salah satu gentong. Begitu ia ulangi kegiatan itu berkali-kali hingga tiga gentong penuh terisi air.
" Mandilah," ucapnya seraya berlalu pergi.
" Sagara!"
Sagara menghentikan langkah, menoleh ke arah Belva.
" Terimakasih ya."
Tak menjawab, Sagara kembali melanjutkan perjalanannya menuju halaman depan dan berniat menyelesaikan pekerjaannya.
Belva mengamati punggung itu sembari mengulas senyum. Mengapa Sagara sangat baik sekali? Jika dia terus-menerus berlaku begitu, Belva yakin ia akan jatuh cinta setengah mati pada Sagara.
Ah, Belva mulai ngawur. Ia cepat-cepat mengguyur badannya yang sudah terasa gatal-gatal.
Belva merasakan dingin dan segar merasuk pori-pori kulitnya yang kotor. Mencari-cari sabun dan tidak menemukan benda wangi berbusa itu di manapun, Belva meraih batu seukuran segenggam tangannya di bibir salah satu gentong yang bulat. Beberapa saat ia mengamati benda itu lamat-lamat. Benda itu benar-benar batu berwarna hitam yang sangat keras. Tapi apa gunanya?
Menggosok-gosokkan batu di telapak tangan beberapa kali, mungkin batu ini berguna untuk membuat api. Tapi, bukannya api yang muncul, Belva justru dikagetkan dengan daki-daki yang lepas dari telapak tangannya.
Perempuan itu kagum. Teknologi macam apa yang yang temui di tempat asing ini? Kini, ia menggosokkan batu itu ke seluruh tubuh dan mengguyur badannya dengan air.
Selesai mandi, Belva merasa tubuhnya besrih sekali meski tidak memakai sabun. Ia memakai pakaiannya lagi. Pakaian yang entah sudah berapa lama tak diganti. Bahkan melihat warnanya yang sangat kotor membuat Belva jijik sendiri.
Berjalan menuju ruangan depan, Belva melihat sebuah lemari yang sangat lebar dan besar, berdiri kekar di pojok ruangan. Belva yakin, semalam ia tidak melihat apapun di ruangan ini. Selain ruangan kosong yang gelap, pengap dan hampa. Tapi, Belva berpikir positif saja. Melihat warna kayu lemari dan dinding nyaris tak ada bedanya, selain pintu-pintu lemari yang memiliki ukiran seperti sisik ikan.
Belva membuka salah satu pintu kemarin itu. Ia terkejut bukan main mendapati isi lemarinya penuh dengan kain-kain polos dan bermotif. Ia mengambil salah satu kain polos berwarna putih yang terlipat rapi. Awalnya, Belva mengira kain-kain itu adalah selimut. Tapi, untuk apa selimut sebanyak ini?
" Warna putih melambangkan kesucian. Jadi tidak masalah kalau kamu mau pakai warna putih."
Belva menoleh, mendapati Sagara sudah berdiri, bersandar pada dinding di dekat pintu.
" Maksudnya?" Belva tidak mengerti.
" Baju kamu kotor. Apa kamu betah pakai baju dekil begitu?" bukannya menjawab, Sagara malah balik bertanya. Kebiasaan.
" Ya... enggak."
" Kalau begitu, kamu bisa pakai kain putih itu."
" Hah?"
Sagara menunjuk sarung motifnya. Seolah menunjukkan jika cara pakai nya seperti itu. Sadar, Belva mengangguk paham. Tapi tetap saja, Belva tidak bisa. Ia tidak biasa memakai kain yang diikat-ikat jika akan beraktivitas seharian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
keysha🦅
dr pd gk ganti belva
2021-10-07
1
Diah Fiana
semangat kkak 😘🌹
2021-09-29
1