Istana Minimalis

" Kalau sudah kenyang, ayo kita pulang."

Belva mengerjapkan mata. Ia hampir saja tertidur karena terlalu nyaman bersandar pada punggung kekar Sagara. Semilir angin pantai di hari yang sudah mulai sore terasa dingin menggelitik kulit Belva.

Perempuan itu mengucek mata, berusaha menghadirkan kembali kesadarannya.

" Kamu tidur ya?" Sagara bertanya. Ia menggeser tubuhnya, ingin berbalik agar dapat melihat apa yang sedang dilakukan Belva.

" Eh... eh..." Belva terjengkang. tubuhnya terlentang. Bagian belakang badannya membentur pasir, lumayan nyeri.

Seolah tidak memiliki ekspresi, Sagara diam saja. Ia hanya mengernyitkan kening dan membantu Belva untuk berdiri.

" Kalau kamu mau tidur, nanti saja kalau sudah di istana."

" Istana?" Belva tertawa. Istana dia bilang?

" Kenapa tertawa?"

" Enggak...enggak. Aku lupa kalau aku sudah mati."

Belva lupa kalau dia sudah mati dan kini berada di alam entah apa. Yang jelas, mendengar ucapan Sagara, ia yakin jika semua tempat tinggal di sini disebut istana.

" Ayo! hari sudah sore."

Sagara berdiri, mengulurkan tangannya. Belva langsung meraihnya dan ikut berdiri. Setelah makan kelapa dua buah, kesadaran Belva berangsur membaik, nyeri di kepalanya sedikit mereda, dan perutnya kenyang, meskipun ia sempat muntah-muntah karena telat makan cukup lama.

Sagara menuntun Belva menjauhi pantai. Melewati jalan setapak yang di sisi kanan dan kirinya ditanami pohon bakau. Jalanan setapak ini kelihatan gelap karena tumbuhan bakau yang menjulang tinggi, menutupi langit yang telah berubah warna jingga.

Sagara tidak berbicara apa-apa, hal itu membuat Belva agak bergidik ngeri karena suara-suara jangkrik sesekali terdengar.

" Malaikat Sagara, kalau kata di kitab suci, surga dan neraka itu ada banyak tingkatannya. Kalau aku ada di tingkatan yang mana ya?" Belva penasaran sekali. Selain itu, ia juga berusaha membuka topik pembicaraan, agar tidak terlalu tegang berjalan melewati tempat menyeramkan ini.

" Kamu merasa sudah mati?" bukannya menjawab, lelaki kekar itu malah balik bertanya.

" Aku bunuh diri."

" Kalau bunuh diri, berarti kamu sedang ada di neraka."

Mendadak Belva ketakutan, " kamu serius, malaikat Sagara?"

" Sudah aku bilang, aku bukan malaikat!"

" Kalau bukan malaikat kamu apa dong? Jin?"

" Sejenis itu."

Belva terkikik sembari terus mengekori langkah Sagara. Belva yakin Sagara sedang bercanda. Mana mungkin ada jin setampan dia?

" Jangan sembarangan kalau lagi di luar seperti ini," Sagara memperingatkan.

Belva tidak paham maksudnya. Lagi pula, ia tidak sedang melakukan hal yang 'sembarangan'.

Cahaya jingga terlihat semakin jelas ketika pohon-pohon bakau sudah tidak tumbuh lagi di sisi-sisi jalan setapak. Kali ini digantikan dengan tambak-tambak dengan air keruh yang tenang.

Jika di Jakarta, Belva tidak akan bisa melihat tambak seperti ini. Apalagi, di daerah komplek perumahan mewah tempatnya tinggal. Kebanyakan orang-orang berwirausaha atau bekerja kantoran.

" Mala..."

" Jangan panggil aku seperti itu lagi!"

" Jadi, aku harus panggil kamu apa?"

" Raden Mas Agung Sagara."

" Hah?" Belva kebingungan mendengar nama lengkap Sagara yang kedengaran tidak umum di telinga.

" Sagara saja kalau begitu."

Belva menurut, " kalau begitu, Sagara... Um, aku mau tanya. Apa di neraka orang-orang juga bekerja?"

" Mana ada!"

" Kenapa di sini banyak tambak-tambak? oh, atau jangan-jangan, itu semua kosong? nggak ada apa-apa di dalam air sana."

Tidak menjawab, Sagara semakin mempercepat langkah. Kini, tambak-tambak digantikan oleh kebun melati yang luas. Belva dapat mencium harumnya aroma kembang yang menyegarkan indera penciumannya. Hamparan hijau yang membentang sepanjang mata memandang, membuat Belva tak henti-hentinya mengagumi keindahan itu.

" Sagara, aku capek!" Pekik Belva akhirnya. Merasakan kaki-kakinya seperti ditarik-tarik dan terasa mau putus.

Sagara tidak menggubris. Ia semakin mempercepat langkahnya. Karena warna jingga di langit mulai menggelap. Tak ada waktu untuk beristirahat jika ingin sampai tempat tujuan tidak kemalaman.

" Sagara!" Belva menghentikan langkahnya. Ia ngos-ngosan. Menunduk memijit kakinya yang pegal-pegal.

Lelaki itu ikut menghentikan langkah. Ia berbalik dan tanpa aba-aba langsung menggendong Belva.

Ini adalah kedua kalinya Sagara menggendong Belva. Dan Belva merasakan kenyamanan itu lagi. Perempuan itu mengalungkan tangan di leher Sagara dan menempelkan kepala di dada bidang lelaki itu. Belva memejamkan mata sebentar. Ketika membuka mata, ia sudah berada di halaman rumah minimalis, cenderung sangat kecil yang ditumbuhi rerumputan dan bunga-bunga liar.

Di kegelapan, Belva terkejut melihat bangunan rumah minimalis di depannya berbentuk rumah panggung yang semuanya terbuat dari kayu. Ketika Sagara naik ke atas, terdengar bunyi 'dug...dug' yang cukup keras.

" Sagara, ini istana yang kamu maksud?"

Sagara tidak menjawab. Lelaki itu membuka pintu dan masuk ke ruangan yang dinding-dindingnya terbuat dari kayu. Gelap. Pengap. Menakutkan. Tak ada apa-apa di sana. Hanya ada empat ruangan di rumah ini. Ruang tamu, kamar tidur dan bale, dapur dan kamar mandi.

Sagara menurunkan Belva, merebahkan tubuh perempuan itu di atas bale berbentuk persegi panjang.

" Kalau kamu ngantuk, tidurlah."

Belva merubah posisinya menjadi duduk, melihat sekeliling ruangan yang kosong. Bagaimana ia bisa tidur jika tidak ada bantal? dengan keadaan tanpa ada sedikit pun cahaya disini?

" Sagara, ini istana yang kamu maksud?" Belva bertanya lagi.

" Ayahanda bilang ini istana. Tapi lebih kelihatan seperti dapur istana."

" Ayahanda kamu orang kaya?" Belva menepuk keningnya, lupa jika ia bukan lagi orang.

" Ayahanda aku penguasa laut yang bijaksana."

Belva manggut-manggut, " apa aku beneran ada di neraka? tapi kenapa nggak ada api?"

Sagara duduk di sisi bale, ia menampar pipi Belva lagi membuat perempuan itu mengaduh.

" Sakit kan?"

" Sakit Sagara!"

" Artinya?"

" Artinya?"

Belva belum mati? Benarkah? Tidak mungkin. Sagara pasti tahu jika Belva bukanlah manusia lagi.

Sagara berdiri dan berniat meninggalkan Belva. Ia ingin ke depan dan mencabuti rumput-rumput yang menjulang tinggi. Baginya, rumput-rumput tinggi di tempat seperti ini lebih menakutkan dibandingkan tanaman paling beracun di dasar lautan.

" Sagara! kamu mau kemana?"

" Ke depan."

" Ini gelap banget. Aku takut sendirian."

Tiba-tiba lelaki itu duduk lagi di sisi bale, " tidurlah."

Belva memejamkan mata. Miring ke arah Sagara duduk dengan tangan ia gunakan sebagai bantal.

" Sagara, ini gelap banget. Apa nggak ada lampu?"

" Aku belum tahu. Nanti biar aku cari kalau kamu sudah tidur."

Meski matanya mulai berat, Belva enggan tidur. Takut ditinggalkan Sagara. Ia mengamati lekukan tubuh Sagara yang indah. Otot-ototnya yang kekar. Jika dibandingkan dengan mantan calon suaminya, Arman, Sagara jelas seribu kali lebih unggul.

Ah. Arman. Memikirkan nama itu saja membuat dadanya berdenyut nyeri. Mengingat bagaimana percakapan antara dua orang yang sangat ia percayai. Mengingat adegan yang tertangkap oleh matanya. Mendadak mata Belva panas dan sesuatu yang cair lolos dari ujung matanya. Dadanya nyeri sekali.

" Kamu masih belum tidur juga?" Sagara bertanya, membuat Belva langsung tersadar dan mengerjapkan mata berkali-kali.

" Sagara, menurutmu aku ini apa?"

***

Terpopuler

Comments

Siti Mujimah

Siti Mujimah

walah lha koq laki nya bukan manusia. normal nya...kyk duyung gt

2022-10-04

1

keysha🦅

keysha🦅

jngan2 anak nyi roro kidul🤭

2021-10-07

1

Diah Fiana

Diah Fiana

semangat kkak 😘🌹🌹

2021-09-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!