" Saya... Arman Prawira berniat ingin menikahi anak Om Vino, Belva Anindira," Arman mengusap-usap pahanya gugup. Wajahnya kelihatan pucat, tapi ia beranikan diri untuk menghadap pengusaha terkaya nomor sepuluh di Indonesia itu.
Belva duduk di sebelah Vino. Memandang Papanya dengan wajah berbinar. Perempuan itu sudah bilang pada Papanya jika hari ini Arman akan mengatakan sesuatu yang sangat penting. Penting sekali sampai-sampai tidak bisa diwakilkan oleh siapa pun.
" Kamu yakin?" Vino adalah tipe orang yang sangat rasional. Jadi, dalam situasi apapun, ia akan menanyakan alasan dibalik suatu tindakan seseorang.
" Saya sudah sangat yakin dengan pilihan saya, Om."
" Kenapa kamu seyakin itu kalau anak saya adalah jodoh kamu?"
Arman berusaha menenangkan dirinya. Baginya, Vino bukanlah orang sembarangan yang dapat diambil hatinya dengan mudah. Menjalani hubungan selama dua tahun dengan Belva pun, Vino kelihatan biasa saja. Tak pernah menyanjungnya atau mengatakan sesuatu yang membuat perasaannya senang.
" Saya sudah tanya ke Mbah Kakung di Pekalongan, jika dihitung dari tanggal lahir saya dan Belva, kami berdua berjodoh dan akan lancar rejeki."
Vino tertawa. Tak percaya dengan perkataan Arman. Dia yang sudah berusia lima puluh lima tahun saja tak pernah percaya pada hal-hal irasional macam itu. Mengapa anak muda macam Arman begitu mempercayainya?
" Mbah Kakungmu itu apa?" tanya Vino pada akhirnya.
" Mbah Kakung saya bukan siapa-siapa, Om. Tapi, beliau punya kitab perhitungan weton dari Mbah buyut saya."
" Pertanyaan saya, Mbah kakungmu itu apa, bukan siapa, Arman. Hal seperti itu saja kamu tidak bisa membedakan."
Arman menunduk. Mengapa jawabannya selalu salah di mata Vino? padahal, dalam kehidupan sehari-hari mereka cukup dekat. Meskipun Vino tak pernah menyebut-nyebut soal pernikahan antara Arman dan Belva nantinya akan bagaimana, atau menyinggung soal itu, tapi mereka sering mengobrol mengenai apapun. Dari hobi sampai politik. Arman merasa tak ada masalah apa-apa dengan hubungan itu. Tapi mengapa ingin meminta restu saja sesulit ini?
Kemudian, Arman merasakan tangannya digenggam. Menoleh, Belva tersenyum ke arahnya. Mengaitkan jemari mereka dan memandangnya seolah mengatakan jika tenang saja, semuanya tidak seperti yang dipikirkan.
Lantaran pertanyaannya tak kunjung dijawab oleh Arman, Vino mengalihkan pandangannya ke arah Belva yang tenang, " Belva..."
Belva belum mendengar seluruh kalimat yang diucapkan Papanya, tapi pandangan dan pendengarannya tiba-tiba kabur. Semakin lama semakin samar. Ruang tamu yang terang benderang semakin menggelap dan semakin gelap. Suara-suara menghilang dari indera pendengarannya. Keduanya digantikan dengan kehampaan yang kosong. Sunyi. Telinga Belva terasa dipenuhi air. Matanya tertutup. Otot-ototnya tak dapat berbuat apa-apa.
Belva tidak berdaya. Sendirian. Kedinginan. Kemudian ada cahaya menembus kelopak matanya yang tertutup. Begitu terang dan tiba-tiba matanya terbuka. Kaget, melihat seseorang tidur miring menghadap dirinya, sembari mengerjapkan mata dengan santai, Belva berteriak dan langsung mengubah posisinya menjadi duduk.
Astaga! Belva kaget. Jantungnya berdebar-debar seperti mau copot. Napasnya ngos-ngosan. Ia menoleh ke kiri, ke arah pintu yang terbuka lebar. Cuaca siang yang sangat terik dan hawanya membakar. Kemudian menoleh ke belakang, terlihat Sagara masih merebahkan tubuhnya. Tapi kini, posisinya tidak lagi miring, melainkan telentang dengan mata memandang langit-langit ruangan yang tinggi.
" Kenyang tidurnya?" Tanya Sagara dengan posisi yang masih sama. Intonasinya datar.
Belva tak langsung menjawab. Ia mengingat-ingat apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Arman. Papanya. Dirinya. Berkumpul di ruang tamu rumahnya. Kejadian itu jelas nyata. Enam bulan yang lalu. Setelah Arman mengatakan jika ingin menikah dengan Belva.
Tapi, mengapa kejadian yang sudah berlalu lama itu kini menjadi mimpi? Atau jangan-jangan... Belva benar-benar sedang bermimpi?
Ingatan Belva kembali pada mimpinya. Dimana Arman berusaha meyakinkan Papanya jika dia layak menjadi pendamping hidup Belva. Tapi anehnya, di dalam mimpi tersebut Belva sama sekali tak merasakan perasaannya. Ia justru merasakan bagaimana perasaan yang dialami Arman dan Papanya. Begitu jelas membekas di dadanya jika Arman berusaha meyakinkan Papanya, dengan sangat. Meski pada akhirnya, Arman ragu dengan dirinya sendiri dan keputusan Vino. Sedangkan Papanya, jelas sangat meragukan Arman. Karena kiblat mereka yang berbeda. Keluarga Arman yang masih terlalu klenik dan dirinya yang realistis.
" Kamu tidur dari kemarin. Memangnya tidak sakit kepala?"
Belva tersadar. Kini atensinya dialihkan sepenuhnya kepada Sagara, " dari kemarin?"
" Kamu mimpi indah sampai tidak bangun-bangun?"
" Sagara, tolong dijawab. Jangan tanya-tanya terus!" Belva mulai kesal dengan kebiasaan Sagara yang hobi bertanya.
" Ya," Sagara menjawab sangat singkat.
" Kamu tahu apa yang aku rasain?"
Sagara bangun. Mengubah posisinya menjadi duduk bersila. Berhadapan dengan Belva. Ia pandangi Belva beberapa detik, kemudian mengangguk.
" Itu pertanda."
" Pertanda apa?"
" Kamu sudah tahu jawabannya."
Belva semakin bingung. Ia memandangi Sagara dengan serius. Berharap jika lelaki itu akan menjelaskan lebih detil lagi mengenai pertanda yang ia sebut-sebut tadi. Tapi, hingga waktu yang cukup lama, Sagara tak kunjung bicara lagi.
" Sagara... jangan buat aku semakin bingung."
" Saya tidak tahu pertanda apa. Kamu sudah tahu. Jadi... sadarlah."
Belva membuang napas kasar. Menuntut penjelasan dari Sagara sama saja seperti membuat masalah baru yang harus ia pecahkan sendiri. Rasanya, Sagara sangat cocok menjadi lawan yang cocok bagi Detektif Sherlock Holmes yang pandai memberikan teka-teki.
Hening. Sagara tidak bertanya lagi. Belva juga enggan bertanya lagi. Tidak mau menambah masalah baru. Ia hanya mendengar suara cericitan burung pipit yang singgah di teras depan. Ada beberapa. Sangat kecil, mungil dan menggemaskan. Tapi, tetap saja, Belva geli.
Tiba-tiba perut Belva berbunyi. Kruyuk... kruyuk. Refleks, Belva memegangi perutnya. Tersenyum malu kepada Sagara yang mengamati tangannya yang *******-***** perut.
" Sagara..." Belva mesem-mesem.
" Mau aku belikan atau jalan bareng?"
Sebenarnya Belva ingin keluar karena bosan lama-lama di rumah panggung ini. Tapi, melihat matahari sangat terik sekali, membuatnya mengurungkan niatnya. Melihat kulitnya sangat tidak terawat. Belva menyadari jika kulitnya sangat kering dan warnanya setingkat lebih gelap dari biasanya.
" Kamu aja deh yang beli."
Sagara segera berdiri, " mau makan apa?"
" Apa aja. Yang penting jangan pakai daging-dagingan."
Sagara mengangguk, kemudian keluar. Berjalan di bawah terik yang menusuk-nusuk kulit.
Di tempatnya, Belva tidak mengerti dengan apa yang sedang ia alami. Mimpi tadi seperti sebuah film, dimana Belva menjadi penulis naskahnya dan sutradara yang tahu bagaimana perasaan Arman dan Papanya. Sedangkan keberadaannya di dalam sana hanya sebagai syarat pembangun adegan yang bagus.
Belva berusaha berpikir jernih. Mungkin ia sedang rindu pada pengkhianat itu. Juga kepada Papanya. Ya... mungkin begitu. Bagaimana pun, Arman telah menemaninya selama dua tahun lebih. Jadi, tidak mudah bagi Belva untuk melupakan lelaki itu dengan cepat.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
keysha🦅
aku pun bingung belva
2021-10-07
1
Diah Fiana
semangat kkak 😘🌹🌹
2021-09-29
1