Kamar Sultan!

Belva terbangun di sebuah tempat asing. Seperti sebuah kamar yang sangat luas. Bahkan ukurannya tiga kali lipat dari ukuran kamarnya. Atau jika dibandingkan dengan kamar rumah panggung, ukurannya bisa seratus kali lipat lebih besar.

Perempuan itu memegangi kepalanya yang terasa pening. Pening sekali. Ia berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi. Tapi, yang Belva ingat hanya perutnya yang keroncongan. Bahkan sampai sekarang ia dapat mendengar suara menyedihkan dari dalam sana.

Kasur yang ia duduki lebih besar dari ukuran king size, juga lebih lembut. Dipannya unik dan estetik dengan ukiran seperti ikan di setiap sisinya dan seluruhnya berwarna emas. Ada sebuah nakas yang berwarna emas pula. Di atasnya terdapat sebuah foto yang menampilkan dirinya dan kedua orang tuanya.

Belva masih berusia delapan tahun. Memakai dress sebatas lutut polos berwarna merah muda. Memakai sepatu kates merah muda serta round hat merah muda pula. Rambutnya yang sepunggung diikat kuda. Belva berdiri di antara Mama dan Papanya yang foto bergaya bak model. Saling membelakangi dan mengedipkan sebelah mata sembari tertawa, menunjukkan deretan gigi-gigi mereka.

Belva ingat itu. Hari dimana ia baru saja merayakan ulang tahun yang ke delapan. Orang tuanya yang ingin mengabadikan momen langka itu, meminta tolong kepada kakak pertama Belva untuk memotret mereka.

Belva tersenyum. Mengingat masa itu membuat ia jadi ingat orang tuanya. Seandainya mereka masih ada, pasti Belva tidak akan mencoba bunuh diri dan terjebak di tempat-tempat aneh macam ini.

Menyinggung soal tempat aneh, Belva sadar jika ia sedang berada di tempat asing dan sunyi. Belva meletakkan kembali foto itu di atas nakas. Kembali mengamati seluruh ruangan aneh tempatnya terbangun. Langit-langit yang tinggi. Ada lampu mewah berbentuk ekor-ekor ikan dan lampu-lampu kecil yang tersebar di seluruh bagian atas ruangan berbentuk kerang. Indah sekali. Di sebelah kanan dsn kiri Belva terdapat lemari-lemari yang tinggi-tinggi dan lebar-lebar. Semuanya berwarna emas dan memiliki ornamen serupa terumbu karang.

Astaga. Tempat apa ini? Belva turun dari ranjang. Berniat mencari seseorang yang dapat ia tanyai dimana keberadaannya sekarang. Saat ingin melangkah melewati pintu berwarna emas, Belva kaget bukan main karena membentur tubuh seseorang. Belva nyaris terpental ke belakang dan terhuyung-huyung. Kemudian sebuah tangan menarik badannya hingga Belva membentur sesuatu lagi. Tak terlalu keras. Tapi, Belva merasa sangat nyaman dan sejuk.

Membuka mata, Belva sadar jika kepalanya bersandar pada dada bidang seorang lelaki yang bertelanjang dada. Mendadak Belva menyadari aroma laut dari tubuh itu.

" Sagara?" lirihnya.

" Iya. Ini aku."

Astaga. Sagara. Mengapa Belva begitu nyaman dengan posisi seperti ini. Saking nyamannya, ia tidak peduli dengan perutnya yang sudah perih minta diisi. Belva hanya memejamkan mata, membiarkan perasaannya tenang. Damai. Tentram.

Kemudian, Belva mencium aroma makanan yang membuat cacing di perutnya semakin garang minta diberi makan. Membuka mata, Belva kaget karena ia sudah tidak berada di kamar seluas lapangan bola itu lagi, melainkan di kamar rumah panggung yang sempit, di atas bale yang keras. Sagara membiarkan pahanya digunakan sebagai bantal bagi Belva. Sebelah tangannya setengah memeluk Belva sembari mengusap-usap lengan perempuan itu, sebelah tangannya lagi memegang sejumput urap yang di goyang-goyangkan di depan hidung Belva.

" Manusia memang selalu merepotkan!"

Belva menoleh ke arah sumber suara. Melihat Lintang duduk di dekat pintu dengan mulut manyun kebosanan.

" Husst!"

Belva tersenyum mendengar Sagara mengisyaratkan Lintang untuk diam. Kemudian Belva mengubah posisi menjadi duduk. Menghadap bungkusan daun pisang.

" Ini buat aku semua?" tanya Belva tidak percaya. Melihat ada lima bungkusan daun pisang di depannya, " Mbak Lintang, ayo kita makan," ajak Belva. Mengingat Sagara tidak makan, jadi menawarkan Lintang saja.

" Mbak? panggil saja aku Lintang."

Belva manggut-manggut sembari membuka daun-daun pisang di depannya dengan mata berbinar. Sudah berapa lama ia pingsan? Ah tidak peduli. Yang jelas, perutnya sangat sangat sangat sangat sangat lapar. Dan rejeki nomplok, Sagara membelikanya banyak makanan.

" Ayo, Lintang kita makan!" ajak Belva sekali lagi.

Di belakang Belva, Sagara seperti menahan tawa yang hanya mendapat tatapan tajam dari Lintang.

" Aku tidak makan."

Belva terkejut untuk beberapa saat. Kemudian biasa saja. Lintang kan temannya Sagara. Jadi... mereka sama?

" Lintang, kamu ini sejenis dengan Sagara?"

Lintang tidak menjawab. Ia malah membuang napas dan berdiri, " aku pulang saja. Hari sudah mulai sore. Jadi, aku harus membereskan rumahku," ucap Lintang dengan intonasi kesal. Meski begitu, Lintang masih kelihatan sangat cantik.

" Maaf ya. Kami tidak jadi membantu karena ada tragedi," Sagara melambaikan tangan pada Lintang yang telah berbalik dan tidak menggubris lagi.

" Hati-hati, Lintang!" Belva ikut melambaikan tangannya.

Setelah kepergian Lintang, Belva berbalik. Duduk berhadapan dengan Sagara. Sembari mengunyah, sembari ia berusaha mencari tahu apa yang baru saja ia alami.

" Kamu tahu sesuatu?" Belva mulai bertanya. Ia ingin menguji sampai mana kesaktian Sagara. Jika lelaki itu tahu apa yang baru saja Belva alami, artinya seseorang yang memeluknya di dalam mimpi adalah benar-benar Sagara.

" Kamu kenapa ke sana?" seperti biasa, Sagara balik bertanya.

" Ke mana?"

" Kamar itu."

Belva menunda suapannya. Sagara tahu. Artinya, lelaki yang memeluknya tadi adalah Sagara. Tapi pertanyaannya membuat Belva ingin mencubit lengan berotot Sagara sampai ototnya lepas. Lagipula, dari mana ia bisa tahu bagaimana caranya bisa terbangun di kamar sultan itu.

" Itu bukan salah kamu," Sagara seperti menemukan jawaban. Tapi, lelaki itu kelihatan kebingungan. Bagaimana bisa Belva terbangun di kamar itu?

" Jadi, siapa yang salah?"

" Jangan suka mencari-cari kesalahan."

Sagara benar. Kemudian Belva menghabiskan sisa makanannya hingga tandas. Pikirannya masih penuh dengan kamar sultan itu. Sebenarnya itu tempat apa? kenapa besar dan mewah sekali?

Selesai mencuci tangan, Belva kembali duduk. Jika tadi ia dan Sagara berhadapan, kini mereka duduk bersisian di atas bale. Sembari menyandarkan punggung pada dinding kayu.

" Sagara, kenapa ada foto lama aku ya di sana?"

Sagara diam saja. Jika Belva bingung, Sagara juga bingung. Kenapa kehadiran Belva terasa sangat berbeda? Apa yang sebenarnya sedang Ayahanda rencanakan untuk Sagara?

" Aku tidak tahu."

Belva menjatuhkan kepalanya di lengan Sagara. Bersandar seperti ini selalu membuat Belva nyaman, " kamu jujur, kan?"

" Makhluk putih seperti kami, tidak pernah berbohong, Belva. Kecuali, untuk kebaikan seseorang."

" Kalau gitu, aku ganti pertanyaannya. Kamu nggak lagi menyembunyikan kejelekan, kan?"

Sagara merentangkan tangannya. Memindah kepala Belva dari lengannya ke dadanya dan mengalungkan tangan di leher Belva. Memeluk leher Belva.

" Aku benar-benar tidak tahu soal ini, Belva." Tapi, apapun rencana Ayahandanya, jika itu baik semoga terlaksana. Tapi jika buruk, semoga tidak ada hubungannya dengan keinginan Sagara untuk tetap bersama Belva.

***

Terpopuler

Comments

Diah Fiana

Diah Fiana

semangaattt

2021-10-16

1

keysha🦅

keysha🦅

hemh jd?

2021-10-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!