Pengakuan Sagara

" Sagara, aku lapar!"

Sagara yang sedang duduk di teras kayu menoleh. Melihat Belva dengan pandangan yang aneh. Barangkali karena cara mengenakan kain polos berwarna merah muda itu Belva jadi kelihatan cantik dan modis. Perempuan itu terlihat memelintir kain ke tubuhnya seperti biasa, namun mengikat ujung-ujung kainnya ke leher.

" Sagara, jangan bengong begitu!"

Seperti anak kecil, Belva merengek. Ia mengambil tempat di sebelah Sagara. Memandang lurus ke depan. Dimana terdapat hamparan kebun melati yang sangat luas. Belva juga melihat orang-orang berpakaian tak jauh beda dari Sagra bekerja di sana. Memanen melati-melati yang harum. Mereka bertelanjang dada dan hanya memakai sarung. Aneh sekali. Tapi, Belva tidak bisa kritis jika sedang lapar. Daripada mengurusi penampilan orang lain, lebih baik mengurusi perutnya yang keroncongan.

" Lapar," ucapnya lagi. Kepalanya membayangkan ayam bakar dengan sambal kecap yang lezat.

" Ayo cari makan," Sagara berdiri, mengulurkan tangannya untuk membantu Belva berdiri.

Belva semangat sekali. Ia menerima uluran tangan Sagara. Ketika sudah berdiri, ia menggandeng tangan Sagara dengan bangga. Seolah memamerkan kepada langit dan seluruh isinya, jika ia memiliki malaikat pendamping yang sangat tampan dan keren.

" Kamu capek?" tanya Sagara sembari memandangi tangan Belva yang menggenggam tangannya.

" Enggak," jawab Belva singkat seolah tak peduli dengan pertanyaan Sagara. Belva melihat-lihat perkebunan melati yang sangat luas. Seperti hamparan kebun teh di Bogor atau di Bandung. Bedanya, suasana di sini lebih menyenangkan karena ada Sagara.

" Sagara, sebenarnya aku ini di mana sih?" Tanya Belva pada akhirnya. Sesuatu yang mengganjal di hatinya, kini telah keluar dengan lancar lewat mulutnya.

" Kamu ada di pulau Cenderawasih," singkat, padat dan mengundang kebingungan bagi Belva.

" Pulau Cenderawasih?"

Maksud ingin bertanya, tapi Sagara tidak menjawab.

" Pulau Cenderawasih itu di Surga atau Neraka?"

Sagara yang tadinya memandang lurus ke depan, kini menengok ke kiri. Bukan untuk melihat Belva dari samping, melainkan karena ia mendengar sesuatu yang berteriak minta tolong. Suaranya terdengar dari selokan tak jauh dari tempatnya.

" Sebentar," Sagara berlalu meninggalkan Belva.

Dari jarak yang tak terlalu jauh dari tempatnya, Belva dapat melihat Sagara berjongkok dan menunduk. Menengok ke kanan dan kiri seolah mencari sesuatu di dalam selokan yang dibuat sepanjang jalan sebagai pembatas antara jalan setapak dan hamparan kebun melati.

Tak lama, Sagara kembali tanpa membawa apa-apa. Telunjuk dan jempolnya bau serta ada noda kehitaman yang terselip di kukunya. Ketika Sagara ingin menggandeng tangan Belva seperti apa yang dilakukannya tadi, Belva menarik kedua tangannya ke belakang. Enggan dikotori dengan tangan Sagara yang kotor.

Sagara tak banyak tanya. Ia langsung berjalan lagi tanpa berkata apa-apa, membuat Belva harus sedikit berlari agar dapat menyamakan langkah dengan Sagara.

" Sagara tunggu!"

Lelaki itu melambatkan langkahnya, " ayo cepat. Hari mulai panas."

Belva setuju dengan Sagara. Ia cepat-cepat menyamakan langkah dengan Sagara. Ketika langkahnya sudah sejajar, Belva yang masih penasaran akhirnya membahas pembicaraan mereka sebelumnya.

" Pulau Cenderawasih itu di surga atau neraka?" Belva bertanya sekali lagi. Ia benar-benar penasaran dengan tempat asing nanti ajaib ini.

" Menurut kamu?" Seperti biasa. Sagara lebih suka balik bertanya daripada menjawab pertanyaan.

" Sagara jangan buat aku semakin pusing."

" Apa kamu merasa sudah mati?"

Belva mengangguk yakin. Ia yakin sudah tenggelam sampai dasar laut yang hampa. Gelap dan tidak ada oksigen.

" Menurut kamu, orang mati kalau sadar muntah di wajah orang lain?"

Mendadak Belva ingat sesuatu yang terjadi kemarin. Ia tidak sadar, tapi ia merasa terbatuk-batuk dan muntah. Tapi, apa iya dia muntah di wajah orang lain? Astaga, apa kemarin ia muntah di wajah Sagara?

" Sagara, apa kemarin aku muntah di wajah kamu?"

" Jadi kamu ingat?"

Belva kesal sendiri. Kenapa Sagara selalu balik bertanya sih?

" Nggak terlalu. Tapi, aku merasakan kalau aku muntah."

Sagara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian berbelok ke kanan dimana terdapat sebuah gubuk kecil yang ramai. Orang-orang berkulit gelap terbakar sinar matahari kelihatan sedang menikmati makan siang. Sebagian besar laki-laki peruh baya, sebagian kecil sisanya lelaki dewasa muda. Mereka semua berpakaian layaknya seperti Sagara.

" Mas, mau pesan apa?" tanya seorang perempuan paruh baya di balik meja setinggi perut orang dewasa. Di atas meja terdapat nasi dan beragam lauk-pauk yang menggiurkan.

" Aku mau air putih ya, Bude."

Si perempuan mengangguk, " Mbaknya?"

Belva berpikir sejenak. Memilih lauk apa yang membuat perutnya semakin keroncongan, " nasi sama sayur. Pakai sambel ya Bude."

Si perempuan mengangguk sembari memasukkan pesanan Belva ke dalam piring. Tak lama Belva menerima piring itu dengan mata berbinar-binar.

Sagara mengajaknya duduk di salah satu kursi kayu yang kosong. Mereka duduk bersebelahan menghadap sepetak kebun cabai hijau yang aromanya terasa pedas di hidung.

" Sagara, menurut kamu aku masih hidup?"

" Bukannya kamu terlalu percaya diri kalau kamu sudah mati?"

Belva memasukkan nasi ke mulutnya sembari memikirkan bagaimana bisa?

" Jadi Pulau Cenderawasih itu bukan di surga atau di neraka? aku masih di bumi?"

" Kamu masih tidak percaya kalau kamu masih hidup?"

" Sagara! jawab aku. Jangan balik nanya terus."

" Ya."

Belva kembali memasukkan makanannya ke dalam mulut. Dalam hatinya masih tidak percaya jika ia masih hidup. Padahal Belva yakin jika ia telah tenggelam sampai dasar laut. Tapi, bagaimana dia bisa selamat?

" Sagara, kenapa aku bisa ada di sini?"

" Karena keberadaan kamu paling dekat dari sini."

" Jadi kamu nemuin aku di pantai itu?"

Sagara mengangguk. Meneguk air putihnya hingga tandas segelas hanya dalam satu tarikan napas.

" Gimana bisa kamu nemuin aku?"

" Ayahanda bilang seseorang butuh bantuanku. Jadi, aku datang menolong kamu."

Ini adalah ketiga kalinya Belva mendengar Sagara menyinggung-nyinggung tentang Ayahanda.

" Darimana Ayahanda kamu tahu kalau aku tenggelam?"

" Bukannya aku sudah bilang, kalau Ayahanda itu penguasa laut yang bijaksana."

Penguasa laut? Apakah maksud Sagara jika Ayahnya adalah seorang Dewa laut? Kemudian Belva tertawa terbahak-bahak, menyadari lelucon yang dibuat Sagara benar-benar sangat lucu.

" Ayahanda kamu Neptunus? atau Poseidon? Kalau gitu berarti kamu... Perseus?"

" Kamu pikir kami ini mitos barat?"

Tawa Belva mereda, " jadi kamu bukan Perseus yang jatuh cinta sama Andromeda?"

" Itu cuma dongeng!"

" Jadi, kamu ini apa, Sagara?"

" Aku adalah Raden Mas Agung Sagara Banyu Biru. Putra Mahkota penguasa samudera yang bijaksana."

Belva masih menganggap Sagara bercanda, maka ia balas dengan candaan pula, " Kamu kenal Nyi Blorong?"

Sagara mengangguk, " Beliau sangat cantik dan murah hati."

Melihat Sagara yang kelihatan biasa saja, nyaris selalu tanpa ekspresi dan tidak makan sadar jika lelaki itu tidak makan apa-apa sejak kemarin, membuat Belva beringsut menggeser duduknya. Takut. Jangan-jangan benar yang dia katakan.

" Sagara, kamu nggak lapar?"

" Aku nggak pernah lapar. Tapi, kalau di daratan, aku harus banyak minum."

Belva semakin menjauhkan posisi duduknya dengan Sagara, " Sagara, kamu ini sebenarnya apa?"

***

Terpopuler

Comments

keysha🦅

keysha🦅

nah lo skrg tkut

2021-10-07

1

Diah Fiana

Diah Fiana

semangat kkak 😘🌹🌹

2021-09-29

1

Mommy Gyo

Mommy Gyo

3 like hadir thor

2021-09-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!