Bunuh Diri

"Kami mohon maaf. Kami sudah melakukan semaksimal mungkin. Tapi..."

" Tapi..." Belva tidak sabaran. Punggung perempuan itu diusap oleh Maya.

" Tapi... Tuhan berkehendak lain. Kami mohon maaf," Dokter melanjutkan. Wajahnya kelihatan begitu menyesal.

" Dok... maksudnya apa?" Belva mengguncang-guncangkan tubuh lelaki berkacamata itu, menuntut panjelasan sejelas mungkin, padahal ia sudah tahu maksudnya. Namun, tak ada jawaban yang keluar dari sana. Hingga ia melihat bangkar yang didorong keluar oleh beberapa orang, dimana di atas bangkar terdapat sesuatu yang ditutupi dengan kain putih. Sontak pandangan Belva mengikuti kemana benda itu dibawa. Dadanya sesak. Seluruh tubuhnya merinding. Terlebih ketika orang-orang itu berbelok ke arah yang ruang mayat. Tempat yang sempat Belva lirik ketika berjalan menuju kemari.

Tubuh Belva merosot. Terduduk di atas lantai bersama dengan Maya yang masih memeluknya. Sedangkan dua kakak lelakinya duduk di kursi tunggu sembari menggeleng tidak percaya. Mereka semua dirundung kesedihan dengan cara mereka masing-masing.

" Dok... tolong Papa saya, Dok!" Belva masih tak terima. Ia memeluk kaki si Dokter sambil menangis kencang. Berharap si Dokter dapat melakukan sesuatu yang dapat mengubah semuanya. Merawat Papanya dan memberikan obat-obatan apapun agar Papanya kembali hidup.

Belva benar-benar sudah tak punya harga diri lagi. Ia terlahir dari keluarga kaya raya yang tak pernah sekali pun berlutut kepada siapa pun. Tapi kali ini, Belva melakukannya. Ia bahkan bersujud agar Dokter dapat melakukan sesuatu yang dapat menolong Papanya.

Belva histeris.

Belva tak mau kehilangan lagi. Sudah cukup kehilangan Mama saat usianya masih lima belas tahun. Dan sekarang, ia tak mau kehilangan Papa. Ia tak mau kehilangan orang tua yang tersisa. Jika boleh ditukar, Belva akan mempertaruhkan dirinya. Ia rela menggantikan Papanya meregang nyawa.

" Mbak..." Si Dokter berjongkok. Berusaha melepas tangan Belva yang melingkar di kakinya.

" Dok... tolong... Papa..." gumam Belva terputus-putus. Suaranya tak jelas dan bergetar hebat. Saka seperti tubuhnya yang juga ikut-ikutan bergetar.

Si Dokter meraih punggung Belva ragu-ragu. Ia usap punggung itu lembut, " Mbak, saya cuma Dokter. Saya tidak bisa merubah takdir manusia."

Mendengar itu, Belva seolah sadar. Benar kata Dokter itu. Meski bisa menyembuhkan orang sakit, Dokter hanyalah perantara Tuhan. Ia tetap manusia yang tidak dapat menghidupkan orang mati.

Tangis Belva perlahan-lahan mereda. Ia setuju dengan apa yang dikatakan Dokter itu. Tapi tetap saja, Belva tak terima dengan kematian Papanya. Perempuan itu mengangkat kepalanya dan membiarkan matanya yang berkaca-kaca saling bertabrakan dengan manik si Dokter yang berwarna biru tua.

" Kamu berdiri ya," Dokter itu berucap lembut sembari memegangi lengan Belva untuk membantu perempuan itu berdiri.

Belva menurut. Ia berdiri, kemudian berjalan lemas menuju kursi tunggu. Perempuan itu duduk dengan pandangan kosong. Menyandarkan punggung pada sandaran kursi yang keras cukup lama. Belva mengabaikan ajakan kakak-kakaknya untuk pulang.

Dan sekarang, ia sendirian. Di depan ruang UGD yang kosong dengan perasaan dan hati yang kosong pula. Tiba-tiba, Belva berjalan menuju parkiran dan masuk ke mobilnya. Duduk di balik kemudi, Belva menjambak rambutnya sendiri. Kepalanya sakit dan berat sekali. Matanya bengkak dan merah. Ada garis hitam yang mengelilinginya. Rambutnya berantakan. Wajahnya pucat pasi. Perutnya keroncongan.

Belva lelah sekali. Ia tak tahu sudah berapa banyak air mata yang keluar seharian ini. Ia juga tak dapat mengukur seberapa sakit hatinya mengalami hal yang paling tak diinginkannya ini. Sungguh, Belva tak dapat berpikir jernih. Ia hanya merasa tak akan bisa hidup lebih lama lagi.

Belva putus asa. Bahkan otaknya sudah tak bisa berpikir senormalnya manusia. Belva hanya berpikir ingin mengakhiri hidupnya.

Belva berteriak sembari memukul setir. Tak ada yang ia pikirkan selain ingin bunuh diri. Apa yang ia alami seharian ini benar-benar membuat psikisnya jatuh ke jurang paling dalam. Belva ingin menyerah. Hidupnya seperti tak berarti lagi tanpa orangtua. Tanpa Arman.

Belva melajukan mobilnya membelah jalanan Jakarta yang sudah gelap. Ia masuk ke area pantai wisata paling terkenal di Jakarta. Tempat yang pernah ia dan Papanya kunjungi waktu kecil. Membayar tiket masuk, Belva segera mencari tempat parkir.

Perempuan itu melirik ponselnya sebelum benar-benar keluar dari mobil. Ada panggilan dari Arman si brengsek. Diraihnya ponsel di atas dasbor seraya menerima panggilan dari Arman.

" Arman, kita putus!" ucap Belva, kemudian langsung mematikan panggilan itu secara sepihak bahkan sebelum Arman membalas ucapannya.

Segera Belva keluar dari mobil. Semilir angin malam merasuk pori-pori kulitnya yang sawo matang. Rambutnya yang sepunggung berterbangan. Begitu juga dengan rok model A line selutut yang ia kenakan.

Suasana malam di pantai ini tak terlalu ramai. Ombaknya tenang meski angin bertiup begitu kencang. Belva berdiri di depan pembatas setinggi dada orang dewasa yang terbuat dari kayu, menghadap ke laut. Ia menutup mata. Membiarkan embusan-embusan tak berwujud itu menerpa wajahnya yang merah akibat menangis. Tak lama, ia membuka mata dan kakinya naik ke pembatas kayu di depannya. Ia tersenyum dan tanpa berpikir terlalu lama segera melompat.

Belva memejamkan matanya lagi. Merasakan gravitasi menarik tubuhnya ke bawah, merasakan dingin merasuk kulitnya. Belva membayangkan segala yang ia alami hari ini. Mulai dari kabar kecelakaan Papanya, perselingkuhan Arman dan Febi hingga kematian Papanya. Bagi, Belva lebih baik ia ikut mati saja. Bukankah lebih baik?

" Bel, kamu mau menikah sama aku?" Pertanyaan itu seperti menggema di bawah sini. Arman ada di depannya, membawa buket bunga dan berlutut. Persis seperti yang dilakukannya ketika akan melamar Belva enam bulan yang lalu.

" Bel, selamat ya! Akhirnya si Arman ngelamar kamu juga. Sebagai teman paling dekat, gue ikutan senang!" Febi memeluknya begitu erat. Waktu itu, Belva sangat bahagia sekali karena keberuntungan bertubi-tubi menghampirinya. Lupa jika setiap yang diciptakan adalah berpasangan. Kesialan adalah pasangan dari keberuntungan. Harusnya, Belva tahu sejak awal jika ia tak akan selamanya beruntung. Buktinya, Hari ini. Kesialan bertubi-tubi merenggut semuanya dari Belva. Hanya dalam waktu tak lebih dari dua belas jam.

Gravitasi menarik Belva semakin dalam hingga perempuan itu tidak dapat bernapas dengan benar. Ia megap-megap. Matanya terbuka. Ingin minta tolong, tapi... tidak. Belva ingin mati.

Kini, air telah masuk ke hidung dan kerongkongannya, memenuhi paru-paru dan Inilah saatnya. Belva tak merasakan apa-apa. Namun, ia merasakan sesuatu yang hidup menarik tangannya. Sepersekian detik sebelum kesadarannya benar-benar habis, Belva mengira jika itu adalah ikan hiu. Pasti ikan hiu sudah memakan tangannya dan Belva benar-benar kehilangan kesadaran sepenuhnya.

***

Terpopuler

Comments

Siti Mujimah

Siti Mujimah

jln pintas yg menyesatkan

2022-10-04

1

keysha🦅

keysha🦅

hemh ....

2021-10-07

1

Diah Fiana

Diah Fiana

semangat kkak 😘🌹🌹

2021-09-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!