Seorang pengawal berlarian tergesah mencari keberadaan Edward yang ternyata sedang bersama Fredrick. Nafas pengawal itu masih tidak beraturan dan berpacu cepat saat akhirnya berdiri dan langsung menunduk di hadapan Fredrick.
"Ada apa?" Edward bertanya pada pengawal itu, pengawal yang sangat dia ingat. Karna dialah yang menunjuk pengawal itu untuk menjadi penjaga Lady Victoria dalam senyap.
"Selamat siang Your Highness." Pengawal itu menatap Edward. "Lapor Kapten. Lady Victoria sedang menuju kemari dan sekarang sudah berada di depan gerbang camp latihan. Kami menunggu ijin untuk membuka gerbang."
Fredrick tersedak air yang hendak di tegukknya. Dan dengan panik, berkeliling istal kuda seperti mencari sesuatu. Edward mengeryit melihat tingkah aneh pangeran itu, hingga akhirnya memilih untuk mengabaikan.
"Ada keperluan apa dia kemari?" Edward lebih memilih kembali menatap pengawal.
Pengawal itu menggaruk kepalanya dengan wajah bingung. "Maaf kapten, saya tidak bertanya."
Edward mendengus kesal. "Buka saja gerbangnya."
Setelah pengawal itu mengangguk dan akan berbalik, suara Fredrick terdengar. "Tunggu dulu, aku punya perintah. Katakan pada yang lain jika Lady Victoria kemari, kalian harus menganggapku sebagai anggota kesatria biasa, ini harus! kau mengerti?"
Pengawal itu terperangah menatap Fredrick. Tidak jauh berbeda dengan reaksi Edward saat melihat Fredrick yang sedang memakai baju kesatria biasa setelah, celanannya sudah berganti seragam kesatria.
"Hei, cepat pergi buka gerbangnya! jangan buat dia menunggu lama."
Pengawal itu segera tersadar, dan menganguk. "Baik Your Highness."
"Jangan lupa dengan perintahku tadi." Sambung Fredrick.
"Baik Your Highness."
Setelah pengawal itu pergi, Edward menatap Fredrick penuh selidik. Fredrick yang di tatap Edward hanya melengos acuh. "Itu juga berlaku untukmu, Ed."
Edward menaikkan satu alisnya. "Berarti di depannya kau bawahanku?"
Fredrick tersenyum menggoda, tapi di mata edward, senyum itu selalu terlihat sangat menjijikkan. "Tentu saja tidak! Aku tahu jalan pikiranmu yang selalu ingin memukul kelapaku,Ed. Nope! Jangan coba-coba."
Edward berdecak sebal, dan Fredrick terkekeh sambil melangkah keluar dari instal kuda menuju lapangan latihan kesatria.
Dengan dagu terangkat tinggi, Victoria berjalan memasuki gerbang. Arah pandangnya melirik para kesatria yang memberikan gestur penyambutan sopan padanya. Sesekali beberapa pasukan menyapannya tapi dirinya abaikan.
Setelah langkahnya melewati lapangan latihan dan melihat beberapa bangku panjang, dia menuju ke sana untuk mengistirahatkan kakinya yang sudah dia pakai untuk berjalan cukup jauh.
Beberapa pengawal mulai menunjukkan ketidak sukaan mereka. Beberapa dari mereka terus saling melirik. Para pengawal paling jauh dari arah pandang Victoria, mulai saling berbisik.
Diana yang melihat itu mengetatkan rahangnya. Amarahnya terpancing, ketika ada yang akan membicarakan hal buruk tentang nonannya. Sama seperti saat di pesta aula utama.
Menyadari kemaran Diana, Victoria menarik tangan diana dan menatapnya dengan tersenyum. Seolah mengatakan jika dia tidak masalah. Dengan pelan Victoria menarik tangan Diana untuk duduk di sebelahnya tapi, dengan keras Diana menolak. "Ini di luar, my Lady. Semua mata melihat."
Victoria merengut sebal tapi tetap mengalah karna memang benar, semua mata sedang mentap mereka.
"Selamat siang, my Lady."
Suara berat seorang pria yang sangat dia kenal. Suara yang langsung menggores amarah dan luka di hatinya. Membuat Victoria menoleh, menatap tajam penuh dendam dan amarah.
Ingatannya kembali. Ketika tubuh tidak bernyawa kakaknya dengan gaun setengah terbuka dalam keadaan sangat tidak terhormat, di seret kasar seperti karung gandum. Juga ingatan bagaimana kedua orang tuanya yang menangis pilu, dan ingatan paling menyesakkan saat bagaimana pedang pria itu memotong tenggorokan kedua orang tuannya membuat darah Victoria berdesir panas.
Kedua tangan Victoria terkepal hingga tubuhnya gemetar menahan amarah. Matanya melirik sebuah kotak yang berisi banyak pedang tertumpuk di dekat kursi panjang. Semua akalnya hanya mempunyai satu perintah dan tujuan, dia ingin membunuh pria itu.
"My Lady." Sentuhan dan peringatan lembut di bahu Victoria, menyadarkan kembali dirinya. Dia menoleh ke arah Diana yang memejamkan matanya cukup lama seolah memberi pesan agar dirinya tenang. Victoria menggigit pipi dalamnya, lalu mencoba menarik nafas dalam. Mencoba mengatur dirinya agar kembali tenang.
Fredrick yang berdiri tidak jauh di belakang Edward menangkap semua itu, matanya menatap nanar tapi juga ada kekaguman. Karna jika yang ada di dalam situasi sekarang adalah seorang wanita bangsawan lain, sudah pasti tampilan yang akan mereka berikan untuk seorang pembantai keluarganya akan beda. Ketakutan, adalah respon wajar yang akan mereka berikan saat melihat Edward. Tapi Victoria, hanya terus memberikan tatapan haus darah. Bahkan sekarang, dengan cepat Victoria sudah bisa mengatur raut wajahnya menjadi kembali datar.
"Duduklah, ada yang ingin ku tanyakan." Sangat tenang. Suara Victoria sangat tenang seolah tidak sedang berhadapan dengan orang yang sudah menebas leher kedua orang tuannya, di depan matanya langsung.
Setelah menganguk singkat, Edward langsung mendaratkan bokongnya di kursi panjang yang berhadapan dengan Victoria. Bola mata hitamnya menatap dengan penuh misteri kedua bola mata hijau pekat Victoria. "Apa yang ingin anda tanyakan, my Lady?"
Victoria mengabaikan pertanyaan Edward dan menatap Diana. "Tolong buatkan kami minuman, sesuatu, atau apapun itu, Di." Pintanya.
Diana mengangguk dan segera pergi menuju ke dapur camp pelatihan. Victoria melebarkan arah pandangnya, menatap sekelilingnya. Meski itu hanya tameng karna dia sebenarnya masih sangat tertarik dengan tumpukan pedang yang berada di dalam kotak.
Akhirnya kaki Victoria berdiri, berjalan menuju kotak itu. Kedua bola mata hijau pekatnya memindai pedang-pedang yang ada di dalam kotak. "Bolehkah aku melihatnya?"
Victoria bertanya pada seseorang yang paling dekat dengan kursi panjang. Fredrick mengangguk. "Silahkan Lady."
Dengan kasar Victoria menendang kotak hingga semua pedang di dalam kotak tumpah ke atas tanah. Fredrick menaikkan satu alisnya, melirik Edward yang sudah mengerutkan alisnya.
Victoria mengambil satu pedang dengan sarung berwarna biru tua yang senada dengan warna gaunnya. Belum cukup membuat sekelilingnya bingung, tanpa aba-aba Victoria menarik pedang hingga keluar separuh dari sarungnya.
Fredrick reflek akan bergerak untuk menahan pedang itu karna khawatir jika Victoria akan terluka. Bagaimana tidak, telapak tangan kecil pucat lembut Victoria sedang memegang benda berbahaya. Tapi untung saja, belum sempat Fredrick sempat maju, suara panik Diana menghentikan niatnya.
"My Lady!!!"
Kepala Victoria menoleh ke arah Diana yang sudah berlarian menujunya. Dengan nampan minuman yang langsung Diana letakkan sembarang.
"Kenapa kau panik sekali." Victoria terlihat tidak suka.
"Tentu saja saya panik, my Lady. Ini benda berbahaya." Jawab Diana dengan sengit.
"Aku hanya ingin melihat." Acuh Victoria.
Penolakan nonannya di abaikan begitu saja oleh Diana. Dirinya langsung merenggenggam tangan Victoria yang terus memegangi pegangan pedang. "Lihatlah. Bahkan tangan anda tidak sampai separuh pegangan pedang ini, my Lady."
Mendengar sindiran Diana, dengan kesal Victoria melempar pedanng. Bibirnya mengerucut kesal dengan mata melotot pada Diana. Tapi Diana tidak peduli, dan langsung menuntun nonannya agar kembali duduk. Fredrick menahan senyumnya, rasanya dia sangat gemas.
Diana menatap Victoria yang masih cemberut. "Saya mohon jangan bermain dengan benda yang berbaya lagi, my Lady. Tolong..." Diana menoleh. lalu melotot kesal pada Edward yang terlihat masih bingung mencerna situasi. "Dan kalian para kesatria, tolong jaga nona kami."
"Jangan berlebihan, aku bukan bayi. Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya memotong leher orang lain dengan pedang." Tutur Victoria dengan acuh, sangat acuh dan tenang.
Tapi tidak dengan semua orang yang ada di sana, kebanyakan dari mereka langsung menunduk. Diana juga ikut tertunduk entah karna apa. Dan suasana di sana berubah menjadi lebih hening.
Victoria yang menyadari itu, kembali muluruskan kepalanya untuk menatap Edward yang terkesan santai bahkan seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Bukannya kesal karna Edward seolah tidak peduli dengan sindirannya, Victoria malah menyeringai.
"Mana minumannya, Di?"
"I-iya, my Lady. Akan saya buatkan yang baru."
Kepala Victoria menggeleng. "Tidak perlu, bawa saja yang sudah kau buat."
"Tapi...." Tatapan Diana memandang ke arah nampan minuman yang tadi di letakkannya dengan sembarang. Dia takut jika cangkir, atau mungkin teh yang sudah di buatnya kotor terkena debu.
Victoria yang menyadari keraguan Diana segera berucap. "Tidak masalah, bawa saja itu."
Diana akhirnya mengangguk dan segera menuju tempat nampan tehnya. Tapi, saat akan melewati Fredrick, langkah Diana berhenti, menatap Fredrick dengan alis mengerut.
Dengan sedikit panik, Fredrick menempelkan jari telunjuknya ke bibir. Memberikan pesan agar Diana yang sepertinya sadar dengan penyamarannya tidak memberikan salam yang bisa menarik perhatian. Diana hanya menatap Fredrick dengan datar, dan akhirnya memilih berlalu melewatinnya.
Langkah Diana sudah sampai pada meja Victoria dan Edward dengan nampan tehnya. Dengan cepat tangannya mulai menyajikan teh untuk Victoria dan Edward. Victoria menatap semua persiapan yang sudah di sediakan Diana, merasa ada yang kurang, Victoria segera bertanya pada Edward.
"Apa di sini tidak ada gula?"
"Persediaan gula sedang habis. Harus menunggu awal bulan untuk mendapatkannya lagi. Maaf atas ketidak nyamanan ini, my Lady." Edward menjawab cepat, seolah sudah tahu dan terbiasa jika akan ada yang menanyakan pertanyaan Victoria.
"Oh menyedihkan sekali.... seharusnya kalian juga memeras hasil alamNYA, jangan hanya hasil uangNYA."
Sindiran Victoria membuat Edward hampir tersedak teh. Kali ini dia tidak bisa menahan keterkejutannya karna secara tidak tanggung-tanggung, Victoria langsung menyindir kebijakkan Raja yang sama saja dengan mencela Raja itu sendiri.
"Jadi sekarang mari membicarakan maksut kedatanganku, Edward." Victoria menatap Edward dengan tajam, rahangnya terkatup kuat hingga suaranya berdesis. "Di mana makam keluargaku?"
Dengan tenang, Edward membalas tatapan tajam Victoria. "Belum saatnya untuk anda tahu, my Lady. Tapi saya berani bersumpah jika saya sungguh memakamkan keluaraga anda dengan layak."
Edward menjawab dengan santai dan tenang. Yang malah kembali menyulut emosi Victoria. Darahnya kembali berdesir panas hingga rasanya Victoria ingin melempar gelas ke wajah Edward.
\=\=\=💜💜💜💜
Hallo readers yang budiman.... Ayukk silahkan tinggalin jejaknya. Yang masih berminat selamat lanjut membaca
Salam sayang untuk kalian semua ✨
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 213 Episodes
Comments
Cut SNY@"GranyCUT"
Ya ampun thor.. gemetar saya bacsnya membayangkn perasaan Victoria
2023-09-05
0
Patmawati
Sepi ya padahal SDH lma tamat. keren bgt lohh ini
2023-07-14
0
diyah.widi
serasa baca novel2 Barbara Cartland 🥰 yg selalu berlatar para bangsawan Inggris.
2022-07-13
0