Mobil Alphard putih telah berhenti di depan rumah pak Bejo. Kedatangan Niar menyita perhatian tetangga yang berkerumun di depan rumah.
Niar tergesa-gesa turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. "Assalamu'alaikum." Niar mengucap salam. Ternyata di rumah pak Bejo sudah ada lima orang yang duduk di ruang tamu.
"Bapak ... Ibu," panggil Niar dan duduk di samping pak Bejo.
"Nak, kamu di kasih ijin pulang? Hampir empat jam mereka di sini, tidak mau pergi sebelum kita membayar hutang," terang pak Bejo melirihkan suaranya.
"Ini anak saya sudah pulang, Pak. Dia pasti bawa uang." Sumiati langsung menunjuk Niar yang baru saja duduk.
"Cepat bayar! Kamu membuat kami menunggu lama! Kalau tidak di bayar, cepat angkat kaki dari rumah ini!" Salah satu dept collector berbicara dengan nada tinggi.
"Sabar Pak, memang hutang bapak saya berapa?" tanya Niar.
Salah satu dari mereka memberikan selembar kertas kepada Niar. Kertas perjanjian hutang piutang hitam di atas putih, dengan di cantumkan materai untuk menguatkan hukum.
Saat Niar mengamati nominal angka yang tertera, bola mata Niar melebar sempurna dengan mulut terbuka. "Se–seratus du–a puluh lima ju–ta, Pak?" Niar sampai tergagap menyebut angka fantastis itu.
"Seratus dua puluh lima juta sudah termasuk dengan bunganya"
"Bu ... sebanyak ini hutang Ibu?" ucap Niar pelan. Niar terlalu syok mengetahui hutang ibunya sangat banyak. Ia mengira hanya sebatas puluhan juta saja, tapi tanpa di sangka bisa mencapai angka ratusan juta. Pantas saja dept collector hampir menyita rumahnya.
"Bos kami tidak bisa mentolerir waktu lagi. Anda harus membayar hutang hari ini juga!" Salah satu Dept collector itu kembali berbicara. "Terlalu lama Ibu Sumiati tidak membayar bunganya, kami di beri wewenang menyita rumah ini jika kalian tidak bisa membayar."
"Pak, tolong beri kami waktu. Jumlah ini terlalu banyak, kami harus mengumpulkan uangnya." Niar berusaha meminta perpanjangan waktu.
"Tidak bisa, Mbak! Sudah banyak waktu yang kami berikan." tegasnya.
"Pak, bukankah tenggang waktunya masih satu bulan lagi? Harusnya bapak-bapak memberi kami waktu lagi." Sumiati ikut mengiba.
Salah satu dari mereka ada yang menelpon. Terlibat perbincangan serius. Niar menggunakan kesempatan untuk berbicara dengan Sumiati.
"Bu, hutang sebanyak itu buat apa?"
"Eh anak dungu! Kamu tanya itu buat apa, hah? Kamu kira hidup kita sudah berkecukupan? Tanya kepada bapakmu itu, berapa yang dia kasih untuk Ibu? Cukup enggak buat kebutuhan Ibu dan kebutuhan sehari-hari! Jangan bisanya nyalahin aja! Kamu ingat gaji kamu waktu kerja di tempat laundry berapa? Lima ratus ribu cuma cukup buat makan satu minggu!" Sumiati malah mengomel panjang lebar.
"Berbicara dengan ibumu tidak akan menyelesaikan masalah, Niar. Justru bikin tambah pusing," sahut pak Bejo.
"Bu, walau kebutuhan kita banyak dan hidup kita kekurangan, harusnya gak perlu hutang pada rentenir. Apalagi bunga yang harus dibayar 25persen. Itu terlalu tinggi, Bu. Dengan apa kita membayarnya."
"Kamu berani ceramahi Ibu! Mau jadi anak durhaka! Sejak kamu lahir, selalu saja membawa sial!" ucap Sumiati penuh kebencian.
"Bu, cukup! Kenapa Ibu selalu membahas itu!" Baru kali ini Niar berteriak di depan Sumiati. Luka yang di pendam seolah menghancurkan benteng pertahanan hingga Niar mampu membalas tatapan Sumiati yang menatapnya dengan kebencian.
"Niar," panggil pak Bejo mengelus punggung anaknya, berharap Niar diam seperti biasanya. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk bertengkar dan saling menyalahkan. Jika semua di rundung amarah maka keadaan akan semakin rumit.
"Kami tidak ingin melihat pertengkaran kalian! Bos kami memberi waktu selama dua hari, segera lunasi hutang-hutangnya. Jika tidak, kami akan benar-benar menyita rumah ini. Ingat ...hanya dua hari!" salah satu dari mereka memberi peringatan.
"Baik Pak, kami akan usahakan," jawab pak Bejo lirih.
"Kami permisi," pamitnya. Kelima dept collector itu beranjak berdiri. Salah satu dari mereka ada yang menggerutu. "Huh ... buang-buang waktu aja! Empat jam kita di sini gak ada hasil,"
Setelah mereka pergi. Nesva baru pulang dan langsung masuk ke dalam rumah. "Ibu," Nesva memilih duduk di samping ibunya.
"Ini akar permasalahannya!" sinis pak Bejo mencibir Nesva.
"Bapak! Nesva baru pulang, jangan marahi dia," ucap Sumiati membela anaknya.
"Apa bedanya dengan Niar, Bu? Dia baru pulang dan kamu maki dia dengan pembawa sial! Inget, dia juga anakmu, darah dagingmu! Kamu yang mengandung selama sembilan bulan lebih, sama seperti kamu mengandung Nesva. Tapi sekalipun kamu tidak pernah sayang dengan putrimu sendiri. Mata hatimu tertutup dengan kebencian atas kehadiran Niar yang tidak kamu inginkan!" Kali ini kemarahan pak Bejo meradang. Ia menatap Sumiati dengan tajam.
"Aku memang tidak menginginkan dia lahir, aku benci mengandung anak itu. Saat aku mengandung Niar, hampir saja aku kehilangan nyawa! Saat bidan melakukan USG dan memberitahu bahwa aku mengandung anak laki-laki kenapa anak perempuan lagi yang harus keluar? Tidak sampai di situ, Bapak kehilangan pekerjaan tepat pada saat anak itu lahir. Ayah dan ibuku meninggal waktu perjalanan ke rumah sakit untuk menjenguk anak itu. Apa namanya kalau bukan anak pembawa sial! Nesva kurang mendapat kasih sayang karna aku depresi ngurusi dia! Ah ... aku benci dengan kehadiran anak itu! Kalau saja waktu itu aku bunuh dia, mungkin kesialan terus menerus tidak akan terjadi. Semua itu karna mu yang mencegahku membunuh anak pembawa sial itu!" Panjang lebar Sumiati berteriak di depan pak Bejo dan juga kedua anaknya.
Niar menangis sesenggukan mendengar ungkapan sang ibu yang mengujar semua rasa benci dihadapannya. Apa hanya karna itu ibu membenci kehadirannya? Kuatkah alasan itu bagi seorang ibu untuk membenci anaknya sendiri.
"Bu, apa Niar bisa meminta lahir dari ibu yang mana? Hadir di keluarga siapa? Bisakah Niar meminta itu pada Tuhan? Jika Niar bisa memilih, lebih baik Niar tidak dilahirkan ke dunia jika kehadiranku tidak pernah Ibu harapkan." Airmata Niar tak berhenti mengalir. Ia beralih menatap bapaknya. "Pak, kenapa Bapak harus mencegah Ibu untuk membunuhku? Lebih baik aku kembali pada Tuhan daripada hidup seperti ini. 18tahun Niar hidup tanpa keadilan dan kasih sayang utuh. Niar juga punya perasaan, Pak, Bu. Niar lelah menjalani kehidupan seperti ini. Menanggung apapun sendiri. Aku sempat berpikir bahwa aku bukanlah anak kandung kalian, hingga suatu saat bisa pergi mencari keluarga kandung yang bisa menerima dan memperlakukan aku dengan baik. Tapi ... kenyataan ini lebih menyakitkan untuk kuterima, disaat anak kandung dibenci karna kehadirannya tidak diharapkan. Aku harus mengadu pada siapa? Aku pun harus menyalahkan siapa?"
.
.
.
.
.
Ada yang ingin akak mei sampaikan. Bahwa alasan Sumiati membenci Niar mungkin kurang kuat, namun hal itu pernah ada yang terjadi. Jika dicerita Taka, akak mei menonjolkan bahwa sikap anak berbeda-beda. Disini akak mei menyampaikan jika kasih sayang orang tua memang ada yang membedakan kelebihan anak satunya dengan anak yang lain.
Akak mei harap, bijaklah mengambil kesimpulan dan pelajaran. Sebagai orang tua sebisa mungkin bersikaplah adil. Hal sekecil apapun bisa menimbulkan iri hati jika perlakuan orang tua tidak sama. Beri pemahaman buah hati kita dengan cara lembut dan selalu dekati mereka agar mereka nyaman berkeluh kesah kepada kita.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Sweet Girl
setuju kak...
2023-08-02
0
Sweet Girl
klo urusan hutang Niar... baru akuin anak...
2023-08-02
0
Tina Baiq
karyamu selalu bisa menguras emosi dan airmataku thor
2021-11-11
0