Airmata membanjiri pipi Niar, bocah sekecil itu sudah menerima perlakuan menyesakkan dan itu hampir setiap hari terjadi.
Melihat Niar menangis tak membuat Sumiati merasa iba, perempuan itu menggandeng tangan Nesva dan berlalu begitu saja.
Buku hapalan doa yang tergenggam kuat kena tetesan airmatanya. Begitu menyesakkan, tapi gadis kecil itu biasa menghibur dirinya sendiri. Mengobati luka batin dengan rasa bersyukur, setidaknya masih memiliki keluarga. Ia percaya jika suatu hari, bapak, ibu dan kakaknya mau memeluk dan menyayanginya.
Niar masuk ke dalam kamar menyimpan buku dan juga uang simpanan dari Bu Tini untuk di masukan ke dalam tabungan yang terbuat dari botol bekas. Niar mempunyai keinginan membeli sepatu dengan uangnya sendiri.
Jika meminta pada orang tuanya, ia tahu tidak akan dibelikan. Dari pertama masuk sekolah, semua barang yang dipakai bekas milik kakaknya. Gadis itu belum pernah dibelikan dengan yang baru.
Saat memasukan uang Rp.5000 rupiah ke dalam tabungan, bibir kecil Niar menyunggingkan senyum. Luka beberapa waktu lalu telah melebur, membayangkan jika sudah dewasa kelak memiliki semangat untuk bekerja keras, mencari uang sebanyak mungkin untuk berkeliling dunia. Mimpi yang indah namun tidak tahu bisa dicapai atau tidak.
"Niar ...!" Mendengar suara ibunya memanggil, ia segera menyembunyikan botol itu ke dalam kardus yang digunakan sebagai tempat penyimpanan pakaian. Di bawah tumpukan baju adalah tempat paling aman, menurutnya.
"Iya Bu ...." Niar segera keluar dan menghampiri sang ibu.
"Kamu kebiasaan lelet! Ibu nyuruh kamu cuci piring, malah enak-enakan di kamar terus. Kamu mau dapet jatah makan, enggak? Semua gak ada yang gratis, Niar!" sentak Sumiati dengan kesal.
"Iya Bu, tadi Niar nyimpen buku dulu. Sudah itu mau cuci piring," jawab Niar. Ia segera berlalu menuju dapur, mengambil ember berisi piring kotor juga peralatan dapur lainnya untuk dicuci.
Setelah selesai mencuci piring, Niar segera mandi dan berangkat ke mushola terdekat. Seperti biasa, jika anak-anak lain belum pulang ia akan menunggu. Duduk di 'lincak' panjang terbuat dari anyaman bambu yang ada di bawah pohon mangga.
Kerumunan anak-anak mengaji sudah mulai membubarkan diri, ketika mushola sudah tampak sepi ia berjalan menuju ke sana untuk menemui ustadzah.
"Assalamu'alaikum ...." Niar mengucap salam.
"Wala'ikum salam, Niar. Masuk!"
"Ayo baca doa dulu sebelum belajar membaca iqra'. Hapalan yang kemarin udah hapal belum?" Ustadzah yang mengenal Niar begitu ramah menyapa.
"Sudah, Bu."
"Ya udah baca dulu hapalan doanya. Baru dilanjut mengaji iqra', ya."
Mengaji sore itu telah usai saat senja hampir menanggalkan langit. Ustadzah menyuruh Niar sholat berjamaah dan setelah itu baru pulang.
Langit telah berubah hampir menggelap. Namun setitik langit biru masih terlihat. Tak ada rasa takut menyusuri jalanan, gadis kecil itu tampak senang berjalan kaki dengan sesekali memandangi langit yang telah muncul satu, dua, tiga bintang dengan bias cahayanya.
"Assalamu'alaikum." Niar melepas sendal dan masuk ke dalam rumah. Di ruang makan sudah berkumpul untuk menyantap makan malam.
Niar mendekat dan menyalimi tangan ibunya.
"Kenapa pulangnya sampai malam?" Pak Bejo bertanya. Pak Bejo adalah ayahnya Niar.
"Tadi, Bu guru ngajak Niar sholat maghrib di mushola, jadi pulangnya lama, Pak," jawab Niar dengan menyalimi punggung tangan ayahnya dengan takzim.
Pak Bejo terdiam menatapi wajah Niar, polos dan berseri seperti wajah anak seumuran dengannya. Namun, siapa sangka gadis sekecil itu sudah menanggung beban kepiluan. Dia anak baik, tapi tidak memiliki nasib baik.
"Ayo makan," ajak Pak Bejo mengalihkan pikirannya. Ia memang tidak terlalu galak seperti Sumiati tapi perlakuannya tidak jauh beda. Jarang memperhatikan anak-anak karna sibuk bekerja. Terkadang turut memarahi Niar karna hasutan dari istrinya. Walau dalam hati tak tega, tapi beban pikiran tentang ekonomi membuat dirinya acuh dengan keluarga.
Ia belum bisa menjadi imam yang baik untuk keluarganya.
"Ibu, aku mau ayam dua," rengek Nesva pada Sumiati.
"Iya-iya, Ibu ambilkan." Sumiati cekatan mengambilkan permintaan putrinya.
Apalagi yang diperhatikan Niar selain perhatian Sumiati pada kakaknya. Bocah itu memiliki keinginan yang sama, tapi tak pernah didapatkan. Hal-hal kecil seperti itu mampu melukai batinnya.
Pak Bejo beralih melihat tatapan Niar, ia sangat tahu keinginan putri keduanya. "Bu, Niar juga ambilkan ayamnya," perintah Pak Bejo pada istrinya.
Sumiati mencebik kesal. "Ngambil sendiri, 'kan bisa. Biasanya juga ngambil sendiri!" Sumiati menjawab ketus.
Pak Bejo menghembuskan napas panjang, kini ia sendiri yang mengambilkan lauk pauk untuk Niar.
"Gak usah banyak-banyak, Pak. Inget kita harus hemat. Situ kerja kadang dapet duit, kadang enggak. Kalau makan jangan boros-boros!" cibir Sumiati dengan lirikannya.
"Bu, jangan mulai. Setidaknya malam ini kita makan dengan damai, gak berantem terus! Bapak capek seharian kerja, di rumah Ibu selalu ngajak ribut," ucap Pak Bejo menahan kesal.
Sumiati langsung membungkam mulut, tapi hatinya memaki anak keduanya. Apapun keributan yang terjadi selalu menyalahkan Niar, yang dianggap anak pembawa sial.
"Di makan," perintah Pak Bejo pada Niar.
"Iya, Pak. Makasih."
Seusai makan malam, Pak Bejo dan Sumiati duduk di depan televisi. Sedangkan Niar dan Nesva mengerjakan PR.
"Niar, kamu dapat pensil baru dari mana?" Nesva melirik pensil yang digunakan Niar.
"Dikasih ibunya kak Aris, Kak."
"Kamu deket banget sama bude Tini. Kamu gak deket 'kan, sama Kak Aris? besok kalau besar aku mau nikah sama dia. Kamu jangan deketin dia, awas aja kamu!" ancam Nesva.
"Enggak Kak, aku gak deket sama Kak Aris."
"Siniin pensilmu buat aku." Nesva ingin merebut pensil milik Niar. Sudah menjadi kebiasaan, apapun barang yang dimiliki Niar selalu dipinta secara paksa.
"Jangan Kak!" Niar mempertahankan pensilnya.
Terjadi berebut pensil antara keduanya, dan suara Sumiati menggelegar menghentikan.
Apalagi yang dilakukan Sumiati jika tidak mengedepankan keinginan Nesva, mengambil pensil Niar dan memberikan pada putri kesayangannya.
Terdengar isak tangis tertahan dari Niar, merelakan pensil yang baru dibeli direbut oleh kakaknya. Kejadian kecil itu bukan kali pertama, bahkan sering terulang. Dan lagi-lagi selalu dia yang harus mengalah.
Memberesi peralatan sekolah. Setelah itu ia beranjak masuk ke kamar. Membuka jendela kecil yang ada di sudut kamar dan memandang langit yang kini telah sempurna bertabur bintang.
"Meong ...." Hanya kucing kecil satu-satunya teman berbicara. Niar mengangkat kucing itu dan menaruh di atas pangkuannya. "Pus-pus, kenapa Ibu dan kak Nesva selalu begitu? Gak pernah baik sama aku? Tadi pensilku direbut lagi sama Kak Nesva," curhatnya dengan sedih. Tangan kecil itu mengelus bulu-bulu kucing lebat nan halus. Sang kucing membalas dengan gerasakan mengusap-ngusapkan kepalanya pada tangan Niar.
"Kalau aku gak nurut sama mereka, aku takut sama sepertimu ... gak punya keluarga dan hidup sendirian. Nanti aku tinggal di mana?"
"Kamu gak akan tinggal dimana-mana, Niar. Tetap di sini karena ini juga rumahmu." Suara Pak Bejo mengejutkan Niar, pandangan Niar tertuju pada ayahnya.
"Bapak?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Gozali Jali
nyesek banget bacanya
2023-07-17
0
Lilis Lestari
ceritanya sedih banget.
2022-01-30
0
khairi
💪 tooooor,novel mu selalu membuat ku 😭😭😭
2021-11-02
0