Kumandang adzan ashar sudah terdengar, ibu Tini berjalan mondar-mandir di depan pintu. Sesekali melongok rumah di depannya yang tertutup rapat tak terdengar aktivitas apapun.
"Kemana Niar?" tanyanya pada diri sendiri. Tini cemas menantikan kedatangan Niar, namun hari ini sepertinya gadis cilik itu tidak datang. Tini menyimpan berbagai pertanyaan, gerangan apa membuat Niar tidak datang ke rumahnya? Tidak seperti biasanya Niar selalu rajin datang walau terlambat.
•••••••
Di dalam kamar sempit dan engap, tak sedikitpun badan Niar beranjak dari kasur tipis. Kasur tipis dan usang itu tempatnya berbaring tanpa kenyamanan. Hanya kasur itu mampu menampung tubuhnya dari kerasnya lantai. Mengantarkan jiwanya untuk terlelap dalam damai. Meski setiap membuka mata ia akan di suguhi kerasnya hidup tapi bocah itu tak mengeluh. Tetap menjalani kehidupannya.
Tidur meringkuk menahan lapar dan haus, kondisi Niar semakin lemah tak bertenaga. Gadis itu hanya mampu merintih dan membayangkan hal indah. Tak ada yang bisa di lakukan selain menunggu sang ayah datang. Berharap hari ini bapak pulang cepat, maka ia segera keluar dari kamarnya dan bisa merasakan hangatnya nasi meski tanpa lauk, atau pun bisa minum air di penampungan air meski tak ada air putih yang telah di masak.
"Bu ... Niar lapar, Bu," rintihan Niar terdengar lemah.
Malang! Sebanyak apapun bibir pucat itu merintih, Sumiati tak bisa mendengar. Ibu kejam itu sedang asik menikmati sinetron kesukaannya di depan layar televisi. Tanpa sedikitpun teringat dengan putri bungsunya yang hampir sekarat.
••••••••••••
Kumandang adzan magrib sudah terdengar tapi tak ada yang berbeda, Niar tetap terkurung dalam kamarnya. Hingga Adzan isya' telah berlalu satu jam dan kini hampir jam sembilan malam suara motor pak Bejo baru terdengar.
Sumiati dengan malas-malasan akhirnya beranjak membukakan pintu untuk suaminya.
"Bu, Bapak pulang bawa nasi kotak," ucap pak Bejo dengan senyum mengembang setelah Sumiati membukakan pintu.
"Wih ... enak tuh, Pak," jawab Sumiati tak kalah mengembang senyum.
"Anak-anak mana Bu, mereka pasti seneng Bapak bawa makanan enak," tanya pak Bejo.
"Niar ada di kamar," jawab Sumiati berubah ketus.
"Nesva ... ! sini, Nak, Bapak pulang bawa nasi kotak. Kamu mau, enggak?" Sumiati beralih memanggil putri kesayangannya.
Pak Bejo masuk mencari keberadaan Niar, tapi tak ada di manapun. Tempat terakhir yang belum di datangi hanya kamar paling belakang, yaitu kamar Niar.
Di sana tak ada penerangan sama sekali, dahi pak Bejo mengernyit heran lalu segera membuka pintu yang tadi sudah lebih dulu di buka kuncinya oleh Sumiati.
"Niar ...," panggil pak Bejo di dalam ke gelapan kamar sempit itu.
"Pak ...," jawab Niar lirih nyaris tak terdengar.
Pak Bejo menghidupkan saklar lampu dan menemukan sosok mungil itu meringkuk di atas kasur usang. "Niar, kamu kenapa?" tanya pak Bejo terkejut melihat keadaan Niar seperti itu.
"Pak, Niar laper." Gadis kecil itu memandang pak Bejo dengan pandangan sayu dan lemah.
Seketika lutut pak Bejo menyentuh tanah, kedua airmatanya mengeluarkan airmata menangisi keadaan putrinya. "Kenapa kamu bisa kelaparan, Niar?"
"Ibu ... Bu ... !" teriak pak Bejo lantang memanggil istrinya.
"Ngapa sih, teriak-teriak!" sentak Sumiati segera menghampiri suaminya dan berdiri di tengah pintu.
"Kamu apakan Niar, sampai keadaanya lemah begini!" pak Bejo memarahi Sumiati.
"Bapak kalau gak tau jangan marah-marah dulu. Bapak gak tau 'kan hari ini anak kesayanganmu itu membuat ulah! dia mecahin kaca sekolah. Ibu wali kelas datang dan minta uang ganti rugi. Uang Ibu habis gara-gara bayar ganti rugi, makanya aku hukum dia seharian tanpa aku kasih makan. Ya ... itung-itung ngurangin jatah makanan, jadi beras sama lauk kita lebih hemat," jelas Sumiati tanpa rasa bersalah. Ia mengecapi lima jarinya yang tertinggal nasi dan sambal. Ibu dua anak itu sedang makan nasi kotak bersama Nesva.
Pak Bejo bernapas tersengal, menatap Sumiati dengan pandangan tajam. Tapi Sumiati tidak takut sama sekali.
"Hatimu terbuat dari apa, Bu? dia masih terlalu kecil merasakan ketidak adilan yang terus menerus kamu lakukan! Gak seharusnya kamu hukum dia sekejam itu, Bu! Niar tetaplah anak kecil yang masih polos dan wajar melakukan kesalahan. Jangan keterlaluan kamu!" sentak pak Bejo dengan marah.
"Keterlaluan? apanya yang keterlaluan, Pak? kamu yang bodoh, andai saja dari bayi kamu ijinin aku bunuh dia, hidup kita gak akan menanggung beban ngurusi dia. Cih ... aku gak aku suka dengan anak itu!" Sumiati tak kalah dingin menatap suaminya.
"Diam ... ! kamu benar-benar kelewatan, Bu!"
"Niar, tunggu sebentar, Bapak ambilkan minum dan makanan." Pak Bejo melewati Sumiati begitu saja. Ia memilih mengabaikan istrinya dan tidak melanjutkan perdebatan, saat ini kondisi Niar lebih penting, ia harus merawat anak bungsunya.
Sumiati melototkan mata ke arah Niar, lalu mengumpat marah. "Dasar anak sialan!" setelah itu beranjak pergi meninggalkan kamar Niar.
Saat pak Bejo kembali membawa makanan dan minuman tak lagi mendapati istrinya disana, ia tak perduli dan segera duduk di samping Niar. "Buka mulutmu, Bapak suapi," perintahnya.
Niar menurut, membuka mulut dan makan dengan lahab. Gadis cilik itu sangat kelaparan hingga tak butuh waktu lama makanan di piring telah habis. "Alhamdulillah, makasih ya, Pak. Niar sudah kenyang," ucapnya.
Mendengar itu kedua mata pak Bejo kembali berair, ia mendekap tubuh kecil Niar dan memeluknya erat. Tubuh gadis kecil itu kurus tak terawat, berbeda dengan putri sulungnya yang gemuk dan bersih. "Maafin Bapak, Nak, belum bisa menyuarakan keadilan untukmu. Kelak, jika kamu dewasa Bapak do'akan hidupmu penuh kebahagiaan," ucap pak Bejo mendo'akan putri bungsunya.
"Kalau Niar sudah besar, Niar mau kerja cari uang banyak untuk ibu dan bapak. Kata ibu, ngurusi Niar mengeluarkan banyak uang, mungkin ibu akan sayang sama Niar jika Niar gak ngabisin uang ibu sama bapak."
Pak Bejo menghembuskan napas panjang, begitu baik dan dewasanya pemikiran Niar, tapi kenapa Sumiati masih tak bisa melihat kebaikan anak kecil itu.
"Bapak ikhlas ngurusi kamu, Nak. Kewajiban semua orang tua membesarkan anak-anaknya, hanya saja ibu kamu masih tertutup mata hatinya. Dia belum bisa menerima kehadiranmu. Tapi Bapak yakin, suatu saat ibu kamu akan menerima kehadiranmu."
Pak Bejo mengambil uang sepuluh ribu dari dalam kantong celananya dan di berikan pada Niar. "Ini uang jajan besok. Di simpan dan jangan sampai ibu tau. Bapak mau keluar dulu,"
Niar tersenyum dan menerima uang itu. "Makasih ya, Pak."
"Sekolah yang pintar ya, biar besar nanti nasibmu lebih baik." Tangan pak Bejo mengelus pucuk rambut Niar, setelah mengatakan itu beranjak keluar dari kamar Niar.
Begitulah pak Bejo, meski Sumiati terang-terangan memberi hukuman pada Niar tapi tak bisa berbuat banyak, ia akan kalah berdebat dengan sang istri. Lebih memilih diam dari pada melanjutkan perdebatan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Sweet Girl
Aamiin
2023-08-02
0
Sweet Girl
usir aja pak...
carilahi istri Sholihah..
2023-08-02
0
Delfianti
aduuh ceritanya bikin air mata mengalir terus sedih banget ceritany
2023-04-09
0