"Bapak," panggil Niar dan menoleh ke arah pak Bejo yang berdiri disisi pintu.
Pak Bejo mendekati putri keduanya, mengelus pucuk kepala Niar dengan rambut hitam nan lebatnya. "Kamu akan tetap di sini, Nak. Kamu putri bapak yang baik. Maafin Bapak kurang perhatiin kamu, sering mengabaikan keberadaanmu. Bapak sibuk bekerja, sampai lupa caranya memberi kasih sayang," ucap Bejo merasa bersalah.
"Pak, kenapa Ibu dan Kak Nesva gak sayang sama Niar? Kenapa Ibu selalu bilang Niar anak pembawa sial." Gadis kecil itu telah memupuk airmata, jika ia berkedip airmata itu akan keluar.
"Ibu memang bersikap sedikit kasar. Banyak beban pikiran membuat Ibu sering marah-marah. Niar tolong maafin Ibu, ya. Jika Niar tetap jadi anak baik, suatu saat Ibu akan sayang dengan Niar. Dan, ada yang perlu Niar ingat, tidak ada anak pembawa sial. Setiap anak membawa kebahagiaan juga rezeki sendiri," ujar pak Bejo memberi pengertian.
"Tapi, kapan Ibu sayang sama Niar, Pak? Niar cuma pengen tidur di samping Ibu juga dipeluk ibu." Kali ini airmata Niar berhasil lolos. Tangan mungilnya segera menghapus dengan cekatan.
Itulah permintaan sederhana dari bocah berumur 8tahun yang belum pernah merasakan hangatnya didekap sang ibu. Keinginan itu tidak sulit untuk diwujudkan, bahkan sangat mudah bagi kebanyakan ibu lainnya. Namun, semua itu tidak berlaku pada Sumiati, ibu dua anak yang enggan mewujudkannya. Entah apa penyebab Sumiati begitu membenci kehadiran Niar.
"Secepatnya ... Bapak akan mengusahakan. Niar tetap bersabar dan tetap hormat pada ibu, ya. Karna surga ada di bawah telapak kaki ibu," ujar pak Bejo dengan membubuhi nasehat.
"Iya, Pak. Walau Ibu gak sayang sama Niar, tapi Niar sayang banget sama Ibu. Niar selalu berdoa semoga Ibu panjang umur dan bisa sayang sama Niar seperti Ibu sayang sama Kak Nesva."
Tanpa mereka tahu, Sumiati berdiri di samping pintu. Dengan jelas mendengar percakapan suami dan anak keduanya. Tapi, apa tanggapan ibu dua anak itu? Ia hanya mencebik kesal mendengar permintaan Niar yang baginya sangat memuakkan. "Sampai kapanpun aku tidak mau mengabulkan keinginanmu, anak sialan!" umpatnya kesal.
••••••••••••••••••
Seperti hari biasa, rutinitas hari-hari di lakoni Niar dengan ceria. Bocah itu tak pandang kondisi hatinya, tetap berangkat ke sekolah meski berjalan kaki.
Pikirannya masih menuju pada Nesva yang beberapa menit lalu mendahuluinya dengan menaiki sepeda mini, kapan ia bisa memiliki sepeda seperti itu?
Meski setiap kali mata itu mengeluarkan airmata, tapi seolah sumbernya masih sangat melimpah hingga airmatanya tak pernah surut. Bagaimana ia tak menangis menjalani ketidak adilan ibu dan kakaknya. Ia menanggung malu dan hinaan dari teman-teman sekolah karna seragamnya yang lusuh, sedangkan Nesva—sang kakak, tidak pernah merasakan yang di rasa.
Ingin sekali ia berteriak untuk menyuarakan semuanya. Tapi apa daya, semua tak ada guna. Justru ia akan mendapat kemarahan bahkan pukulan dari Sumiati.
Beruntung di sekolah ada ibu guru yang selalu memantau, hingga Niar jarang diganggu oleh murid yang tidak menyukai bocah itu. Di sekolah pun tak ada teman yang mau menghampiri atau sekedar berbicara padanya, di tempat keramaian pun seolah seperti sendiri, itulah kehidupan Niar.
••••••••••••••••
Ada yang berbeda dengan kepulangan Niar kali ini, gadis kecil itu tidak berjalan kaki melainkan dibonceng sepeda motor oleh ibu wali kelas yang mengantarkan langsung ke kediaman Sumiati.
Airmata deras membanjiri kedua Niar.
"Assalamu'alaikum," Ibu Wali Kelas Niar mengucap salam.
Sumiati tergopoh-gopoh muncul dari arah dapur. "Wala'ikum salam," jawabnya.
"Silahkan masuk, Bu." Sumiati mempersilahkan tamunya masuk. Bisa dilihat dari penampilannya yang memakai seragam guru, perempuan itu pasti ibu guru di sekolah anaknya.
Setelah mereka duduk dengan santai, Ibu Wali Kelas mulai bicara. "Begini Bu, Niar tadi tidak sengaja melempar bola ke jendela kaca hingga pecah, saya ke sini untuk menyampaikan hal itu dan memberitahukan wali murid agar membayar uang kompensasi untuk kerusakan kaca yang disebabkan oleh putri ibu." Ibu wali Kelas menjelaskan dengan nada sopan.
Sumiati langsung melirik tajam ke arah putrinya, kemarahan langsung terpancar dari kilatan matanya.
Niar menundukkan kepala, gadis kecil itu tak ada keberanian membalas tatapan sang ibu yang sangat menakutkan. Gadis kecil itu tahu jika sang ibu akan murka setelah kepergian guru kelasnya. Ia hanya pasrah dengan keadaan.
Setelah berbincang untuk meminta keringanan dan ibu wali kelas telah berpamitan, Sumiati dengan cepat menghampiri Niar dan menjewer telinga Niar dengan kuat.
"Sakit, Bu." Tangisan Niar pecah saat tangan ibunya menyakiti daun telinganya.
"Dasar anak sialan! Apa yang kamu lakuin sampek mecahin kaca sekolah! Kamu tau kita miskin, tidak punya uang, karna ulahmu Ibu harus membayar uang ganti rugi. Dasar anak gak tau diuntung! Bisanya cuma nyusahin! Kalau bukan karna bapakmu, udah dari bayi kamu aku cekik!" Sumiati memarahi Niar dengan suara tinggi, menjewer dan menjambak rambut Niar yang tergerai panjang.
"Ibu sakit, Bu. Ampun ...." Niar meminta pengampunan dan belas kasih agar tangan Sumiati mau beralih pada rambutnya yang terasa panas karena dijambak begitu kuat. Ketika tangan itu beralih, tak bisa membuat Niar lega, gadis itu meringis lagi ketika tangan Sumiati mencubiti lengannya dengan kuat dan terasa sangat sakit.
"Maafin Niar, Bu. Niar gak sengaja, itu bukan salah Niar. Temen Niar yang salah," mohon Niar. Bocah kecil itu ingin menyampaikan kebenaran tapi Sumiati tidak mau mendengarkan dan menarik paksa tangan Niar untuk dibawa masuk ke dalam kamar Niar.
Mendorong tubuh Niar hingga jatuh di lantai yang keras.
"Kamu, Ibu hukum! Tidak boleh pergi ke mana pun! Gak ada makanan atau minuman! Ibu akan bukain pintu ini kalau bapak kamu sudah pulang!" ujar Sumiati dengan dingin dan melangkah keluar meninggalkan kamar Niar yang sempit dan engap.
Brak ...
Daun pintu dibanting dengan kuat lalu dikunci dari luar.
"Ibu ... tolong bukain pintunya, Bu. Bu ... Niar haus!" teriak Niar dengan berusaha menggedor pintu kamar. Tapi sama sekali tidak mendengar sahutan dari ibunya.
"Bu ... Niar laper, Bu." Suara Niar melemah, hingga gadis cilik itu berjongkok di belakang pintu. Isak tangis masih jelas terdengar, namun tenaga untuk berteriak sudah menipis, setengah hari menahan lapar dan haus tapi sampai di rumah ia dikurung tanpa setetes air dan makanan.
Niar masih menangis dengan menyandarkan kepala disisi kusen. "Kapan Niar tumbuh besar, ya, Allah? Niar ingin bekerja dan mencari uang yang banyak untuk Ibu. Jika Niar memberi uang banyak, mungkin ibu akan sayang Niar." Niar masih sangat dini, namun pikirannya dituntut lebih untuk dewasa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Sweet Girl
Ndak usah dikasih tu ibu Durjana...
2023-08-02
0
Sweet Girl
😭😭😭😭😭
2023-08-02
0
Sweet Girl
edan koe Bu...
2023-08-02
0