Merengkuh Derita
"Maaf Bu, Niar baru datang," jawab Niar dan segera duduk di samping pekerja lainnya, yang sedang sibuk memasukkan keripik singkong ke dalam plastik.
"Nggak pa-pa Niar. Kamu baru pulang sekolah, kan? duduk dulu nggak apa," balas Ibu Tini dengan pandangan lembut. Ibu Tini adalah ibunya Aris, pemilik rumah produksi keripik singkong.
Ibu Tini sangat tahu kehidupan yang di jalani gadis cilik bernama Niar.
Sering kali merasa iba dengan nasib malang yang di alami gadis cilik yang baru berumur 8tahun itu. Setiap kali melihat perlakukan Sumiati begitu kasar dan sering menghukum Niar tanpa belas kasih.
Itu juga alasan Tini mau mempekerjakan Niar walau Niar hanya bisa bekerja ala kadarnya.
Niar tidak mengikuti perintah ibu Tini, gadis kecil itu segera mengambil plastik dan mulai memasukan keripik singkong ke dalamnya, lalu memberikan pada mbak-mbak lainnya untuk di rapikan.
Pekerjaan itu telah dilakoni selama satu tahun terakhir, sejak ia masuk sekolah dasar.
Ibu Tini membiarkan Niar melakukan apapun sesuka hati, tidak memaksa melakukan pekerjaan berat.
Ibu Tini memiliki sikap lemah lembut. Dia memiliki dua orang anak namun putri bungsunya telah meninggal satu tahun lalu, karna terpapar virus.
Untuk itu ibu Tini bersikap baik pada Niar karna sering merindukan sosok putrinya. Kini hanya tinggal Aris yang menjadi putra semata wayang.
Jam tiga lewat lima belas menit, Niar berpamit pulang. Ibu Tini menarik tangan Niar dengan lembut dan membawanya masuk ke dalam rumah.
"Ibu ... Niar mau pamit pulang dulu," ulang Niar dengan ke bingungan, karna Ibu Tini justru membimbingnya masuk ke dalam rumah.
"Niar makan dulu ya, nanti baru pulang," tawar Tini.
"Gak usah Bu, nanti beras di rumah Ibu cepet habis kalau tiap hari Niar numpang makan di sini." Niar menolak dan menggelengkan kepalanya.
"Beras Ibu gak akan habis, kemarin Ibu panen banyak. Niar duduk dulu, biar Ibu ambilkan."
Niar menurut dan duduk dikursi meja makan. Ibu Tini mengambilkan nasi juga lauk pauk. Hampir Setiap hari menyuruh Niar makan di rumahnya. Ibu satu anak itu hapal dengan sikap Sumiati yang jarang memberi lauk pauk bergizi kepada Niar. Tini sangat kasihan melihat tubuh Niar yang kurus dan kurang terawat.
"Makasih banyak ya, Bu." Niar mengucap terima kasih saat Ibu Tini menaruh piring didepannya.
Mengambil sendok dan menata nasi untuk di makan.
"Bunda ... peci Aris di taruh di mana?" teriak Aris.
"Di atas lemari meja belajar, Nak."
Tak lama Aris keluar dari kamar. Ibu Tini beranjak menghampiri putranya. "Adzan ashar belum kedengeran, Aris udah mau berangkat?"
"Mau samperin si Hasan dulu, makanya berangkat lebih awal." Bocah lelaki itu sudah bersiap dengan tas di punggungnya.
"Niar, kamu berangkat ngaji, gak?" Aris beralih melihat ke arah Niar.
"Berangkat. Hari ini hapalan do'a masuk rumah, Kakak udah hapal belum?"
"Udah dong," jawab Aris. Bocah itu beralih lagi pada bundanya. "Aris berangkat ya, Bun. Assalamu'alaikum," pamit Aris dengan mencium punggung tangan ibunya.
"Hati-hati ya, Nak. Mudah-mudahan besar nanti jadi anak shaleh. Aamiin."
"Niar, aku duluan ya. Makannya di habisin biar cepet gede'."
"Iya Kak." Keduanya berbalas senyum. Kini Aris hilang dibalik pintu.
Ibu Tini mengantarkan Aris sampai ke depan, setelah itu kembali pada Niar. Gadis kecil itu fokus melihat pada rak buku. "Kenapa Niar?" tanyanya.
"Gak apa, Bu. Niar cuma baca buku hapalan doa-doa di rak itu," tunjuk Niar dengan jari kecilnya.
"Itu punya Aris, tapi jarang dibaca. Memangnya Niar gak punya buku seperti itu? Buku hapalan doa itu belinya di tempat guru ngaji."
Niar menggeleng lemah. Jangankan membeli buku hapalan do'a, setiap berangkat mengaji ia memilih bagian terakhir. Ia tidak mau mendengar ejekan dari teman-temannya. Datang ke mushola jika anak-anak sudah hampir pulang dan hanya menemui ustadzah untuk membaca iqra' juga setor hapalan doa-doa.
Ibu Tini mengambil buku dan memberikannya pada Niar. "Jangan di tolak, buku ini gak di baca sama Aris daripada mubazir, biar di pakek Niar aja," terang Tini.
"Makasih banyak ya, Bu. Boleh Niar peluk Ibu?"
"Boleh dong, Nak. Sini ... " Niar mendekap tubuh Ibu Tini dengan erat, seperti pelukan anak yang merindukan ibunya. Malangnya sampai hari ini ia tak pernah merasakan hangatnya pelukan dari ibunya sendiri. Entah hal apa yang membuat Sumiati tidak mau berdekatan dengannya.
"Ini untuk upah hari ini, jangan lupa yang satunya untuk–"
"Di tabung," sambung Niar.
"Makasih banyak ya, Bu. Coba kalau Niar punya ibu seperti Ibu Tini, pasti Niar seneng banget," ujar gadis kecil itu.
"Niar bisa anggap Ibu seperti ibu sendiri, jangan sungkan minta bantuan ibu, ya. Tapi jangan bilang sama ibu kamu, nanti dia ngomel."
Bocah kecil itu mengangguk. "Niar pulang ya, Bu. Assalamu'alaikum."
"Wala'ikum salam." Tini berdiri di depan pintu memandangi langkah Niar untuk kembali pulang ke rumahnya.
Hati Tini berdesir membayangkan ucapan Niar. Andai gadis cilik itu adalah putrinya, tentu saja ia sangat bahagia.
Begitu butanya hati Sumiati selalu berbuat kasar pada Niar–gadis kecil yang baik dan shalehah. Mungkin suatu hari nanti Sumiati akan terkubur dalam penyesalan.
"Ibu, Niar pulang." Niar pulang lewat pintu belakang. Sang ibu sedang mendadani putri kesayangannya yang akan berangkat mengaji. Sumiati diam saja tanpa menyahut suara Niar.
"Bu, iqra' Nesva udah jelek. Beliin yang baru, ya," rengek Nesva.
"Iya sayang, nanti kalau ayah mu pulang bawa uang, Ibu bakal beliin iqra' baru yang paling bagus. Ini jilbabnya belum bener, sini ... Ibu benerin lagi."
Niar berdiri di sisi pintu dan mengawasi interaksi keduanya, penuh perhatian dan kasih sayang.
Iri hati langsung menyeruak dan di rasakan oleh gadis kecil bernama Niar, hal seperti itu tidak pernah di dapatkannya dari Sumiati. 'Ibu, aku juga ingin di dandani sama Ibu. Aku ingin di peluk.' Keinginan seperti itu hanya mampu di pinta dalam hati.
Mulut Niar tidak akan mengucap kalimat permintaan, karna apapun yang di pinta sang ibu tidak akan pernah memberikan.
Ia masih bersyukur di beri keluarga utuh, daripada hidup di jalanan dan tidak punya orang tua. Ia takut membayangkan hal itu, sangat takut hidup sendirian di jalanan.
"Eh–eh ... ngapain kamu malah bengong disitu? sini ... mana duit nya kasih ke Ibu buat beli lauk."
Niar memberikan upah dari Tini pada Sumiati. "Ya elah ... cuma 8ribu doang, pelit banget si Tini cuma ngasih kamu segini!" cetusnya.
"Tadi Niar berangkat terlambat jadi Ibu Tini cuma bisa ngasih segitu," balas Niar dengan menunduk, menatapi ujung baju yang bolong dan jari tangan kecilnya bermain di sana.
"Huh ... itu juga salah mu pulang sekolah sukanya keluyuran! Sana cuci piring dulu, berangkat ngajinya terakhiran aja," perintah Sumiati.
"Itu ... kamu, bawa buku apa?"
"Buku hapalan doa-doa Bu, di kasih bekasnya Kak Aris."
"Oh ... seperti punya kakak kamu kemarin?"
"Iya. Ibu gak beliin aku buku hapalan doa-doa, jadi Niar ketinggalan buat hapalan. Kak Nesva juga gak boleh di pinjem bukunya," terang Niar.
"Eh, dengerin! Kamu gak hapal doa-doa juga gak apa, gak ada gunanya! Yang terpenting putriku lebih pintar dari kamu," cetus Sumiati tidak suka.
"Tapi Niar juga putri ibu?"
"Iya ... tapi kamu itu putri pembawa SIAL!"
Walau kata itu sudah puluhan kali terdengar tapi mata Niar selalu berkaca-kaca dan berhasil meloloskan airmata. Kedua mata Niar menyiratkan kepiluan dan luka mendalam. Kenapa Ibu selalu mengatakan aku anak pembawa sial?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Sweet Girl
yooo opo'o Tor..???
2023-08-02
0
auroria wati
percaya atau tdk ibu kandung macam begini didunia nyata ternyata banyak bahkan ditiktok bnyk yg coment diperas hny dimintai uangnya ketika gajian,kl dipikir kyk ga masuk akal tp ini benar2 real.
2023-04-09
0
Yayoek Rahayu
astaghfirullah... ibunya kok gitu
2022-04-06
0