“Gibran, kamu ada tugas di rumah sakit sampai jam berapa?” tanya Rika sembari menatap anaknya lekat.
Gibran yang awalnya hanya asyik dengan makanan di depannya segera mendongak dan menatap mamanya. Wajahnya masih berpikir dan mencoba mengingat jadwal penuhnya hari ini. “Mungkin jam tiga, Ma. Ada apa?” tanya Gibran dengan wajah penasaran. Tidak seperti biasa mamanya menanyakan mengenai jadwalnya hari ini.
“Bisa kamu menjemput Saila? Aku rasa dia harus kembali ke rumah sesekali. Mama juga merindukannya,” ucap Rika dengan tatapan memelas. Berharap anak keras kepalanya akan sedikit menurut dan mengikuti keinginnanya.
Gibran menarik napas dalam dan mengembudkannya perlahan. Matanya kembali menatap wajah sendu sang mama yang selalu mampu meluluhkan hatinya. Jujur, dia benar-benar malas jika harus ke kampus Saila. Dia malas bertemu dengan Sefvirda, sahabat adiknya yang benar-benar menyebalkan.
“Ayolah, Nak. Mama hanya menyuruhmu menjemput Saila dan itu bukanlah hal yang sulit, bukan?” ujar Rika masih kekeh dengan keinginanya.
“Ma, Gibran bukann....”
“Jemput dia, Gibran,” potong Randy tegas. “Mama kamu hanya menyuruhmu menjemput Saila dan bukan merobohkan kampusnya. Kenapa kamu sulit sekali? Bahkan, selama ini dia seperti tidak mengenalmu sebagai kakaknya,” imbuhnya dengan tatapan serius.
Gibran yang mendengar menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. “Baiklah. Aku akan menjemputnya nanti,” jawab Gibran dengan suara malas.
Rika yang mendengar langsung tersenyum senang dan menatap anaknya gemas. Hal yang membuat Randy merasa lega seketika. Pandangannya masih tertuju ke arah Gibran yang masih terlihat setengah hati membantu mamanya. Namun, Randy memilih cuek dan enggan ikut campur. Dia yakin, Gibran memiliki masalahnya sendiri dan Gibran sudah cukup dewasa dalam mengatasinya.
_____
“Kamu gagal membuatnya datang ke rumah kita, Mischa?” tanya Roby membuka pecakapan pagi di meja makan.
Mischa yang baru akan memasukan makanannya terpaska berhenti dan menatap papanya lekat. “Aku sudah berusaha menemuinya, Pa. Tetapi, dia tidak di kantor. Aku menghubunginya dan dia mematikannya,” jawab Mischa dengan wajah tertunduk.
Roby menarik napas dalam dan mengembuskannya prrlahan. Matanya menatap ke arah Mischa dengan tatapan datar. Rahangnya bahkan sudah berbah mengeras, membuat Mischa hanya diam dan merasakan kemarah papanya.
“Kamu mulai berlasan, Mischa?” ucap Roby debgan pandangan tidak suka.
“Mischa sudah berusaha, Pa,” cicit Mischa dengan nyali setipis tius.
Diam. Ruang makan di kediaman Mahesa langsung diam. Menyisakan deru napas dan kepanikan di wajah Misha yang sudah sangat hapal dengan tingkah papanya. Sampai terdengar suara pecahan kaca ketika papanya mulai melempar gelas di dekatnya. Mischa hanya menunduk takut karena ulah sang papa.
“Kamu bilang itu usaha?” desis Roby dengan tatapan tidak suka “Kamu bilang yang seperti itu usaha, Mischa?” teriak Roby dengan mata membelalak, menatap anaknya tanpa berkedip sama sekali.
“Siapa yang menyuruhmu berhenti ketika kamu belum mendapatkannya, hah? Kamu tahu, Mischa. Perusahaan papa sudah diabang kebangkrutan dan kalau tidak segera mendapatkan suntikan dana dari eprusahaannya, perusahaan kita bisa bangkrut,” tegas Roby dengan emosk memuncak.
Mischa hanya diam dengan mulut terkatup rapat. Dia tahu apa yang sedang menimpa keluarganya saat ini. Namun, mengharapkan suntikan dana dari pria yang bahkan sulit ditaklukan, itu adalah hal yang tidak dapat dlakukan. Mikail bahkan tidak pernah memikirkan siapa pun dalam hidupnya. Termasuk dia yang sudah empat tahun bersama.
“Papa tidak mau tahu, Mischa. Minggu ini, kalian harus bertunangan. Papa akan mengatakan kepada tuan Adelardo agar mendukung keras rencana kali ini. Papa tidak mau kalau sampai dia jatuh ke tangan wanita lain,” ucap Roby dengan wajah serius.
“Kamu cukup dekati Mikail dan mama yang akan mendekati orang tuanya,” sahut Mey yang sejak tadi diam dan mengamati tingkah suami dan anaknya.
“Baik. Mischa akan lakukan,” jawab Mischa patuh.
“Dan ingat, jangan pernah gunakan hati dalam hal ini, Mischa. Kamu akan meninggalkannya ketika kita suda mendapat seluruh asetnya,” peringat Roby dengan suara tegas, dia segera bangkit dan melangkah ke arah kamar. Meninggalkan istri dan anaknya di ruang makan.
Mey yang melihat suaminya sudah menghilang segera bangkit dan menatap Mischa lekat. “Jangan buat mama dan papa kecewa, Mischa. Kami percaya dengan semua kemampuanmu,” ucap Mey dengan pandangan datar.
Mischa yang sudah sendiri hanya diam dan mengulum senyum tipis, menyaksikan satu per satu anggota keluarganya sudah menghilang. Tangannya bahan sduah memegang erat sendok dalam genggamanya. “Aku bakan sduah mencintainya, Pa. Aku sangat mencintainya,” gumam Mischa.
_____
“Mau sampai kapan kamu tidur, Saila? Saat ini sudah siang dan kapan kamu mau bangun?” ucap Mikail dengan wajah menatap Saila lekat.
Saila yang merasakan gerakan lain di kulitnya hanya menggeliat, mencoba menyingkirkan tangan yang sejak tadi menepuk pipi tembemnya. Perlahan, Saila mulai membuka mata dan menatap Mikail yang sudah berada di depannya. Menatap waah sempurna yang sudah bena-benar menaklukan hatinya.
“Sudah mengaguminya?” tanya Mikail yang sadar dengan tatapan Saila.
Saila langsung memalingkan wajah, malu dengan teguran kakaknya. Namun, belum juga pandangannya menatap ke arah lain, Saila kembali dikejutkan dengan tangan Mikail yang membawa menatap ke arahnya.
“Jangan mencoba berpaling, Saila,” peringat Mikail dengan wajah serius.
Saila yang mendengar hanya diam, menelan salivanya dengan pelan. Matanya masih menatap lekat pria yang bahkan tidak menunjukan ekspresi apa pun kepadanya. Namun, Saila tersentak ketika Mikail mulai mendekatkan bibir dan langsung menyatukannya. Dia dapat merasakan daging lembut yang sudah mulai memasuki mulutnya.
Mikail mulai mengabsen satu per satu ruang di dalam mulut Saila. Bermain dengan lidah dan sesekali menyesap pelan bibir yang selalu menggoda. Sampai akhirnya, Mikail memutsukan untuk melepaskan ciumannya dan menatap Saila lekat.
Saila mulai mengatur napas ketika Mikail menyatukan keningnya. Menatap dengan jarak yang terlalu dekat. Bahkan, membayangkannya saja Saila benar-benar tidak pernah.
“Bibirmu manis, sayang,” celetuk Mikail membuat Saila merona.
Saila memilih diam dan meraih tubuh Mikail, mendekap erat tubuh kekar pria yang sudah sah menjadi kekasihnya. Kekasih? Rasanya Saila ingin terus tersenyum ketika mengingat kejadian semalam, antara dirinya dan juga Mikail.
“Saila, kamu tidak ke kampus?” tanya Mikail ketika Saila tidak juga melepaskan dekapannya.
“Astaga,” pekik Saila yang langsung melepaskan pelukannya. Dia segera turun dari ranjang, membuat Mikail yang ada di dekatnya menatap bingung. Namun, belum sepenuhnya dia masuk ke dalam kamar mandi, dering ponsel terdengar, membuat Saila menghenitkan niatnya.
Saila menatap layar ponsel dan mengerutkan kening heran. Kak Gibran? Namun, secepat kilat dia kembali mengangkat panggilan tersebut.
“Halo, Kak,” sapa Saila yang langsung diam. Mendengarkan intrupsi dari seberang.
Mikial yang merasa penasaran memilih bangkit dan mendekati Saila. Sampai panggilan terputus dan menampilkan wajah kesal Saila.
“Ada apa?” tanya Mikail semabari menarik Saila dalam dekapannya.
“Kak Gibran akan menjemput dan membawaku pulang ke rumah, Kak,” jawab Saila dengan tatapan lekat.
“Pulanglah,” sahut Mikail santai, membuat Saila menatap dengan pandangan bingung.
Kakak tidak mau mencegahku?, batin Saila mulai berbisik.
“Aku akan datang ke rumahmu untuk menjenguk,” imbuh Mikal sembari mencium pipi Saila, membuat gadis tersebut merona dan mengangguk
“Aku akan pulang.”
_____
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
maura shi
saila yg dpt morning kiss,kok q yg seneng ya
gini nih kalo da bucin si mikail,bahkn mischa pun d cuekin hhhhhh
2021-02-08
0
maura shi
q pikir saat mischa nolong mikail adl konspirasi dr ortunya
2021-02-08
0
❣️y@ni❣️
cie....cieeeee yg LG kasmaran 🥰🥰🥰🥰🥰🥰
2020-08-02
1