Gibran melangkah dengan senyum tipis ke arah perawat yang melemparkan sebuah senyuman untuknya. Sama seperti Mikail, dia memiliki bidangnya sendiri. Sudah hampir dua tahun dia berkuat dengan bidang kedokteran dan sudah berhasil menjadi seorang spesialis dokter penyakit dalam. Hal yang sangat dibanggakannya. Gibran memilih fokus dengan rumah sakit yang dibangun papanya dan memilih jauh dari masalah perusahaan. Dia enggan bermasalah dengan saham dan sebagainya.
“Selamat pagi dokter Gibran. Apa kabar?” tanya salah satu pasien yang saat itu tengah melangkah untuk meninggalkan rumah sakit.
“Selamat pagi juga. Bagaimana kondisinya?” tanya Gibran dengan suara lembut. Ya, dia tekenal sebagi dokter favorit untuk semua penguhuni rumah sakit. Selain tampan, Gibran juga jauh lebih meiliki hati dan juga ramah.
“Baik, dok.”
Gibran tersenyum kecil dan mengelus pelan puncak kepala gadis tersebut. “Jaga kesehatan, ya? Jangan lupa minum obatnya dan jangan telat makan. Supaya gak tidur di sini lagi,” ucap Gibran penuh kasih sayang.
Gadis kecil di depannya hanya mengangguk. Setelah berpamitan, Gibran kembali melanjutkan langkah menuju ke ruangannya. Dia ingin beristirahat meski hanya sejenak. Dia sudah datang ke rumah sakit sejak pukul tiga dini hari karena ada masalah di rumah sakitnya. Namun, belum juga dia sampai di ruangan, langkahnya terhenti, menatap gadis dengan pakaian sederhana berada di depannya dengan senyum sumringah.
“Siapa dia? Aku sering melihatnya datang ke sini,” gumam Gibran penuh tanda tanya.
“Dia itu nona Bia, dokter,” ucap serorang perawat yang kebetulan lewat, membuat Gibran menatap dengan tatapan terkejut.
“ Empat tahun yang lalu dia menjalani operasi di sini, dokter. Dia merupakan gadis dari kalangan sedehana. Setelah sembuh, dia selalu datang ke rumah sakit ini. Tujuannya hanya satu, dia akan langsung masuk ke ruangan di mana tempat para penderita skoliosis berada,” lanjut perawat tersebut dengan pandangan menatap Bia lekat.
“Kenapa dia selalu ke sana?” tanya Gibran semakin penasaran.
“Karena dia juga merupakan pasien skoliosis. Nona Bia sudah menjalani operasi dan pemasangan titanium di bagian belakang dan setelah sembuh, nona Bia sering datang dan memberikan semangat untuk mereka yang mengalami nasib yang sama,” jelas perawat tersebut membuat Gibran hanya diam.
“Eh, maaf, dok. Malah ikut campur. Kalau begitu saja permisi keluar,” ucap perawat tersebut ketika sudah sadar dan langsung berlalu meninggalkan Gibran yang hanya diam.
“Jadi namanya Bia?” gumam Gibran dengan senyum tipis. Dia baru akan melangkah mendekati Bia yang tidak jauh darinya. Namun, dering ponsel menghentikan langkahnya. Dengan nada kesal, Gibran mengambil ponsel dan menatap nama yang tertera.
“Mikail,” gumam Gibran dan memilih mengangkat panggilan tersebut.
“Halo, Mikail,” sapa Gibran yang kemudian diam, mendengarkan suara di seberang mulai berceloteh.
“Iya. Jangan kamu buat adikku takut. Sampai dia kenapa-kenapa, aku akan menghabisimu,” jawab Gibran segera mematikan panggilan. Matanya menatap ke depan, tepat di tempat Bia berdiri barusan.
“Ke mana, dia?” tanya Gibran yang segera melangkah menuju ke ruangan yang sempat dimasuki Bia. Berharap gadis tersebut ada di sana. Namun, hasilnya nihil. Bia sudah tidak ada di ruangan tersebut.
“Yah, sudah pergi,” ucap Gibran dengan tawa kecil. Matanya menatap ke ruangan, tempat di mana banyak sekali anak kecil dan melamparkan senyum tipis.
Semoga dia datang lagi, batin Gibran yang memilih melangkah kembali menuju ke ruangannya
_____
“Jadi, bisa jelaskan kenapa kamu tidak pernah mau bertemu denganku selama dia tahun ini? Apa aku membuat salah denganmu, Saila?” tanya Mikail dengan suara tegas.
Saila yang sejak tadi diam hanya menundukan kepala, tidak berai menatap Mikail yang menurutnya menakutkan. Sejak semalam dia sudah tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya masih berkutat dengan penjelasan yang akan diberikan kepada Mikail.
“Apa sekarang kamu juga mulai tidak bisa bicara, Saila?" tegas Mikail yang mulai kehilangan kesabaran.
Saila yang mendengar berdecak kesal dan mulai mendongak, menatap Mikail yang masih menatapnya lekat. “Memangnya kenapa kalau aku tidak menemuimu, Kak. Bukannya tidak ada masalah sama sekali aku menemui atau tidak,” celetuk Saila dengan tatapan kesal.
“Apa begitu menurutmu?” tanya Mikail dengan sebelah alis dinaikan.
Saila yang mendengar menghela napas perlahan dan menatap Mikail tanpa minat. “Apa kalau aku mengatakannya, Kakak akan melepaskanku? Aku ingin kembali ke asrama,” cicit Saila dengan mata menatap lekat.
“Memangya kenapa kalau kamu di sini?” Mikail mengabaikan tatapan memohon Saila yang terlihat meneduhkan. Hatinya masih terasa mengeras karena ulah Saila yang menguji kesabarannya.
“Aku hanya membutuhkan penjelasanmu, Saila. Apa susahnya?” tanya Mikail dengan nada meninggi. Rasanya dia sendiri sudah tidak sabar menghadapi keterdiaman Saila yang mulai terasa menyebalkan.
“Karena aku tidak mau bertemu denganmu, Kak. Aku tidak mau bertemu denganmu dan harusnya kamu sadar dengan itu,” teriak Saila merasa bingung harus beralasan apa. Dia masih ingat jelas dengan apa yang dialaminya dua tahun yang lalu. Tepat saat dia masih menjalin hubungan baik dengan Mikail.
“Aku hanya ingin hidup sendiri. Aku sudah cukup dewasa untuk menjaga diri. Aku minta Kak Mikail juga mulai fokus dengan kehidupan Kakak. Jangan selalu memikirkanku dan jangan pedulikan aku,” lanjut Saila dengan mata menatap serius, berusaha menenangkan hatinya sendiri.
Karena jika kita selalu dekat, akan ada hati yang sakit nantinya, batin Saila tidak berani mengatakanya.
“Jadi itu menurutmu?” tanya Mikail dengan suara tegas. Matanya menatap Saila dengan pandangan datar. “Jadi kamu sudah cukup dewasa dan tidak membutuhkan pembelaan dariku lagi?”
Saila memejamkan mata, menahan air mata yang udah menggenang di pelupuk mata. “Iya,” jawab Saila lirih.
Mikail hanya tertawa kecil dan menatap Saila. “Baiklah jika itu maumu, Saila. Mulai sekarang aku akan membiarkanmu hidup sendiri. Aku tidak akan mencampuri urusanmu apa pun itu. Sekarang aku membiarkanmu pergi. Silahkan pergi,” ucap Mikail dengan nada suara datar.
“Kak,” lirih Saila dengan mata menatap lekat. Dia merasa aneh dengan tatapan Mikail yang tidak memiliki kehangan sama sekali.
Tidak ada jawaban dari arah Mikail. Saila hanya tersenyum kecil dan mulai bangkit. Matanya menatap Mikal yang tidak berkomentar apa pun.
“Aku pergi, Kak,” ucap Saila sembari melangkah ke arah pintu rumah sederhana milik Mikail. Sesekali menatap ke arah kakak sepupunya yang tidak mencegah sama sekali.
Maafkan aku, Kak. Aku hanya tidak mau hubunganmu dengan kak Mischa hancur karena aku. Aku tidak memiliki alasan lain agar kamu tidak terus-menerus mendatangiku. Aku tidak mau jika nantinya aku melihat wajah penuh kekecewaan Kak Mischa seperti dua tahun yang lalu, batin Saila sembari meremas pakaiannnya erat. Merasakan sakit yang terasa kembali menjalar sampai akhirnya, dia keluar dengan tubuh lemah.
“Saila,” panggil Sefvirda yang saat itu memang sengaja lewat. Dia berniat melihat keadaan sahabatnya.
Saila mendongak, menatap sahabatnya dengan air mata mengalir. “Sef, kak Mikail marah,” gumam Saila dengan tangis tergugu.
Sefvirda hanya melangkah dan mendekap Saila erat. Merasakan sakit hati yang dirasakan sahabatnya. Seharusnya kamu mengatakan semuanya kepada kak Mikail, Saila, batin Sefvirda.
_____
Ada yang penasaran dengan dua tahun lalu? Ikuti terus kisahnya sayangkuh 😉😉
Selamat membaca sayangkuh. Jangan lupa tinggalkan like, comment dan tambah ke favorit kalian. 😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
maura shi
wajar sih mischa cemburu,mikail kn pacarnya,yg harus bertindak nih mikail sebenarnya hatinya tuh g bisa d tebak
2021-02-07
0
☠⏤͟͟͞R⚜🍾⃝ ὶʀαͩyᷞαͧyᷠυᷧͣ🏘⃝Aⁿᵘ
penasaran ada dengan 2th lalu thor...
2020-07-15
1
Ana Permata Sarlia Eryanan
next,, bkin panasaran sja thor
2020-03-27
1