Jika saja bisa pergi, dia akan pergi. Jika saja dia bisa menghilang, dia akan menghilang. Itulah yang akan dilakukan Saila jika saja dia tahu Mukail akan datang untuk menemuinya. Dia bahkan tidak pernah berpikir jika Mikail memiliki pikiran untuk datang dan mengajaknya pergi. Sebenarnya bisa saja Saila menolak, tetapi dia akan melihat kemarahan Mikail dan bisa saja ancamannya untuk meratakan cafe tempatnya bekerja akan dilakukan.
Saila menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Matanya menatap ke arah Mikail lekat. Mengamati wajah dengan rahang mengeras dan jemari yang sudah mencengkram setir mobil erat. Ya, Mikail menyuruh Roy pulang menggunakan taksi dan dia memilih mengendarai mobilnya seorang diri.
“Kak,” panggil Saila mulai memecah keheningan. Sejak memasuki mobil Mikail, ini adalah pertama kalinya dia membuka mulut.
“Diam,” desis Mikail tanpa mengalihkan pandangan.
Saila yang mendengar hanya mampu menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Dia merasa sifat Mikail masih saja sama. Terlalu mendominasi.
“Kak,” panggil Saila memberanikan diri dan menatap Mikail dengan wajah memelas.
“Diam, Saila. Aku tidak mengizinkanmu untuk berbicara sepatah kata pun,” jawab Mikail dengan wajah menahan amarah. Dia masih merasa terluka karena Saila sudah membohonginya. Tugas kuliah? Rasaya Mikail ingin menertawakan dirinya sendiri karena pernah percaya dengan apa yang dikatakan gadis di dekatnya.
Saila akhirnya memilih diam. Dia tidak mau jika nantinya Mikail malah mengamuk dan kehilangan kendali. Dia masih ingat kejadian beberapa tahun lalu, tepat sebelum Mikail dipindahkan karena selalu membuat masalah di sekolah. Mengingat hal tersebut dikarenakan dirinya yang terlalu lemah, Saila hanya mampu tersenyum tipis dan merasa bersalah.
“Turun,” peritah Mikail ketia sudah menghentikan mobilnya, membuat lamunan Saila buyar seketika.
Saila menatap rumah sederhana dengan dua lantai di depannya. Matanya mengamati bangunan di dengannya dengan wajah bingung. Rumah siapa ini?, batin Saila sampai tidak menyadari bahwa pria di dekatnya sudah tidak lagi di balik kemudi.
Saila masih asyik dengan lamunan ketika pintu di sebelahnya terbuka, menghadirkan Mikail dengan tampang datar.
“Aku bilang turun, Saila,” ujar Mikai dengan tidak sabar. Tangannya bahkan sudah menarik paksa Saila yang saat itu masih asyik di dalam mobil.
“Aduh, sakit, Kak,” rintih Saila ketika Mikail menariknya paksa. Namun, dia merasa lega ketika pada akhirnya, Mikail mengendurkan cengkramannya dan melangkah lebih santai, menaiki tangga klasik menuju sebuah kamar tuggal di lantai dua.
Dengan cepat, Mikail membuka pintu dan membawa Saila masuk. Saila hanya diam dan menatap tatanan yang terlalu elegan ada di depannya. Matanya mulai tersihir dengan ruangan yang didesain oleh pria di hadapannya, bahkan ketika Mikail mendudukannya dan mulai menjauh.
“Lenganmu merah. Apa sakit?” tanya Mikail dengan tataan lekat.
Saila menaap ke arah mikal dan mengelus pelan bekas cengkraman Mikal. “Sedikit.”
“Maaf karena aku malah melukaimu. Aku hanya merasa kesal karena kamu yang menipuku,” jawab Mikail dengan tatapan yang kembali normal.
“Aku tidak membohongimu, Kak. Aku memang memiliki tug....”
“Bekerja di dua tampat tanpa diketahui oleh aunty dan juga uncle. Apa itu yang kamu anggap tugas?” potong Mikal dengan nada tegas.
Saila yang mendengar hanya mampu menunduk dengan rasa bersalah. Dia memang menyembunyikan semua dari orang tuanya. Dia yakin, keluarganya akan menolak mentah-mentah apa yang ingin dilakukannya.
“Apa uang dari mereka kurang untuk membiayai kehidupanmu, Saila?” tanya Mikal dengan pandangan lekat.
“Bukan begitu, Kak. Aku hanya....”
“Mau mandiri,” potong Mikail untuk kesekian kalinya, membuat Saila diam dengan wajah tertunduk. Mikail yang melihat Saila kembali terdiam hanya memperhatikan lekat. Sampai sebuah dering panggilan masuk mulai terdengar. Dengan malas Mikail merogoh sakunya dan mengambil benda pipih dengan layar bertuliskan ‘Mischa’.
Saila hanya diam ketika Mikail akhirnya pergi keluar ruangan dan mengangkat panggilan dari kekasihnya. Saat itu pula Saila menghela napas lega dan segera mengambil ponselnya. Mengetikan suatu pesan dan mengirimnya ke Sefvirda. Matanya menatap ke arah pintu ruangan dengan wajah penuh harap.
“Aku harap Sefvirda akan segera datang,” gumam Saila dengan wajah menunggu cemas.
_____
“Aku sedang tidak dikantor, Mischa,” jawab Mikail dengan rahang pandangan datar. Dia memilih keluar dari kamar dan turun, menyendiri ketika mengangkat panggilan dari kekasihnya. Dia tidak mau jika nantinya Saila mendengar percakapannya.
“Ya kamu di mana, sayang? Aku sudah ke rumahmu dan kata mama kamu, kamu kerja. Tetapi, saat aku ke kantor, kamu juga tidak ada. Jadi, kamu itu sekarang di mana?” tanya Mischa dengan suara manja.
Mikail berdecak tidak suka karena ulah Mischa yang terlalu mencampuri hidupnya. Bahkan, setiap menit Mischa bisa saja menghubungi lebih dari sepuluh kali dan dia benar-benar muak. Bagaimana pun Mikail tetaplah Mikail. Dia menginginkan waktu sendiri dan nyatanya, Mischa seperti tidak menghiraukannya sama sekali.
Mikal baru membuka mulut dan bersiap menjawab pertanyaan Mischa, tetapi terhenti ketika matanya menatap ke arah gadis yang tengah mengendap di ruang tamu rumahnya dan siap pergi. “Saila,” geram Mikal sembari meremas ponselnya erat. Mikal segera mematikan panggilan, mengabaikan ucapan Mischa yang masih bertanya di seberang.
Mikail segera melangkah dan berhenti tepat di belakang Saila, menatap Sefvirda yang sudah menegang karena tatapannya.
“Mau ke mna, Saila?” desis Mikail membuat Saila menghentikan langkah. Saila menatap ke asal suara dan membelalak ketika menatap wajah datar Mikal yang mengarah tepat di depannya.
“Bukankah aku tidaj mengizinkanmu untuk keluar dari rumah ini?” desis Mikail dengan wajah yang kembali terlihat menyeramkan, membuat Sefvirda hanya mampu pasrah dan menelan salivanya susah payah.
Saila yang mendengar menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Matanya menatap ke arah Mikail, mencoba memberanikab diri memprotes perbuatan kakaknya.
“Kak, Saila tidak bisa di sini terus-menerus,” ujar Saila dengan keberanian yang kian menipis.
“Kenapa?” tanya Mikail dengan suara menyebalkan.
“Ka...ka...karena Saila ada banyak tugas yang harus diselesaikan,” jawab Saila dengan kegugupan yang melanda. Sedangkan Sefvirda yang ada di belakagnya hanya dia dengan tagan memegang ujung pakiaan Saila erat. Dia benar-benar takut dengan pria yang ada di depannya.
“Tugas?” ulang Mikail dengan pandangan lekat, “kalau begitu kamu selesaikan tugasmu di rumah dan kirim melalui email. Aku tidak mengizinkanmu pergi karena masih banyak hal yang harus kamu jelaskan kali ini, Saila.”
“Tidak bisa,” sahut Saila cepat. “Saila harus bekerja, Kak,” cicit Saila dengan keberanian yang mulai menguap.
Mikail yang mendengar mengeraskan rahang dan menatap Saila dengan tatapan tanpa keramahan. “Pekerjaan lagi? Bahkan aku akan meratakan tempat itu jika kamu masih datang ke sana, Saila. Aku akan benar-benar meratakan bangunan itu dan membuatnya mejadi debu!” bentak Mikail dengan mata membelalak tegas.
“Coba saja dan aku akan segera melakukanya,” desis Mikail yang langsung berlalu pergi, meninggalkan Saila yang sudah menatap dengan pandangan lemah.
Pada akhirnya aku memang harus menurutimu, Kak, batin Saila merasa tidak ada yang bisa dilakukan.
_____
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
☠⏤͟͟͞R⚜🍾⃝ ὶʀαͩyᷞαͧyᷠυᷧͣ🏘⃝Aⁿᵘ
hhmm.. Mikail ada rasa kah sama saila???
2020-07-15
1
Eni Supriyono
gue suka gaya lo mikail....
2020-05-23
1
Mayang
sadiiiiissss loe melebihi papahnya huahahahah tp ngemeng" gw jd inget Rai & Ken c Mavia
2020-04-21
0