Di kantor Fino
Seperti biasa Restu sudah berada di ruangan Fino sebelum Fino datang. Padahal mereka satu rumah tapi mereka tidak pernah datang bersama, Restu selalu berangkat lebih pagi, bahkan terkadang ia tidak sarapan di rumah. Sekarang ia sedang bergulat dengan berkas laporan dari para karyawan yang nantinya akan ditandatangani oleh Fino.
Tak lama kemudian Fino masuk ke ruangan tanpa permisi. Ia membanting tubuhnya ke sofa, lalu mulai memaki Restu.
"Sialan kau Restu ! ini semua ulahmu, gara-gara kau menyetujui mencari pendamping hidup untukku, sekarang jadi aku yang menderita." makian Fino membuat Restu bergidik, sedikit takut, bagaimana kalau Fino melakukan sesuatu di luar batas. Ia mulai mempersiapkan diri jika itu benar terjadi.
Menatap Fino perlahan. "Apa maksudmu ? Menderita seperti apa yang kau maksud ?" Restu benar-benar tidak mengerti maksud dari perkataan Fino.
"Bagaimana bisa setelah menikah nanti aku harus tinggal di rumah wanita itu !!" Teriak Fino, prakkk.. dihempaskannya vas bunga di atas meja hingga jatuh, pecah berkeping-keping di lantai.
Restu terperanjat kaget, ia berdiri, mencoba menghindar dari pecahan kaca yang terlempar. Apa ? Jadi nyonya Ambar benar-benar menerima persyaratan itu ? Aku tidak menyangka ini akan terjadi. Apa yang harus aku katakan pada Fino, matilah aku !
"Maaf Fin, aku tidak menyangka ini akan terjadi. Ku kira nyonya Ambar hanya mengiyakan di depan pak Herman saja, tapi ternyata beliau benar-benar menerimanya." ucap Restu terbata-bata. Fino menatapnya dengan sorot mata yang tajam. Matilah aku, sorot matanya malah lebih tajam dari sebelumnya.
"Aku ingin tahu alasan pak Herman memberi persyaratan itu."
Seperti sudah mengerti dengan kalimat yang dilontarkan Fino, Restu mengangguk. "Baik, aku akan mencari tahu semuanya."
Restu bernafas lega, ia kira Fino akan menghajarnya. Ia sudah berancang-ancang akan kabur atau melawan jika itu benar terjadi. Hem. Tugas baru, bagaimana aku mencari tahu alasan itu, aku tidak mungkin bertanya langsung pada pak Herman, ia pasti tidak akan memberitahunya. Aku harus mulai membuntuti kemana pun ia pergi.
***
Nisa sudah bersiap-siap untuk kembali ke Bandung. Ia sudah mengemasi barang-barangnya dari semalam. Sedangkan Malik, dari pagi sebelum matahari terbitpun ia sudah berangkat ke bandara. Ia mendapat penerbangan pagi hari jadi ia tidak mau kalau sampai terlambat. Ayah dan adiknya tidak diizinkan mengantarnya, karena ia tidak membawa banyak barang seperti saat pertama kali di mutasi ke Bali. Lagian ia hanya beberapa hari di sana, ia sudah janji, 3 hari sebelum pernikahan Alisya, ia akan kembali ke Jakarta.
Semua koper sudah dimasukkan ke dalam mobil. Nisa dan Bang Dul berpamitan pada Alisya dan ayahnya. Mereka mencium punggung tangan ayah bergantian sebelum memasuki mobil.
"Jaga ayah baik-baik." bisik Nisa pada Alisya. "Perhatikan makannya." melanjutkan ucapannya. Alisya mengangguk. Kemudian ia mencium punggung tangan Nisa dan menciumi pipi Delisa hingga membuat Delisa tidak nyaman. "Cukup Sya !" bentak Nisa. Alisya hanya tertawa melihat Delisa yang sekarang cemberut dan wajah ibunya yang tampak kesal karena anaknya dijahili.
Setelah kepergian Nisa, ayahnya pamit untuk pergi ke toko. Alisya sempat melarangnya, karena ayahnya terlihat sedikit pucat. Namun ayahnya menyangkal, beliau bilang kalau beliau baik-baik saja. Alisya tidak bisa memaksa ayahnya, ayahnya bersikukuh ingin pergi ke toko, ia mengalah dan membiarkan ayahnya pergi. Tapi ia tidak mengizinkan ayahnya pergi mengendarai motor sendiri, ia segera memesan ojek online untuk ayahnya.
Tak lama ojek yang menjemput ayahnya tiba, setelah itu ayahnya pergi menuju toko. Kemudian ia masuk ke rumah untuk beres-beres dan memasak untuk makan sore nanti.
***
Setelah sampai, pak Herman berjalan memasuki tokonya yang sudah dibuka oleh Adun. Adun adalah orang yang membantu pak Herman di toko, ia yang bertugas untuk membuka toko sebelum pak Herman datang. Ia bekerja di sini sejak toko baru beberapa hari dibuka. Ia membantu pak Herman belanja keperluan toko dan membantu para pembeli untuk mengangkut belanjaan mereka.
Pak Herman sedikit sempoyongan saat berjalan membuat Adun yang tengah merapikan dagangan menghampiri bos nya.
"Bapa tidak apa-apa? Kalau sakit kenapa datang ke sini pak ? Kan ada saya yang menjaga toko." tanya Adun sopan pada bos nya.
Memijit kepalanya pelan. "Saya tidak apa-apa Dun, hanya pusing sedikit, tolong bawa saya masuk. Saya mau istirahat di dalam saja." jawab pak Herman sembari berjalan dituntun oleh Adun.
"Bapa istirahat di sini saja ya, biar saya buatkan teh hangat untuk bapa." ucap Adun lalu berdiri. Pak Herman mengangguk.
"Sepertinya hari ini toko sepi ya Dun ?"
"Tidak begitu sepi pak, tadi saja sudah ada yang membeli 5 karung beras." balas Adun, memberikan segelas teh hangat.
"Terimakasih ya Dun." Adun mengangguk tersenyum.
Setelah itu Adun bangkit dari duduknya karena mendengar suara pembeli di depan.
Hari sudah mulai sore, pak Herman dan Adun merapihkan dagangan karena mereka akan menutup toko. Pak Herman hendak pulang ke rumahnya, Adun menawarkan diri untuk mengantar namun pak Herman menolak, ia memilih naik ojek yang ada di pengkolan dekat tokonya. Ia berjalan perlahan karena kepalanya masih terasa pusing dan sekarang perutnya mulai terasa nyeri. Baru berjalan beberapa langkah dari toko, pa Herman sempoyongan lalu jatuh terkapar di pinggir jalan. Adun yang melihatnya langsung menghampiri dan meminta pertolongan. Restu yang memang sedang membuntuti pak Herman sejak tadi siang, Kemudian menghampiri Adun, lalu menyuruh dan membantu Adun untuk membopong pak Herman ke dalam mobilnya.
***
Sesampainya di rumah sakit, pak Herman langsung dilarikan ke IGD. Restu dan Adun menunggu dengan cemas di ruang tunggu. Mereka tak saling bertanya, karena Adun pikir pria di sebelahnya hanya kebetulan lewat toko dan melihat pak Herman pingsan, makanya ia langsung membantunya.
Tak lama dokter yang memeriksa pak Herman keluar dari IGD, kemudian Adun bangkit dari duduknya menghampiri dokter, menanyakan keadaan bos nya. Setelah itu Adun dibolehkan masuk untuk melihat keadaan pak Herman di dalam, meninggalkan Restu yang masih duduk di bangku sebelah Adun duduk tadi.
Restu mengenal dokter yang telah memeriksa pak Herman, kemudian ia berjalan menuju ruangan dokter tersebut. Sesampainya di ruangan dokter, Restu mengetuk pintu lalu masuk setelah dokter itu mempersilahkannya masuk.
"Hei Restu, ada apa gerangan kau datang ke ruangan ku ? Apa kau sakit ? Atau membawa majikanmu ?" tanya dokter itu pada Restu yang sepertinya sudah saling mengenal sejak lama.
"Sudahlah jangan banyak tanya Ben, aku hanya ingin tahu, sakit apa yang diderita pasien yang baru saja kau periksa di IGD ?" Restu to the point mengenai kedatangannya pada dokter yang diketahui bernama Beni.
Dokter Beni mengernyitkan dahi, ia bingung, mengapa seorang Restu menanyakan kondisi salah satu pasiennya. " Kenapa kau menanyakan itu ? Apa hubungan kau dengan pak Herman ?"
"Ah. banyak pertanyaan sekali kau, ayo jawab saja." Restu mendesak dokter Beni untuk menjawab.
"Baiklah, tapi setelah aku beri tahu, kau harus mengatakan ada hubungan apa kau dengan pasienku itu."
"Hemm." menjawab acuh.
"Cih. sikap kau hampir mirip dengan majikanmu !" lalu melanjutkan ucapannya karena melihat sorot mata Restu sudah mulai tajam. "Pak Herman adalah salah satu pasien kanker yang sedang aku tangani."
Apa ? Kanker ? batin Restu.
"Tapi sepertinya ia tidak akan bertahan lama, karena kanker nya sudah menyebar ke organ tubuh lainnya. Ia merasa pusing sampai jatuh pingsan itu karena telat meminum obat. Harusnya jadwal ia kontrol itu 2 hari yang lalu, tapi dia tidak datang. Entah apa alasannya."
Setelah mendengar penjelasan dari dokter Beni, Restu berterimakasih lalu keluar dari ruangan tanpa menepati janji menjelaskan ada hubungan apa dia dengan pak Herman. Dokter Beni hanya bisa menggelengkan kepala melihat sikap Restu.
Sial. batin dokter Beni.
***
"Bagaimana kondisi bapa sekarang ? sudah baikan ?" tanya Adun pada pak Herman yang masih terbaring di ranjang IGD.
"Aku sudah merasa baikan, bahkan aku ingin segera pulang." jawab pak Herman memaksakan diri untuk duduk.
"Kita tunggu dulu dokter ya pak, setelah itu kita mengambil obat lalu pulang." cegah Adun agar pak Herman tidak bangkit dari ranjang.
Tak lama datang dokter Beni menghampiri pak Herman. Ia menanyakan kenapa 2 hari yang lalu pak Herman tidak datang untuk kontrol. Pak Herman menjawab bahwa ia lupa untuk ke rumah sakit karena anak-anaknya sedang berkumpul, ia tidak memikirkan kondisi tubuhnya karena ia merasa baik-baik saja. Kemudian dokter Beni memberikan resep obat untuk pak Herman, setelah itu pamit pergi, sebelumnya ia sudah mewanti-wanti pak Herman agar tidak telat untuk jadwal kontrol berikutnya.
Adun membantu pak Herman turun dari ranjang dan menuntunnya keluar dari ruang IGD, lalu menyuruh pak Herman duduk menunggu karena dia mau menebus obat dulu.
Setelah menebus obat kemudian mereka pulang dengan menggunakan taksi. Pak Herman melarang Adun memberitahukan kondisi dia yang sebenarnya pada Alisya, ia menyuruh Adun untuk mengatakan kalau pak Herman hanya kecapean saja. Adun mengangguk mengerti.
***
Sesampainya di rumah pak Herman, Adun menuntun pak Herman sampai ke dalam rumah. Alisya yang melihat ayahnya diantar oleh Adun langsung merasa khawatir, kemudian ia menghampiri ayahnya yang sudah duduk di sofa masih dengan wajah pucat sama persis seperti saat tadi pergi ke toko.
"Ayah tidak apa-apa, hanya kecapean, benar kan Dun ?"
"I-iya mba, pak Herman hanya kecapean, tadi saya sudah membawanya ke rumah sakit."
"Syukurlah kalau begitu, Alisya takut terjadi apa-apa pada ayah." memeluk manja pak Herman.
Setelah itu Adun pamit pulang. Ia harus pergi ke toko dulu karena motornya masih terparkir di sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Bunda'e Elis
kasian ya
2020-09-05
2
Lisa Sasmiati
kasihan pak Herman...hmmm
2020-07-29
1
Tina
kasihan pak herman
2020-07-12
5