Sintia benar-benar tidak bisa memahami apa yang ada dalam isi pikiran dari kakaknya itu, membawa Davendra untuk bertemu dengan ayah mereka, tentu ini cukup sulit dilakukan.
Dimana kehadiran Davendra sendiri sangatlah asing bagi Sintia, jika bukan karena ketidaksengajaan saat dia datang dan berhasil memberi kesempatan untuknya menyelamatkan diri.
Tentu Sintia tidak akan merepotkan dirinya sendiri dengan segala pandangan masyarakat sekitar karena dia membawa orang asing, mencurigakan dan tidak senonoh.
Sekembalinya Davendra dari ruang pembuat pakaian, kini terlihat jelas bagaimana rupa lelaki itu setelah berpenampilan layaknya manusia normal.
Bahkan Sintia mengangguk-anggukan kepala karena dia merasa memiliki pandangan berbeda untuk sekarang melihat Davendra.
"Bukankah kau terlihat lebih baik dengan pakaian ini."
"Tapi aku merasa tidak nyaman."
"Apa yang membuatmu tidak nyaman."
"Panas, tidak ada udara yang memberi kesejukan dibalik celanaku." Jawab Davendra dan berniat melepaskannya.
Segera saja Sintia menahan tangan Davendra dengan kuat, para pembeli dalam toko terkejut atas apa yang dilakukan oleh lelaki itu
"Jangan asal buka celana disini, terbiasa lah, karena kau akan dianggap asing jika tidak bisa berbaur menjadi orang normal."
"Hei sejak awal aku sudah normal."
"Tidak ada orang normal yang berjalan-jalan mengelilingi kota tanpa pakaian, kau harus tahu itu."
"Jika menjadi orang normal membuat kebebasan hilang, Bukankah itu menyusahkan."
"Otakmu itu menyusahkan, lebih baik buang saja..." Terhembus nafas panjang dan berat dari mulut Sintia...."Sungguh aku ingin tahu standar apa yang kau gunakan untuk menjadi normal."
"Cih, baiklah."
"Kenapa posisiku seperti sedang memaksa seseorang."
Keluar dari toko kain milik keluarga Sintia, pandangan orang-orang sekitar terhadap Davendra pun jelas berubah, dimana sekarang, setelah lelaki asing ini menggunakan pakaian yang layak, mereka semua jadi tidak perduli.
Perbedaan antara satu orang dengan orang lain menjadi ketidaknyamanan untuk siapa pun lihat, tapi sebaliknya, saat mereka sama, berbaur dalam lingkungan dan mengikuti alur seperti apa adanya, kesenjangan jelas terasa.
Menunjukan bahwa mereka takut jika sebuah perbedaan dari satu orang itu akan merusak hidup mereka. Sedangkan setiap orang lebih memilih tidak perduli dan mengurus urusan sendiri, karena tahu bahwa di dalam kelompok yang sama siapa pun sekedar orang asing.
Cukup rumit untuk menggambarkan sikap manusia yang menganggap bahwa tidak ada hal penting bagi mereka didalam habitat itu-itu saja.
Tapi sekarang itu bukan hal penting bagi Davendra, atau pun Sintia karena tujuan mereka bukanlah mengurusi urusan orang lain, tapi masalah untuk menghadap kepala keluarga dari salah satu orang terpenting di kota Batavia.
"Aku ingatkan sekali lagi, jangan sampai kau mengatakan hal yang tidak perlu, dan jaga sikapmu." Tegas ucapan Sintia saat berdiri diluar gerbang masuk menuju sebuah rumah kediaman keluarga harimau api.
"Memang nona pikir aku ini siapa ?."
"Jangan bersikap sombong, aku sendiri tidaklah mengenalmu, dan kau masih mengatakan kau itu siapa ? Huh ?."
Mendengar suara Sintia yang semakin tinggi, ada pula perasaan kesal sekaligus keinginan memukulnya, itu terlihat menyeramkan.
Davendra segera menunduk layu dan bergumam sendiri..."Bukankah aku sudah mengatakan kalau sekarang namaku Davendra."
"Ujian apa yang sebenarnya aku hadapi sekarang." Balas Sintia menepuk keningnya dengan perasaan kacau balau.
Kediaman keluarga harimau api, rumah milik Sintia ini memang terlihat begitu megah, luas denah wilayah, taman-taman bunga dan kebun buah berbaris rapi dalam setiap petak mengitari kediaman untuk dikategorikan dalam jenis masing-masing.
Di tambah lagi dengan para penjaga bersenjata lengkap, berjalan-jalan untuk patroli, menggunakan persenjataan lengkap yang memang bertanggung jawab atas keamanan rumah ini.
Lepas dari itu, kehadiran Sintia saat memasuki rumah, disambut oleh para pengawal yang membungkuk hormat, meski wajah penuh pertanyaan terlihat jelas dari mereka, karena lelaki di samping Sintia tidaklah siapa pun kenal.
Jika Davendra datang dan tidak bersama Sintia, jelas para penjaga sudah bersiap menodongkan tombak panjang mereka di depan kepala.
"Aku baru sadar ternyata nona ini adalah orang kaya." Ucap Davendra tampak bodoh untuk memahami situasi sebelumnya.
"Bukan aku yang kaya, tapi ayahku serta para ketua terdahulu yang membuat keluarga ini sebagai salah satu tuan tanah di kota Batavia." Seakan raut wajah Sintia menunjukan bahwa dia tidak sekalipun tertarik dengan semua kekayaan yang keluarganya miliki.
"Tentu ada banyak orang yang menginginkan kekayaan seperti ini, tapi kenapa nona merasa enggan."
"Apa kau tahu ?."
"Aku usahakan."
"Terserahlah.... Kekayaan, harta benda, status, kedudukan, dan kekuasaan, memang menjadi tolak ukur di dalam hidup, tapi aku merasa diberikan beban berat untuk sebuah martabat keluargaku."
Entah kenapa Davendra memahami apa yang diucapkan oleh Sintia, sebuah tanggung jawab untuk wanita ini bawa, nama baik keluarga, atau lain sebagainya, dia merasa terbebani.
"Paling tidak nona tidak perlu khawatir untuk kekurangan makanan."
"Aku tidak menyangka kau bisa berpikir bijak seperti itu." Terkejut Sintia mendengar perkataan dari lelaki yang tidak pernah dia harapkan untuk bicara dengan pemikiran yang luas.
"Aku hanya hilang ingatan, tapi tidak bodoh, itu jelas berbeda."
"Ya mungkin kau benar, tapi aku merasa jika hidup di dalam keluarga yang biasa-biasa saja, jauh lebih baik." Semakin lemas Sintia untuk menjawab pertanyaan Davendra.
"Ternyata orang kaya juga punya masalah sendiri, sungguh hidup nona sangat aneh."
Lupakan permasalahan hidup yang dijalani oleh Sintia, karena Davendra sendiri memiliki hidup sendiri yang belum jelas arah tujuannya, dirinya siapa, atau kenapa dia sampai kehilangan ingatan.
Tapi Davendra jelas bersyukur karena saat ini dia tidak perlu pusing memikirkan tentang tempat tinggal, pakaian atau makanan, karena semua dijanjikan oleh Sintia untuk dia bekerja di keluarga harimau api.
Meskipun dia sendiri tidak tahu apa yang bisa dilakukan olehnya saat bekerja, merasa gelisah sebab semua ini begitu asing untuk dilakukan.
"Nona entah kenapa aku merasa enak untuk merepotkan Anda dan keluarga ini."
"Itu sudah terlambat an*jing, jika kau tidak enak, harusnya sejak awal dari mulai kau dalam penjara perbatasan."
"Ya saat itu aku tidak punya pilihan lain."
"Pikirkan itu nanti, kakakku ingin membawamu kepada ayah, entah ayah mau memperkerjakan mu atau tidak dengar saja sendiri."
Dibalik pintu besar yang terbuat dari kayu adalah tempat Davendra bertemu dengan ayah Sintia, entah seperti apa nanti jadinya, Askar hanya perlu bersikap sopan.
Lelaki paruh baya yang duduk diam di atas kursinya, seketika menoleh ke arah pintu, dimana tidak ada senyum atau sapaan saat melihat sintia datang.
"Sintia, selamat datang." Itu yang lelaki paruh baya ucapkan.
"Tuan Zenzou... Terima hormat dariku." Balas Sintia.
Davendra merasa tidak nyaman melihat sikap yang ditunjukkan oleh Sintia... "Nona kenapa kau begitu sopan kepada ayahmu."
"Dia bukan ayahku, tapi dia adalah raja kota ini."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 316 Episodes
Comments
Ren
🤣🤣🤣🤣2
2023-09-10
1
DEWA HAREM
ik
2022-02-15
0
Pendekar
bukan ayah tapi penguasa kota ini
2022-01-25
0