Prolog Rara
Hari ini Rara melakukan aktifitasnya seperti biasa.
Melayani para pengunjung cafe.
Rara begitu bersemangat bahagianya dengan usahanya yang ramai lancar setiap harinya.
Sehingga tak terasa sudah beberapa bulan semenjak ia buka cafe.
Dan sudah setahun lebih juga Radit tidak pernah mengunjungi Rara entah apa yang terjadi dengan Rumah tangga mereka yang saling menghindar.
Sore itu saat memberikan pesanannya pada pengunjung.
Rara merasakan kepalanya seperti berkunang-kunang.
Kali ini di sore hari sedang ramainya pengunjung malah membuat kepalanya terasa sakit.
Rara menghampiri Dilla.
"La ... kamu gantikan aku dulu ya kepalaku sakit sekali nih biar aku yang jaga kasir," pinta Rara pada Dilla .
"Kamu yakin tidak mau ke dokter atau entar pulang aku antar kamu periksa ya," ucap Dilla.
"Tidak perlu, duduk sebentar juga hilang sakitnya," tolak Rara.
"Baiklah ... kamu disini ya," ucap Dilla.
"Hmm."
Rara mengangguk pandangan Rara sedikit suram kadang normal kembali.
Sekitar jam Delapan malam Dilla membalikan papan tutup Cafe.
Rara tak beranjak ia mendongak melihat Dilla yang sudah membalikan papan close.
"Aku balik dulu ya harus istirahat, " ucap Rara.
"Hmm ... baiklah apa kamu benar benar tidak perlu ke dokter?" Dilla cemas.
Rara menggelengkan kepalanya dan ia cepat cepat ke mobil kepalanya sempat sakit pandangan kabur.
Tapi ia tetap membuka pedal pintu mobilnya dan melajukan kendaraanya menuju Rumah untuk pulangdan tidur.
********
Prolog.
Sesampainya ia di Rumah, ia di kejutkan dengan sesosok yang selama ini ia nantikan.
"Apa ini halusinasiku ya," gumam Rara.
"Rara, kamu sudah pulang?" Tanya Raditya.
"Mas ini Kamu ?" Tanya Rara sumringah ia sangat bahagia dengan apa yang ia lihat.
"Iya aku kesini," jawab Radit pelan.
"Mas Radit, akan menceraikanmu," tiba-tiba seorang wanita di belakang Radit bicara yang tak lain adalah Amora.
Rara terkejut saat seorang wanita menghampiri Radit dan merangkulnya.
"Apakah itu benar Mas?" Tanya Rara pada suaminya tidak percaya.
Radit terdiam dengan Rara yang ada di hadapannya.
"Iya," jawab Raditya.
"Owh baiklah Mas, bisa lanjutkan pengajuanmu secepatnya,Mas," jawab Rara sendu.
Padahal Rara begitu banyak yang ingin ia tanyakan pada suaminya ini.
Ia ingin bertanya kenapa suaminya seperti ini, kenapa tidak pulang, tinggal dimana.
Itu semua Rara urungkan di saat ia melihat seorang wanita di belakang Raditya itu sudah sangat jelas untuk menjawab semua pertanyaanya.
Hatinya seperti tertusuk benda tajam sakit.
Rara mencoba sebisa mungkin menahan air matanya terjatuh.
"Aku sudah berbicara dengan keluargaku dan mereka setuju untuk kita bercerai, karena mereka menuntut anak dariku dan kamu tapi tak kunjung juga," ucap Radit.
"Dan sekarang itu semua akan terwujud," ucap wanita itu.
Wanita itu tersenyum sambil menunjukan perutnya yang sudah besar.
Yang semakin membuat Rara teriris hatinya, ia merasa di hianati atas kesetiaanya menunggu suaminya pulang .
"Aku bersyukur itu bukan aku, Mas," lirih Rara menahan jatuhnya air matanya.
Radit terdiam mendengar ucapan Rara.
"Bagaimana mau hamil kau bahkan tidak pernah menyentuhku ," gumam Rara.
Rara yang matanya sudah berkaca kaca sebisa mungkin menahannya.
"Kapan beresnya, Mas?" Tanya Rara.
"Secepatnya," tangkis wanita itu lagi.
Radit hanya mengangguk.
"Baiklah," lirih Rara.
"Satu hal lagi, rumah ini kata mas Radit untukmu saja, anggap sebagai kompensasi kamu sudah menjadi istrinya karena kami sudah beli rumah yang lebih besar dari ini," ucap wanita itu.
"Tidak perlu Mas, aku tidak butuh tempat yang bukan hak aku karena selama ini aku tidak melakukan apapun utukmu setelah sidang aku akan pindah dari rumah ini," ucap Rara tegas.
"Tapi ... Ra ..." Radit menghentikan ucapanya setelah Rara bergegas pergi menuju kamar.
Selang beberapa waktu Rara di kamarnya ia turun dari tangga dan menuju dapur.
Rara bergegas ke dapur dan ternyata Radit dan wanitanya masih ada di ruang tamu menonton tv .
"Apa mereka akan disini?" Gumam Rara.
Amora menghampiri Rara yang sedang minum.
"Kami akan tidur disini kamu tidak apakan?" Tanya Amora sengaja.
"Tidak apa apa lakukanlah sesuka kalian aku tidak akan mengganggu," tangkis Rara.
"Hmm ... pantas saja kamu di bilang membosankan tampilanmu ini norak," ucap Amora .
"Lihatlah dirimu sendiri sebelum melihat orang lain, aku menghormati tubuhku sendiri tidak seperti seseorang yang membiarkannya terlihat kemana-mana," tangkis Rara sambil melirik pada Amora.
"Sialan," gumam Amora geram.
Rara bersiap untuk pergi dan turun dari atas .
Amora menghampiri Raditya kembali dengan wajah kesalnya.
"Sebaiknya, Mas secepatnya aja ceraikn dia," ucap Amora.
Raditya melihat Rara yang sudah rapih memakai suwiternya.
"Kamu mau kemana?" Tanya Raditya.
"Sudah bukan urusanmu aku mau kemana," Tangkis Rara.
Raditya melihat Rara pergi meninggalkannya.
Dalam keadaan kacau berkecamuk Rara bergegas pergi.
Ia melajukan mobilnya sesekali Rara memegang kepalanya yang semakin sakit juga penglihatannya yang mulai buram.
Rara menepikan mobilnya di pinggir jalan ia berdiam di mobil.
Rara menangis sesegukan menumpahkan semua air matanya semakin mengalir.
Air matanya tak kunjung berhenti dengan sakitnya di dada.
Di tengah malam di pinggir jalan Rara menangis di dalam mobilnya dengan jalanan yang hanya ada dua tiga kendaraan yang masih berlalu lalang melintasi jalanan.
Rara mengingat-ingat saat ia pertama tidur satu ranjang dengan suaminya yang sama sekali tidak mau menyentuhnya.
Raditya yang memberi nama kontaknya membosankan.
Dia yang tak menghiraukannya.
Pergi sampai setahun lebih lamanya.
Dan sekarang pulang dengan seorang wanita hamil juga membuatnya bercerai detik ini juga.
Walau sebenrnya memang sudah tidak mungkin baik lagi rumah tangga Rara.
Rara menangis di setiap pikirannya juga memegang kepalanya yang semkin sakit sekarang di sertai dada yang sesak dan sakit.
Rara teringat kembali akan orang tuanya yang sangat bahagia saat ia menikah, bagaimana caranya ia memberitahu keluarganya nanti kalau ia di ceraikan suaminya dengan pernikahan yang baru seumur jagung.
Semakin Rara memikirkannya semakin sakit hatinya. Ia memegang dadanya dan menangis tanpa hentinya.
Rasanya Rara ingin saja mengakhiri hidupnya.
Tapi karena iman yang ia pegang sangat kuat hingga membuatnya masih berpikiran jernih.
Kedua orang tuanya akan semakin sedih jika tahu bahwa putri satu -satunya telah meninggalkan mereka untuk selamanya.
Rara terdiam ia menyenderkan kepalanya pada kursi kemudinya.
Deras air matanya tak kunjung berhenti hingga membuatnya semakin teringat akan kesalahannya apa saja.
"Sebenarnya apa salahku kenapa kamu begitu Mas? Kenapa kamu tidak memintanya padaku jika hanya mau tubuh saja," teriak Rara ia menangis sejadi - jadinya.
Rara ingin sekali ia pulang ke rumah orangtuanya dan memeluk ibunya. Rara menangis tanpa henti hingga pandanganya buram dan matanya tertutup dalam keadaan menangis Rara menutup matanya pingsan di balik kemudi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 272 Episodes
Comments
Dina Hafana
radit tidak merasa tanggung jawab menelantarkan istrinya setahun, tanpa ada kabar. Rara juga kurang konikasi dengan mertua dan org tuanya sendiri sehingga tdk berlarut2
2021-03-01
0
Fanany
tenang aja ra hukum karma berlaku bagi author😈😈😈😈😈😈😈😈😈😈
2020-11-12
1
Tri Widayanti
kasihan😭
2020-11-03
0