Hari ini Emma bangun pagi sekali. Ia ingat kata-kata nyonya Farida kalau ia harus membangunkan tuan-tuan mudanya untuk bangun pagi dan berangkat sekolah.
Seperti diawali nyonya Farida, kamar tuan muda Diego yang paling pertama. Ini tantangan berat baginya karena ternyata Diego lebih frontal membencinya dibanding Rimba.
Pelan-pelan Emma masuk kamar Diego. Remaja 15 tahun itu tengkurap diatas kasurnya yang empuk membuat Emma ikut duduk merasakan kasur tempat tidur Diego.
Matanya memandang berkeliling. Buku-buku berserakan dimana-mana. Juga bungkusan makanan yang masih beremah. Membuat Emma menghela nafas.
"Tuan muda Diego! Bangun, sudah pagi!" Emma menepuk punggung Diego persis seperti yang dilakukan nyonya Farida. Agak sedikit keras. Tak ayal sekali tepukan Diego langsung terbangun.
"Mami!"
"Nyonya belum pulang, tuan muda!"
"Aaaaaarggggggh!!!!" teriak Diego kesal membuat Emma lari terbirit-birit tunggang langgang.
Kamar Excel membuat Emma lebih lega. Cukup menarik headset dikedua telinga Excel yang mungil membuat Emma tersenyum. Mata Excel langsung terbuka.
"Selamat pagi, tuan muda!" sapa Emma membuat Excel tersenyum mencerahkan dunia kecil Emma. Emma terpesona melihat senyum pepsodent yang teramat indah dipagi hari itu.
Kamar ketiga, kamar tuan muda Roman. Emma menelan ludah mengingat ucapan nyonya Farida. Ia harus berhati-hati ketika membangunkan tuan muda Roman. Berbahaya kalau tonjokannya bisa mendarat diwajah mungilnya.
Emma mengelus-elus rambut Roman. Benar saja, Roman langsung meninju hidung Emma hingga Emma terpekik kaget.
Roman terbangun mendengar jeritan Emma. Matanya membelalak kaget melihat hidung Emma mengeluarkan darah. Ia segera bangun dan mengambil tissue basah melap darah dari hidung Emma.
Roman ternyata merasa bersalah melihat Emma yang terluka karena tinjunya.
"Sakit, ya? Maaf! Siapa suruh wajahmu tepat didepan wajahku!" Roman terlihat cemas memegang dagu Emma untuk memastikan seberapa parah tinjunya melukai Emma. Tapi Emma terkejut mendengar Roman mengucapkan kata maaf.
Emma keluar sambil meringis memegangi hidungnya. Sudah lebih baik dan tidak lagi mengucurkan darah.
Kamar terakhir, kamar tuan muda Rimba.
Emma kaget mendapati Rimba tengah tersengal-sengal seperti ikan menggelepar dikolam yang kekeringan. Emma bergegas berlari menghampiri Rimba.
"Tuan muda Rimba! Kenapa tuan?"
"Tolong..... ambil..... tas,.. tas sekolah..ku" kata Rimba terbata-bata ditengah kesakitannya mengambil udara untuk bernafas.
Emma mencari-cari tas sekolah Rimba. Ketemu. Ia segera memberikannya pada tuan muda Rimba.
Rimba tergesa membuka resleting tasnya. Mengambil sesuatu dari dalam tas dan mengambil nafas dengan alat bantu pernafasan.
Ternyata Rimba memiliki penyakit asma. Emma hanya bengong tidak tahu apa-apa. Matanya menatap cemas wajah Rimba yang pucat pasi tapi kini sudah membaik.
Rimba hanya terduduk menyender ketembok diatas tempat tidurnya.
"Buatkan susu hangat untukku Emma! Tanpa gula ya!"
Perkataan Rimba kali ini tidak sekeras dulu. Bahkan terdengar lembut ditelinga Emma. Membuat Emma berfikir, Rimba ternyata manis juga jika tidak sedang marah-marah. Emma mengangguk cepat dan bergegas keluar untuk turun kedapur membuatkan susu untuk keempat tuan mudanya.
Mereka berempat kini sudah duduk manis mengelilingi meja makan menunggu Emma menyeduh susu hangat untuk sarapan pagi mereka.
Hari ini suasana tenang tanpa ada teriakan dan tatapan ketus dari keempat tuan muda. Hanya Diego yang masih berwajah datar sedikit garang. Tapi sepertinya susu buatan Emma pagi ini bisa diterima mulut dan perutnya.
Mereka berangkat sekolah seperti biasa. Setelah mobil jemputan datang memasuki gerbang hitam yang kokoh, membawa mereka kesekolah masing-masing.
Emma mulai terbiasa dengan keadaannya. Diusap batang hidungnya yang sedikit memar karena tinju pagi sarapannya dari tuan Roman. Sakit.
Emma membersihkan kamar tuan-tuan mudanya dengan cekatan. Meski baru beberapa hari tinggal disana, ia anak yang cepat tanggap dan pintar mengerjakn tugas-tugasnya.
Itu karena Emma juga terbiasa membantu bunda Anna ketika merapikan kamar adik-adiknya dipanti. Juga membantu mengurus bayi-bayi ketika dipagi dan sore hari untuk mandi dan makannya. Sehingga Emma tidak canggung dan kebingungan mengerjakan pekerjaan rumah tangga meski usianya baru 8 tahun.
Siang ini tuan muda Diego pulang lebih awal. Ia menyuruh Emma membawakan cemilan dan minuman yang ada dilemari es untuknya yang sedang mengerjakan tugas dipinggir danau dibelakang rumah.
Emma menuruti perintah Diego.
"Emma! Ambilkan ranting pohon yang ada dipinggir danau itu! Bersihkan puing-puing pepohonan yang ada disitu juga!" perintah Diegi lagi dengan cueknya.
Emma sebenarnya takut tapi tak berani menolak. Titah Diego bagaikan titah tuan Raja di negeri Macan, bagi Emma.
Perlahan Emma berjalan menyusuri pinggir danau. Meski terlihat tepian danaunya yang tidak terlalu dalam, tapi Emma takut tercebur kedalam danau. Emma tidak bisa berenang.
Benar saja, apa yang ditakutkan Emma. Kakinya menginjak dahan rapuh membuatnya tergelincir dan masuk kedalam air. Emma terkejut kaget. Ia meronta didalam air membuat tubuh mungilnya semakin masuk tenggelam.
"Tuaaaan... toloooong!" teriak Emma ketika kepalanya tersembul keatas air danau membuat Diego tertawa. Emma hanya pasrah berusaha mengais kakinya agar membawa tubuhnya terangkat naik keatas permukaan.
Ya Allah! Tolong Emma ya Allah! Apakah ini saatnya Emma mati? hati kecilnya menciut ketakutan.
Diego termangu melihat Emma yang timbul tenggelam diatas air. Akhirnya ia terjun kedalam danau. Menarik tubuh Emma kembali kedaratan. Emma pingsan tak sadarkan diri. Membuat Diego panik seorang diri.
"Emma! Emma, bangun!!!" teriaknya mengguncang-guncang tubuh Emma. Matanya menatap Emma cemas dan gugup.
Bagaimana kalau anak ini mati gara-gara tingkahku yang keterlaluan? Bisa-bisa rumah ini akan dipenuhi polisi yang menyelidiki kematian bocah itu nanti! gumam Diego dalam hati.
Diego berusaha mengangkat tubuh Emma dan menepuk-nepuk punggungnya agar air yang masuk ketubuh Emma keluar membuat Emma sadar. Tapi Emma tak bergeming.
Akhirnya Diego berinisiatif melakukan CPR, bantuan pernafasan kepada Emma. Beberapa kali Diego meniup mulut Emma agar tersalur oksigen dari mulutnya dan kembali bernafas.
Emma batuk memuntahkan air danau. Matanya kembali terbuka membuat Diego lega. Digendongnya Emma dipunggungnya. Diego berlari menuju rumah kecil bibi Atun yang ada dibalik pohon bambu.
"Atuuuuuun, Atuuuuun.....!"
"Tuan muda Diego? Kenapa? Emma? Kenapa Emma, tuan?"
"Emma tadi pingsan tenggelam dalam danau. Tolong urus Emma! Cepat, cepat!!!!" teriaknya agak panik.
Diego menaruh tubuh Emma dikasur bi Atun. Bi Atun bergegas mengambil handuk dan selimut untuk menghangatkan tubuh Emma.
"Tuan, maaf,... tuan tunggu diluar saja! Saya akan mengganti pakaian Emma! Maaf, tuan!"
"Ya! Tolong selamatkan Emma, ya Atun?!" pintanya dengan mata penuh pengharapan.
"Baik tuan!"
Diego pergi meninggalkan Emma yang diurus bi Atun.
Emma menangis memikirkan dirinya yang hampir saja mati tenggelam tadi. Ia sangat shock. Bi Atun memeluknya erat membuat Emma sedikit lebih nyaman. Andai saja tadi tuan muda Diego tidak cepat menolongnya, hilang sudah nyawanya didanau itu. Hhhh.... Emma bergidik ngeri.
Seharian ini Emma hanya duduk diam dirumah bi Atun. Bi Atun menyuruhnya seperti itu. Karena hari ini beliaulah yang mengerjakan semua pekerjaan dirumah besar itu.
"Emmaaaa! Emmaaaaa....!!!" Rimba teriak mencari Emma. Sepanjang ia pulang dari sekolah tadi siang hingga sore tak juga nampak batang hidung Emma.
"Maaf tuan Rimba! Emma tadi pingsan tenggelam didanau waktu siang. Sekarang sedang dirumah belakang tempat saya tinggal! Tuan muda Diego menyuruhnya istirahat total dulu disana!" kata bi Atun membuat Rimba terbelalak.
"Emma tidak apa-apa khan, Atun?" tanyanya menyelidik dengan nada khawatir.
"Sekarang sudah lebih baik, tuan!"
"Kenapa Emma?" tanya Excel yang keluar dari kamarnya setelah mendengar suara berisik dari luar.
"Emma pingsan karena tenggelam!" terang Rimba pada Excel.
"Dimana Emma sekarang?" tanya Excel cemas.
"Ada disaung Atun!" jawab Rimba. Excel langsung berlari keluar hendak menemui Emma. Fikirannya kacau mendengar kabar Emma pingsan karena tenggelam.
Rimba hanya tertegun melihat respon kakak lelakinya itu. Ia juga khawatir tapi tidak sepanik itu. Rimba hanya mengangkat bahu lalu kembali masuk kamarnya.
Sementara Diego yang ternyata menguping pembicaraan adik-adiknya didepan pintu kamarnya hanya duduk termenung dipinggir ranjang tidurnya.
Diego sangat menyesal atas tindakannya yang terlalu jauh pada Emma selama ini. Padahal gadis kecil itu tidak punya salah sedikitpun padanya dan keluarganya. Tapi kenapa ia dan juga adik-adiknya begitu kejam memperlakukan Emma.
Justru seharusnya ia kasihan karena Emma sudah ditipu keluarganya yang mengangkat anak tapi diperlakukan tak ubahnya seperti pembantu. Diego hanya menunduk, memegang kepalanya lalu mengusap wajahnya.
Ia merasa sangat bersalah dan berjanji didalam hati, akan mengubah kelakuan buruknya pada Emma.
Apalagi Emma termasuk anak yang penurut dan juga kuat. Diusianya yang masih sangat muda, diperlakukan buruk oleh semua penghuni rumah ini, tapi jarang sekali Emma terlihat menangis.
Bahkan kadang ketika Diego melihatnya dari kejauhan, wajah Emma selalu terlihat cerah, terkagum-kagum pada rumah megahnya, pada isinya, pada taman bunganya, pada apapun yang membuatnya terpesona.
Mata polosnya tidak bisa ditutupi. Membuat Diego semakin merasa bersalah pada Emma.
💞Bersambung💞
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments
Tri Susanti
lanjut thor....
2023-01-16
0