"Cengeng banget, sih!?! Kayak orang yang ga bakalan ketemu lagi aja!" gerutu Rimba ketus melihat Emma yang menangis sesegukan.
Yang lain diam tak bersuara. Bahkan papi dan mami mereka terlihat cuek mendengar Rimba yang memarahi Emma. Emma hanya diam. Berusaha menahan tangisnya.
Mereka lalu berhenti disebuah restaurant yang megah dan mewah dipinggir jalan. Emma terpukau melihat dekorasi dan tatanan interiornya yang begitu indah. Mata polosnya tidak bisa menutupi kekagumannya melihat isi resto itu. Kagum.
"Norak!" lagi-lagi Rimba membulinya.
"Stop it, Rimba! Ini masih diperjalanan! Jaga sikapmu!" gertak Diego membuat Emma merasa senang, karena kakak tertuanya membelanya.
Rimba mendelik kesal. Menendang sepatu Emma membuat gadis kecil itu meringis.
Mereka duduk didepan satu meja besar yang memang diperuntukkan keluarga besar. Masih diam tak bersuara kecuali papi Karim yang memanggil waitres dan memesan makanan.
Emma canggung dengan situasi ini. Meski ia hanya tinggal di panti asuhan dan diurus oleh ibu Saleha dan bunda Anna, tetapi suasananya tidak sedingin ini. Mereka seringkali tertawa bercanda ketika duduk bersama dimeja makan. Banyak kata dan cerita membuat mereka akrab satu sama lainnya.
Emma terkesima ketika menerima seporsi steik. Hanya sepotong daging yang diguyur saus mirip kecap ditambah beberapa potong kentang goreng, rebusan wortel dipotong dadu panjang dan buncis serta brokoli saja. Ia melihat piring sekelilingnya. Sama. Kecuali Rimba yang mendapat setangkup burger jumbo.
Mana nasinya? tanya hati kecil Emma bingung. Belum lagi matanya mencari sendok disekitar piringnya.
Tidak ada.
Hanya garpu dan pisau saja.
Mana sendoknya? lagi-lagi hatinya membathin.
Rimba memperhatikan Emma dengan seksama. Bibirnya menyunggingkan senyuman mengejek. Emma menunduk takut menatap mata Rimba langsung. Meski Rimba setahun lebih tua usianya dari Emma, tapi Emma jadi kurang respek karena sikapnya yang jahat menurut Emma.
Suasana makan begitu dingin cenderung menyeramkan. Emma curi-curi pandang pada papi Karim. Ternyata papinya itu terlihat begitu garang, berbeda dari sikapnya yang tadi begitu manis didepan ibu dan bunda. Emma merasa detak jantungnya lebih cepat karena rasa takut mendominasinya.
Mereka makan dengan cepat tanpa suara tanpa kata-kata. Bahkan suara garpu dan pisaupun nyaris tak terdengar kecuali pisau dan garpu Emma yang sesekali berdecit beradu dengan piring keramik steiknya.
Emma menahan nafas sebentar, berusaha kembali meniru gaya mereka. Tapi lagi-lagi tak ada suara kecuali sepasang mata milik mereka sekeluarga mengawasi gerak-gerik Emma membuat merinding bulu kuduknya.
Sependiam inikah keluarga ini? gumam hati kecil Emma.
Emma hanyalah bocah perempuan berumur 8 tahun. Hanya bisa diam tak berani berkata apalagi bertanya. Fikirannya masih terlalu polos untuk mencerna semua yang terlihat ganjal dimatanya.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Diam dan hening. Bahkan mami Farida pun seolah malas bersuara. Biasanya ibu-ibu cenderung bawel dan lebih berisik dibanding bapak-bapak kaum pria. Tapi mami Farida berbeda.
Sebuah gerbang besar berlapis sekat warna hitam gelap bahkan tak tembus pandang terbuka setelah papi Karim menelpon. Lagi-lagi Emma terpukau.
Canggih sekali! pikirnya takjub.
Mobil yang mereka tumpangi masuk kedalam. Terhampar kebun bunga yang sangat indah mempesona membuat Emma kembali menganga. Waaaah, indahnya! seru hati kecilnya.
Tak lama kemudian sebuah bangunan besar tinggi menjulang berdiri tegak seiring berhentinya mobil Mitsubishi Xpander merah metalik yang membawa Emma dan keluarga barunya.
Semua turun. Demikian juga Emma. Matanya terbelalak dengan semua keindahan yang ada. Alangkah senangnya Emma mengetahui betapa kaya rayanya papi maminya itu. Hatinya begitu gembira, terlihat dari raut wajahnya yang cerah ceria.
"Emma! Kamarmu diatas, arah kanan paling pojok. Bawa barangmu sendiri! Dirumah ini semua mandiri, kerjakan sendiri. Karena kami tidak punya pembantu! Faham?" kata papi Karim tegas. Emma mengangguk pelan.
"Awas, kalau kau salah masuk kamarku!" ancam Rimba membuat Emma menelan ludah gugup.
"Ayo, semua balik ke kamar masing-masing! Istirahat, jangan lupa PR kalian! Besok harus bangun pagi-pagi, mengerti semua?" mami Farida memberi perintah. Dan tak seorangpun membantah sekalipun langkah mereka terlihat gontai malas-malasan.
"Termasuk kau, Emma!" tunjuk mami Farida membuat Emma degdegan dan mengikuti langkah kakak-kakaknya yang menaiki anak tangga.
Emma celingak-celinguk kebingungan. Arah kanan paling pojok? Dimana kamarku? hati kecilnya bersuara samar.
"Kak Diego! Dimana kamar Emma?" Emma sedikit berteriak memanggil Diego. Karena Diego kakak paling besar dan terlihat lebih manis menerimanya.
Diego menoleh. Wajahnya terlihat angker. Tapi tangannya menunjuk kearah pintu paling pojok dikanan Emma. Emma mengangguk hormat, seraya mengucapkan terima kasih.
Diego kembali pada tujuannya. Kamarnya. Setelah Excel, Roman dan juga Rimba masuk ke kamarnya masing-masing.
Lantai dua rumah mewah itu begitu luas dan berkilau. Kamar-kamar berjejer bak pintu kamar hotel bintang lima.
Emma membuka pintu kamarnya perlahan. Nyaris kosong tak ada apapun. Bahkan selembar kasur dan lemari kecilpun tak ada. Hanya tumpukan selimut dan bantal guling teronggok dipojokan. Jendela kaca yang besar pun tak terpasang tirai. Emma mengelilinginya berputar. Besar memang, tapi kosong melompong.
Emma lagi-lagi bingung. Hanya duduk lesehan dilantai keramik putih yang terlihat berdebu setelah menaruh tas ransel dan plastik jinjingannya dilantai.
Apakah aku salah masuk kamar? gumam Emma penuh tanda tanya.
Tapi tadi kak Diego tepat menunjuk kearah sini. Dan ini benar kamar diposisi kanan paling pojok. Tapi,.... kenapa kamar ini lebih mirip kamar kosong? Bahkan lebih tapat jika dianggap gudang! Bahkan jendela besarnua pun tidak diberi gorden.?!?!?
Emma bergidik membayangkan kalau ada bayangan hitam menghantuinya dibalik kaca jendela yang sangat jelas melihat suasana malam diluar yang gelap dan mencekam.
Emma terpekik sendiri berlari mengambil selimut dan menarik bantal guling, bersembunyi meringkuk didalamnya. Hhh...
Emma takut sendirian. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Tak berani bertindak apa-apa. Hanya diam dibalik selimut tebal yang berbau apek saking lamanya tidak pernah dicuci.
Airmata Emma berlinang, mengingat ibu Saleha dan bunda Anna. Dipanti asuhan meski sederhana, Emma selalu merasa hangat dan semua menyayanginya.
Tidak seperti disini. Emma merasakan kesepian. Padahal baru saja satu dua jam ia tinggalkan. Emma kangen ibu dan bunda! Hanya tangis kesedihan yang menemaninya didalam kamar besar ini.
💞Bersambung💞
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments
taurus@
niat ng adopsi g sich...
2022-10-16
0
Sabarita
😭😭😭 sudah ku duga 😭😭😭
2022-03-18
5
Neni Cahyani
aaah kasian euma kayaknya bakal bawang nih 😭😭
2021-09-20
5