Sepersekian detik kemudian, di saat momen jabatan tangan antara aku dan Deyandra berakhir, Vida sontak membawaku menjauh dari pria itu. Alasannya, karena ingin segera menjelajahi pantai.
Ya, tanpa menaruh setitik kecurigaan pun, aku lantas mengekorinya. Namun, sekilas kuputar rotasi tubuhku ke belakang untuk melihat respon dari pria itu. Ternyata ia tersenyum maklum, kemudian berlalu dari sana.
Kulangkahkan kaki menyusul istriku, yang kini sudah bergerak mendahului. Mungkin sekarang bukan waktunya untuk kami berdiskusi. Tidak masalah, lain kali aku akan mencoba mengajaknya berkomunikasi tentang hal ini.
"Sayang, udah siap untuk pulang?"
Vida tak mengindahkan pertanyaanku. Tatapannya seakan kosong, ketika tubuhku telah berdiri sejajar dengan tubuh idealnya. Wajah mulus, indah, nan bening itu, cukup untuk mengalihkan duniaku.
Sungguh!
Namun, kenapa ia mulai bermuram durja? Apa aku telah salah bicara? Wah, sepertinya begitu.
"Sayang ...!" seruku seraya menyentuh lembut pundaknya yang terbuka. Kali ini, ia mengenakan gaun selutut bermotif bunga, tanpa lengan. Tatapannya lurus mengarah pada gulungan ombak kecil yang berasal dari lautan.
Sejurus ia terlonjak. Agaknya ia sedang memikirkan sesuatu di luar konsep bulan madu. Tetapi, apakah itu? Sayangnya, kenapa bibirku ini begitu kelu? Untuk menanyakan hal itu saja, sungguh aku tak mampu.
"Sayang baik-baik aja, 'kan?"
Pertanyaan apa lagi itu? Bagaimana bisa untaian kalimat tolol tersebut keluar dari mulutku?
"Emmm, gak apa-apa kok, Sayang. Aku cuma ngerasa sedikit meriang," tuturnya seraya tersenyum padaku, lalu memeluk tubuhnya sendiri.
Ah, senyumannya itu!
Selalu sukses melambungkanku ke awang-awang. Bahkan aku bisa menunda segalanya, hanya untuk melihat senyumannya.
Manis sekali, sungguh!
"Ya, udah, kalo gitu kita kembali ke resort aja, ya?!" Ia lantas mengangguk, tanpa banyak protes.
Kami bahkan telah tiba di kabin setelah beberapa menit menunggu taxi yang tadi menjemput kami.
"Jadi, kita akan tetap di sini atau pulang?" tanyaku padanya, di saat kedua tubuh kami berbaring sejajar di atas kasur.
Ia tampak menghela napas sejenak, sebelum akhirnya merespon pertanyaanku. "Pulang aja, ya, Sayang." Suaranya terdengar sedikit merengek seolah benar-benar memohon agar kami tidak tinggal.
"Oke, sesuai keinginanmu!" Kukecup sekilas buku jarinya, lalu membiarkannya terlelap sebelum sore menyapa.
...💔...
Ketika pagi tiba, tak ada lagi yang ingin kusampaikan padanya, selain satu hal penting yang mungkin akan membuatnya terkejut.
"Sayang, aku pingin ngomong sama kamu. Ini penting."
Vida lantas memutar rotasi lehernya ke arahku dengan tatapan sejuta tanya. Hidung bangirnya tampak indah sekali dipandang mata. "Mau ngomong apa, Sayang? Serius banget kayaknya." Ia lantas memutar rotasi tubuhnya menghadapku.
Setelah kepulangan dari Villa Bukit Paoh tadi malam, kami langsung menuju kediaman keluarga istriku.
"Sebenarnya ... aku pingin ngajak kamu ke suatu tempat. Tapi, kamu harus janji dulu, kalo kamu gak akan marah?!"
Aku ini, seperti anak kecil saja!
Vida tampak berkerut dahi. Teka-teki apa yang sedang aku mainkan saat ini? Mungkin begitulah kicauannya di dalam hati. "Maksud kamu?" Bukannya meresponku dengan jawaban, ia malah balik kebingungan.
"Baiklah, begini aja, kamu sekarang siap-siap dulu. Ntar kita langsung pergi ke tempat itu, gimana?"
Istriku itu, ia langsung mengangguk patuh. Bangkit dari kasur, lalu menuju kamar mandi. Aku, yang memang sudah siap sebelumnya, dengan anteng menunggunya sembari bermain ponsel.
...💔...
CEKLEK
Ketika pintu rumah dua lantai itu tersibak sempurna, kupapah tubuh istriku untuk memasukinya. Ia belum bisa menyaksikan apa pun yang berada di hadapannya, karena aku sengaja menutup matanya dengan potongan kain berwarna gelap.
"Sayang ... sebenarnya kamu bawa aku kemana?" Ia tak semena-mena membuka penutup mata itu, sebelum aku mengizinkannya.
Ah, sikapnya yang seperti ini, selalu berhasil membuatku terkesima ... bahkan terpesona.
Bahagia!
Itulah intinya. Bisa mendapatkan pendamping hidup yang benar-benar patuh dalam segala rupa.
"Aku buka ya, satu ... dua ... tiga ...!" Kusibak kain penutup matanya. Sejurus ia masih mengondisikan pandangannya--yang mungkin masih terasa buram. Setelah mengerjap berkali-kali, akhirnya ia bisa menyaksikan bangunan megah dengan sentuhan warna biru muda, kesukaannya.
"Sayang ...!" Ia kembali tersenyum ke arahku, seraya meraih lengan kiriku. "Ini rumah siapa?" tanyanya ingin tahu.
Aku lantas tersenyum menanggapinya. Kuraih telapak tangannya segera, lalu mengecupnya sekilas sebagai ungkapan rasa cinta. "Ini rumah kita," tuturku sembari memadukan kedua netra.
Ia tampak terkesiap. Lalu, membekap mulutnya dengan kedua tangan. Aku rasa ia sedikit tidak percaya akan semua ini. "Ka-kamu ... kamu gak lagi becanda, 'kan?"
Nah, benarkan terkaanku tadi?
Namun, tetap saja, jawabanku tetap sama. "Gaklah, Sayang. Ini kado untuk kamu karena udah mau mengabdikan sisa hidupmu bersamaku."
Bisa kulihat kedua netra abu-abu miliknya sedang berkaca-kaca. Ia sontak mendekat dan memeluk tubuhku dengan erat. "Makasih, Sayang. Makasih atas semuanya." Tubuhnya bergetar hebat. Aku rasa, ia sedang terharu bercampur bahagia.
Kubalas pelukannya sekaligus mengelus pucuk kepalanya. "Gak perlu bilang makasih, Sayang. Kamu emang pantas mendapatkannya. Walaupun kukorbankan seluruh harta yang aku punya, mungkin tak akan bernilai sama dengan apa yang akan kamu berikan padaku nanti."
Vida semakin mengetatkan pelukannya ketika mendengar kalimat terakhirku. Aku tahu, ia hanya terbawa suasana. Dan aku ... juga mengalami hal yang sama.
Namun, tiba-tiba, ia melepaskan rengkuhanya. "Bagaimana dengan mama dan papa, apa mereka setuju kalau kita pindah?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Najwa Aini
Setelah sekian purnama, aku lanjut baca kisah ini.
2022-06-07
0
Lady Meilina (Ig:lady_meilina)
Kak stiap bab terasa pendek ya. Apa cm perasaanku saja? skitr 500 kt ga sih? kdg aku pgn bikin pndek gni tp kok ga bs
2021-12-14
1
Aini
cinta yg manis.
2021-11-01
1