Namun sepersekian detik kemudian, kuputar rotasi badanku kembali menghadap Ranti.
"Ranti, apa aku bisa minta tolong?" pintaku dengan wajah penuh harap.
"Apa sih yang enggak buat kamu, Ib?!" tegasnya sembari mendekatiku. "Kamu mau minta tolong apa?"
Aku tersenyum geli mendengar kalimat itu. Apakah benar ia mau melakukan apapun untukku? Pikiran kotorku mulai berpacu. Namun kali ini, apa pun yang akan aku lakukan, hanyalah untuk mencapai tujuanku.
Sebelum mulai berucap kusapu berkali-kali tengkukku, karena merasa tak enak hati. Atau mungkin permintaanku ini, sangat tidak berperasaan sama sekali.
Maafkan aku Ranti, batinku saat ini.
"Emmm ... apa kamu bisa bantu aku buat dapetin nomor ponselnya, Vida?"
"Hah?" Ranti tampak ternganga. Mungkin ia tidak percaya dengan apa yang sudah didengarnya. "Untuk apa?" tanyanya dengan mode penasaran.
Apa yang harus aku katakan? Haruskah aku jujur padanya? Kicauan hatiku semakin menjadi-jadi.
"Untuk ... untuk menanyakan beberapa sumber buku yang sedang aku cari," jawabku yang tidak tega membuatnya tergores hati.
Dia lantas tersenyum geli karena melihat ekspresi wajahku yang terkesan kikuk dan takut sendiri. "Ngomong gitu aja, susah banget, sih? Ya, udah, nanti aku coba minta sama dia ya, itu pun kalo dikasi."
Aku mengangguk tanda mengerti, lalu mengajak Ranti kembali ke kelas kami.
...💔...
Keesokan harinya, Ranti menyodorkan secarik kertas berukuran kecil kepadaku. Aku yang merasa bingung, lantas menatapnya dengan penuh tanya.
"Ini nomornya si Vida, mau gak?"
Mendengar kalimat itu, aku langsung menerima kertas yang ia serahkan. Di dalam hati kuucapkan--Waktunya untuk berjuang. Dan pastinya Ranti tidak bisa mendengarkan.
Kuucapkan terima kasih banyak kepadanya. Walau bagaimanapun ia telah bersedia membantuku. Tanpa bersikap berlebihan dan terkesan memberinya harapan, aku lantas berlalu menuju perpustakaan.
Sesampainya di sana, ternyata ada pemandangan indah yang bahkan tak terduga.
Vida!
Gadis itu tampak sedang membaca sebuah buku di salah satu meja yang berdekatan dengan jendela.
Duh, cantiknya!
Namun, kalimat itu hanya kuucapkan di dalam hati saja. Sebagai pribadi yang pemalu dan tak banyak bicara, aku bahkan sangat sulit untuk mengekspresikan sebuah perasaan.
Kutambah langkah kakiku menyusuri lorong demi lorong rak buku yang tersusun hampir sepuluh jalur. Perpustakaan di sekolahku termasuk dalam kategori perpustakaan sekolah terbesar sekabupaten. Jadi, wajar saja, jika perpustakaan ini tidak pernah sepi pengunjung. Bahkan ada juga tamu yang datangnya dari luar sekolah.
"Hei ...! Hei, kamu ...!"
Kudengar seruan lirih itu ketika aku baru saja mendudukkan tubuhku di atas salah satu kursi. Perlahan kutoleh ke arah kanan, dan melihat Vida melambaikan tangannya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, pekikku girang di dalam hati.
Aku beranjak dari posisiku yang memang belum sempurna itu, lalu berjalan menghampirinya. "Kamu manggil aku?"
"Iya, kamu yang waktu itu tergilas ban motorku, 'kan?" tanyanya dengan wajah antusias.
Dia masih mengingatku, batinku merasa tersentuh.
Aku mengangguk, lalu ia memintaku untuk duduk berhadapan dengannya. Tentu saja, aku tidak keberatan sama sekali. Karena memang itulah yang aku cari.
Sesekali kucuri pandang terhadapnya yang masih fokus dengan buku bacaan di hadapannya. Level kecantikannya bertambah berkali lipat ketika dilihat dengan jarak dekat.
Kulirik sedikit ke arah bukunya, dan ternyata dia sedang membaca buku kesenian.
"Kamu suka seni?"
"Banget, dan aku paling suka seni tari dan musik."
"Kamu bisa main alat musik?"
"Bisa main gitar sedikit-sedikit, tapi aku lebih suka nyanyi."
"Wah, pasti suara kamu bagus banget."
"Ah, kamu bisa aja. Aku memang bisa nyanyi, tapi tak sehebat kakakku."
Aku mengangguk saja ketika ia mengatakan hal itu, hingga akhirnya konsentrasiku terbuyarkan tatkala ia memanggil sebuah nama.
Aku menoleh ke arah seseorang yang dipanggilnya, karena ia sudah berjalan mendekat ke arah kami.
Bukankah itu kekasihnya? Batinku dalam senyuman getir.
"Nanti pulang sekolah kita latihan, ya, Dik!" tegasnya kepada Vida ketika ia menggapai meja kami. Vida mengangguk patuh berbalut senyuman manis.
Hatiku semakin teriris mendengar percakapan mereka. Hingga akhirnya Vida memperkenalkanku kepada pria tersebut.
"Kak, kenalin ini ...." Vida menggantungkan kalimatnya karena memang ia tidak mengetahui namaku.
Kuulurkan tanganku ke arah pria itu, lalu memperkenalkan diriku. "Ibra ... Ibra Maulana."
Uluran tanganku disambut hangat oleh pria tadi. "Catur ... Catur Setiawan, kakaknya Vida."
JLEB
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Lady Meilina (Ig:lady_meilina)
ngga jadi sad boy braa.. Yes.. Yes.. Yess.. 🤩
2021-12-13
2
ZaZa
Hayyy kamu....iya kamuu😍😍😍
2021-12-08
0
Machan
wahdalah... kakaknya toh. aih, gak jadi potek dong bang
2021-11-20
0