"Tuan tidak memberi tahu Femila kalau tuan akan menetap di Kalimantan?"
Andra terdiam. Tangannya mendadak berhenti memainkan ponsel mendengar Mario menyebut nama Femila. "Untuk apa." Ucapnya kemudian.
"Femila berhak tahu kejadian yang sebenarnya tuan. Bukan hanya menerka-nerka saja. Menerka kalau dirinya tidak pantas untuk tuan karena cacat. Ataupun menerka nyonya tidak setuju karena Femila cacat."
"Bukankah itu kenyataanya, bunda tidak menyetujui pernikahan kami karena Femila yang kini cacat."
"Tuan bisa mengatakan alasan nyonya mengambil sikap seperti itu. Setidaknya itu tidak menjadi jurang penyesalan dalam hidup tuan maupun Femila."
"Seharusnya memang seperti itu. Tapi apa arti semuanya? Hanya menambah asa saya maupun Femila." Batin Andra
Soundscape bandara mengudara menghimbau penumpang maskapai GGG boingxxx tujuan Bandara Udara Syamsudinnoor Kalimantan Selatan untuk segera menaiki pesawat.
"Kita masuk tuan." Ajak Mario kepada tuannya yang terlihat bimbang.
Andra dan Mario pun berdiri dari tempat duduknya memasuki pesawat yang akan mengudara ke tempat dulu pernah dia singgahi. We came back Kalimantan Selatan, Bumi Lambung Mangkurat.
Burung besi itu kini mengudara , meninggalkan seberkas luka yang menganga pada wanita yang menumpu harapan pada seseorang yang telah mengudara di sana.
...****************...
Silla menghentikan langkahnya, menatap sahabat karibnya yang kini duduk menyiram tanaman yang ada di taman rumah. Masih terlihat cantik sahabatnya, walaupun kini badannya sedikit kurusan.
"Hai cantik," sapa Silla.
"Hai, " girang Femila membalas pelukan sahabatnya.
"Maaf baru bisa ke sini."
"Iya, saya tahu kamu sibuk."
"Sudah mendingankan?"
"Ya, kamu bisa lihat sendiri. Saya sudah sangat sehat."
"Syukur deh,"
"Bukankah ini tanaman mawar yang dulu kamu ceritakan?" Tanya Silla melihat lima tanaman mawar merah putih tumbuh lebat dan banyak bunganya dan sedari tadi disirami Femila.
Femila tersenyum mengangguk. "Bunganya indah bukan? Tapi hati-hati, mawar itu tak seindah yang kita lihat, kalau kita salah memegang bisa duri yang kita dapat."
"Itu istemewanya mawar, dia bukan sembarangan bunga yang dapat di sentuh orang karena dibalik keanggunannya dia punya senjata yang menakutkan." Timpal Silla.
"Mengapa kita jadi melankonis begini?" Tawa Femila. Silla pun ikut menertawakan kedramatisan tentang bunga mawar.
"Kapan kembali ke kantor?"
Femila membuang nafas kasar, "Saya tidak tahu Sil." Jawab Femila.
"Emmm...Apa kamu merindukan Andra?" Silla bertanya dengan hati-hati. Merasa penasaran dan iba dengan keadaan sahabatnya yang batal melangsungkan pernikahan.
"Untuk apa merindukannya." Ucap Femila yang jelas-jelas berbanding terbalik dengan pernyataan hatinya.
"Dia memang tak pantas untuk kamu rindukan." Sahut Silla.
"Rasanya begitu sakit Sill, hidup seperti mati." Lirih Femila.
"Kamu pasti kuat Fem, ingat masih banyak orang yang menyayangi kamu, termasuk mama, papa kamu dan sahabatmu ini."
Femila terdiam.
"Mama, papa kamu tidak di rumah?" Tanya Silla mengalihkan pembicaraan karena sejak kedatangannya dia tidak melihat orang tua Femila.
"Mama ke butik ditemani papa."
"Kita jalan-jalan saja yuk, sudah lama kamu tidak menghirup udara luar. Mau semedi berapa lama?"
Femila tersenyum kemudian menganggukkan kepalanya.
"Saya tunjukkan tempat makan baru, dan dijamin enak-enak menu makan di sana." Ucap Silla dengan memegang kemudi mobilnya.
"Ok. Pokoknya saya tinggal ikut kamu."
Dua puluh menit kemudian mereka sampai di tempat makan sea food. Silla tahu kalau teman satunya ini suka pakai banget dengan segala jenis makanan sea food.
"Thanks." Ucap Femila mendapat papahan ketika keluar dari mobil dan Silla menyerahkan kruk-nya Femila.
"Jangan melulu makan udang. Pasti di setiap tempat yang dicari udang."
"Ya,ya, terserah kamu mau kasih menu apa. Yang mau tlaktir-kan kamu."
"Begitu dong. Ganti menu, ganti rasa baru, suasana baru, dan lembaran hidup baru," dengan penekanan Silla mengucapkan lembaran hidup baru bermaksud memberi semangat pada sahabatnya.
Mereka makan siang dan asik ngobrol kanan kiri, sampai lupa hari mulai sore.
"Setiap weekend saya usahain buat main ke kamu. Kalau hari lain, kamu tahu sendiri saya sekarang super sibuk harus handle pekerjaan kamu." Ucap Silla menghentikan laju mobil di depan gerbang rumah. "Ini beneran tidak usah sampai ke dalam rumah."
"Iya, kamu langsung wuss tancap gas, tidak usah parkir dulu." Ucap Femila
"Saya pulang dulu ya," melepas pelukan Femila. "Ba bay..."
Femila melambaikan tangan. Menatap kepergian sahabatnya sampai hilang dari pandangan matanya.
Kakinya melangkah ke dalam rumah, namun dia merasa asing dengan mobil yang terparkir di depan rumahnya. Memandang dengan intens mobil itu dan agak percepat langkahnya ke ruang tamu karena penasaran dengan kedatangan sang tamu.
"Assalamualaikum." Ucapannya seperti tercekat di tenggorokan begitu wajah tamu menoleh ke arah Femila dan menjawab salamnya.
"Waalaikum salam."
Ustadz Mirza dan Habibi berdiri menjawab salam Femila.
"Untuk apa kalian ke sini?" Ketus Femila.
"Saya, mau, mau, ucapkan terima kasih karena kasusnya telah dicabut." Ustadz Mirza menyampaikan kalimat itu dengan susah payah. Merasa takut dengan tanggapan Femila yang tidak dapat dia tebak.
"Saya sudah tidak mau berurusan apapun lagi dengan anda, jadi saya harap ini yang terakhir kali kita bertemu." Ucap Femila melangkah masuk meninggalkan ustadz Mirza dan Habibi.
"Tapi mbak, Femila maksud saya. Sa-.."
"Sudah ustadz, yang penting kita sudah niatan baik untuk berterima kasih." Sanggah Habibi yang menarik tangan ustadz Habibi untuk keluar dari rumah Femila.
"Lepas Bi, kenapa pakai tarik-tarik tangan segala."
Habibi nyengir melihat ekspresi ustadz yang merasa engap tangannya di bekap erat oleh dirinya. "Takut ustadz khilaf ikut masuk ke dalam." Ucap Habibi kemudian melepas pegangan tangannya.
"Apaan Bi, nggak jelas." Menirukan gaya bahasa anak jaman sekarang.
"Buruan masuk Bi." Pinta ustadz pada Habibi yang masih belum masuk ke jok kemudinya.
...****************...
Femila melangkah ragu, tapi rindu yang dipendamnya tak mampu lagi terpendam. Mengalahkan segala rasa ego ataupun malu. Asalkan bertemu dengannya yang mampu mengobati rasa rindu.
Bukan dia tidak mendengar karyawan berbisik membicarakannya dan memandangnya entah dengan iba atau hanya mencelanya. Semua dia tepis hanya untuk menahan perihnya pengobatan rindu.
"Maaf Nona Femila. Apa nona mau menemui Pak Andra?" Tanya resepsionis begitu Femila berhenti di depan resepsionis, tentunya dengan pandangan mata yang berbeda yang ditujukan ke Femila atau mungkin hanya perasaan Femila saja.
"Ya." Jawab singkat Femila.
"Nona Femila tidak tahu kalau-...," ragu melanjutkan kata.
"Kalau apa?" Cerca Femila.
"Emmm...itu, pak- pak Andra sudah tidak di sini."
"Maksud kamu?"
"Dia ke Kalimantan." Seseorang menyahuti pembicaraan Femila dan resepsionis.
Femila langsung menatap ke seorang tersebut. Tidak asing wajah lelaki tampan yang ada di hadapannya sebelas dua belas dengan wajah Andra.
"Kapan om datang?" Sapa Femila menatap orang tersebut yang sudah dikenalnya satu setengah tahun yang lalu, diperkenalkan Andra dalam acara keluarga yang diadakan oleh keluarga Andra. Setiap Om Fery datang ke Jakarta dia juga bertemu dengan Femila tentunya dengan Andra pula.
"Sudah satu minggu ini. Kita ngobrolnya di dalam." Ajak paman Fery melangkah terlebih dahulu.
Femila duduk di hadapan paman Fery, begitu masuk ke ceo room. Ruang yang sangat tak asing untuk Femila namun sekarang sudah di duduki orang lain.
Sebenarnya ada keraguan untuk mengikuti paman Fery masuk ke ceo room namun rasa penasaran kini menggelayutinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Sri Darmayanti
bisa pake kaki palsu....... biar seimbang jalannya
2024-02-17
0
Mommy Gyo
3 like hadir thor
2021-08-26
2
Diary Tika
semangat ya. 😊
2021-07-30
1