Femila terbangun, matanya menatap kearah pintu karena mendengar knop yang diputar.
"Silla...," panggil Femila yang terkejut dengan kedatangan sahabatnya.
Silla langsung menghambur memeluk Femila, memeluk dengan erat sesekali mengusap punggung sahabatnya itu.
"Maaf Fem baru bisa jenguk kamu," ucap Silla.
"Aku seneng sekali denger berita kamu sudah sadar dari koma," lanjutnya yang kemudian melepas pelukannya.
Femila tersenyum melihat gelagat, gerak, dan cara bicara sahabatnya yang memang centil tapi tetap manis dan menyenangkan, "aku senang kamu datang," sahut Femila.
Silla sengaja bersikap seperti biasa. Dia tidak ingin melihat sahabatnya tambah terpuruk dengan keadaan yang menimpanya. Sebisa mungkin kedatangannya harus mengulas senyum di wajah Femila. Terbukti dengan gambaran senyum yang nampak di wajah Femila. Sebenarnya sejak Femila masuk rumah sakit setiap hari Silla selalu datang ke rumah sakit menjenguknya. Memberikan semangat agar sahabatnya bangun dari koma.
"Mama keluar dulu sayang, kamu ngobrol lah dengan Silla," pamit mama Anita sambil mengelus rambut Femila.
Femila mengangguk
"Tolong jaga Femila ya Sill," pinta mama Anita.
"Pasti Tan," jawab Silla dengan menangkupkan tangan ke pelipis seperti hormat bendera.
Mama Anita tersenyum kemudian keluar dari ruangan itu. Femila pun tersenyum melihat tingkah sahabatnya yang selalu over akting.
Tanpa terasa sudah dua jam mereka ngobrol sana-sini, membahas pekerjaan, sedikit ngegosip teman kantor, membahas tekanan atasan kantor, sampai harga kertas yang naik pun dibicarakan dan tak ketinggalan satpam baru yang tampannya mirip aktor Reza Rahadian pun tidak luput dari pembicaraan.
"Sumpah Fem, semakin hari tuh satpam makin cakep aja," kelakar Silla.
"Terus pak Gilang dari bagian humas yang katanya cakep nya seperti aktor Farrell Bramantyo jadi kalah cakep sama satpam barumu itu?" goda Femila.
"Emmm...dua-duanya cakep semua. Saya jadi bingung milihnya," jawab Silla.
"Emang dua-duanya meminta kamu untuk memilih?" protes Femila.
"Tidak juga sih," Silla nyengir mendengar ucapan Femila.
Silla sahabat Femila, kalau bicara memang pembawaannya apa adanya dan humoris. Orangnya selalu membuat Femila tertawa dengan segala tingkah dan bicaranya.
Femila menguap, sepertinya obat yang 15 menit lalu dia minum menyebabkan kantuk. Matanya mulai tak terkontrol lamat-lamat terpejam penuh dengan desiran nafas yang teratur.
Dibelainya rambut Femila, tanpa terasa air mata Silla terjatuh. Air mata yang sedari tadi ditahannya. Mengucur deras membasahi kerah bajunya.
"Aku tahu, kamu wanita yang kuat Fem," lirihnya. Dipandanginya wajah sahabatnya itu. Wajahnya kini disejajarkan dengan Femi dan Silla pun mulai masuk dalam alam mimpinya.
...****************...
"Saya tidak peduli! Dia dosen ataupun anak presiden! Dia harus dihukum setimpalnya!" geram Andra langsung menutup teleponnya.
Lawyer Sinaga memberi kabar kalau terdakwa penabrak Femila seorang dosen. Pihak terdakwa mengajukan banding agar semasa penyidikan bisa keluar dari tahanan dan permintaan itu dikabulkan oleh penyelidik karena selama masa penyidikan terdakwa dianggap kooperatif dan tentunya dengan jaminan yang disetujui oleh pihak penyelidik. Hal inilah yang menyebabkan murka seorang Andra Aksara Barata. Belum lagi pemunduran jadwal meeting yang harusnya pukul satu siang ini diundur dua jam setelahnya. Kalau saja bukan karena setengah sahamnya yang dipertaruhkan untuk proyek ini, dia pasti sudah pergi menemui kekasihnya.
"Kalau lawyer Sinaga tidak becus menangani ini kamu ganti dengan lawyer yang lebih handal," titah Andra pada Mario.
"Setahu saya beliau masih menjadi lawyer yang paling disegani tuan. Integritas dan cerdas."
"Buktinya, menjerat terdakwa saja tidak becus!"
"Baik tuan, saya segera cari penggantinya."
"Kamu siapkan mobil, kita segera ke rumah sakit."
"Maaf tuan, dua jam lagi kita meeting dengan pak Marchell." Rio mengingatkan tuannya.
"Dan, ini sudah lewat jam makan siang. Tuan harus makan siang dulu." Imbuhnya sambil melihat jam yang ada dipergelangan tangannya.
Andra meraup mukanya dengan kasar dan membuang nafasnya dengan cepat. Dia tidak merasakan lapar. Namun, perutnya harus terisi.
"Jangan sampai aku sakit di saat keadaan seperti ini," gumamnya dalam hati untuk menguatkan diri.
"Kita keluar Rio!"
"Kemana tuan?"
"Mengantar ke makam kamu!"
"Maaf tuan." Menciut nyali Mario.
"Selalu saja mengancam ke makam. Saya masih hidup dan masih ingin hidup, jomblo lagi dan belum merasakan surga dunia." Gerutu Mario, tentunya di dalam batin tidak mungkin diutarakan ke tuannya.
Mario berjalan mengekor tuannya yang dengan cepat melangkah dari ruang kerjanya.
...****************...
Tok ..tok...tok....
Suara ketokan pintu membangunkan Silla dan Femila. Dengan langkah berat Silla jalan ke pintu, dibukanya pintu.
"Waalaikum salam." Jawab Silla sambil membukakan pintu. Menatap dengan bingung wajah asing yang ada di depannya. "Ada perlu apa mas?" Tanyanya kemudian.
"Benarkah ini kamar pasien atas nama Femila Amore Ibrahim?"
Silla menatap ragu pada sosok yang ada di depannya. Memang penampilannya rapi dan jauh dari kesan seorang preman ataupun penjahat. Putih bersih kulitnya, mancung hidungnya, tegap gagah perawakannya. Namun sudah lama dia berteman dengan Femila untuk sekalipun tidak pernah melihatnya.
"Mbak..."
Suara itu membuyarkan selidik Silla.
"Ya ada perlu apa mas?" Kembali Silla menanyakan hal yang sama.
"Ada hal yang perlu saya sampaikan padanya."
"Emmm...silahkan masuk." Walaupun sedikit keraguan membesut di otak untuk mempersilahkannya bertemu dengan Femila.
Femila yang bersandar pada ranjang tidurnya menatap orang yang ada di depannya dengan menelisik.
Orang itu menatap ke wajah Femila kemudian tersenyum sambil menganggukkan kepala sebagai tanda salam kemudian menatap intens ke kaki Femila. " Assalamu Alaikum..." Ucapnya kemudian sambil menangkupkan kedua tangan sejajar dengan dadanya.
"Waalaikum salam." Jawab Femila dengan suara berat karena terbesit keraguan dalam dirinya.
"Saya ke sini ingin menjenguk mbak Femila sekaligus meminta maaf kepada mbak Femila." Ucapnya.
"Kamu siapa?" Ketus Femila.
"Saya Mirza, terdakwa kasus kecelakaan yang dialami mbak Femila." Ucap Mirza dengan nada penyesalan.
deg.
Gejolak emosi tiba-tiba muncul dari Femila.
"Untuk apa kamu datang ke sini!" Suara Femila meninggi dengan nafas yang tak beraturan.
"Femi, tenanglah..." Silla mendekap Femila yang mulai tak terkontrol.
"Lihat! Apa kamu puas! Aku cacat! " Masih dengan emosi Femila menyibakkan selimut yang menutupi kakinya. " Pergi dari sini!" titah Femila sambil menunjuk Mirza untuk keluar dari ruangannya.
"Mas saya mohon cepat keluar." Pinta Silla.
"Ba-baiklah semoga mbak cepat sembuh. Sekali lagi saya minta maaf." Ucap Mirza kemudian dengan langkah berat berlalu dari ruangan itu.
Sebenarnya Silla juga menatap tak percaya melihat kaki Femila. Baru pertama kali dia melihat kaki Femila yang memang sudah hilang satu. Walaupun dia sendiri sudah tahu kalau kaki Femila diamputasi namun dia tak sanggup membuka selimut yang menyelimuti kaki sahabatnya itu. Femila masih menangis dalam dekapan Silla. Sesekali diusap punggung sahabatnya untuk menenangkan pikiran sahabatnya.
Sungguh sangat berat yang dilalui sahabatnya. Menyandang difabel yang tiba-tiba berlabel pada dirinya, siapapun pada posisi ini pasti akan tergoncang psikologisnya. "Kamu pasti kuat Fem," lirih Silla masih mengusap punggung Femila.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
bubi
😘
2023-07-11
2
Subaedah Sambara
aku sukaaa .lanjut
2022-01-03
0
Safira ✨
oke next
2021-09-06
1