Noda
Gemuruh hujan yang mengguyur kota sejak pagi, juga gelegar petir yang menyambar melanglang buana, tak menggoyahkan aktivitasku saat ini. Aku duduk sendiri di tepi ranjang, sembari memegangi benda pipih berwarna putih.
Perasaan dalam dada bergejolak, aku benar-benar takut akan kemungkinan terburuk yang terjadi padaku. Tamu yang biasanya datang sejak tanggal muda, kini tak kunjung muncul hingga tanggal tua. Aku was-was, khawatir ada yang tidak benar dengan diriku.
"Semoga saja garisnya hanya satu," gumamku seorang diri. Lantas aku memejamkan mata, belum berani menatap hasil tes yang akan muncul beberapa detik lagi.
Setelah sekian menit menutup mata, akhirnya aku membuka dengan perlahan. Jantungku berdegub kencang tatkala menatap ujung tes pack yang kupegang dengan kedua jemari.
Ekor mataku semakin melirik ke kanan, menilik hasil tes dalam diriku. Dan detik selanjutnya, detak jantungku seakan berhenti seketika. Mataku memanas, dan tubuhku gemetaran. Dua garis merah yang terpampang dengan jelas, seolah memadamkan seluruh lentera dalam dunia.
"Tidak, ini tidak mungkin!" ratapku tanpa daya.
Tanpa kusadari, benda itu jatuh begitu saja. Tenaga dalam tubuhku seakan sirna tanpa sisa. Air mata mulai berjatuhan, membasahi pipi dan pangkuan. Harapan, cita-cita, serta semua mimpi yang nyaris kugapai, kini semua dipertaruhkan. Akankah aku masih mampu meraih mimpi itu, jika diriku saja kini telah ternoda. Seperti apa jalan hidupku setelah ini?
Aku merosot dari tepi ranjang, dinginnya lantai tak lagi kupedulikan. Aku duduk lesu sembari memeluk lutut. Mataku nanar menatap benda pipih yang tergeletak di dekat jemari kaki.
Kusembunyikan wajah di antara dua lutut, kutumpahkan tangisku di sana, hingga celana yang kupakai basah karenanya. Detik ini, aku benar-benar merasa hancur. Aku menyadari kebodohan yang kulakukan menjadi petaka bagi diriku sendiri.
Di kala aku masih larut dalam tangis, samar-samar kudengar ponselku berdering berulang kali. Akan tetapi aku tak peduli, aku sedang meratapi penyesalan yang entah seperti apa ujungnya nanti.
"Ra, sejak pagi lho kamu belum makan!"
Teriakan Ibu terdengar menggema diluar ruangan, beriringan dengan bunyi ketukan di pintu kamar.
"Iya Bu, aku masih mengerjakan tugas, sebentar lagi selesai," jawabku dengan nada yang bergetar.
"Kamu nangis, ya?" tanya Ibu dari luar.
"Tidak Bu, aku hanya sedikit flu," sahutku berbohong.
"Ya sudah, kalau begitu ditinggal dulu tugasnya. Makan, setelah itu istirahat!" kata Ibu, lembut dan penuh kasih sayang.
"Iya, Bu," ujarku pelan, entah bisa didengar Ibu atau tidak.
"Bagaimana perasaan Ibu jika tahu apa yang terjadi pada diriku?" Aku membatin sembari memejamkan mata, membayangkan berbagai kemungkinan buruk setelah semuanya terungkap.
"Ibu pasti sakit hati dan kecewa. Kenapa aku bisa sebodoh ini?" Aku memegangi kepala dengan erat. Rasa pening dan sakit seakan-akan menusuk setiap rongga dalam otak.
Kirana Mentari, nama yang telah kusandang sejak 22 tahun yang lalu. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara, dan aku adalah satu-satunya anak perempuan yang dimiliki Ibu dan Ayah. Kedua kakakku sudah menikah, masing-masing memiliki seorang putri. Sedangkan aku masih menjadi mahasiswi di salah satu universitas, di Kota Malang.
Keluargaku bukan termasuk jajaran orang kaya, kami hidup dalam kesederhanaan. Ayahku bekerja sebagai supir angkot, sedangkan Ibu mengumpulkan recehan dari kue-kue basah yang dijajakan di pinggir jalan.
Mereka banting tulang demi memenuhi biaya kuliahku. Mereka sangat bangga dengan cita-citaku yang ingin menjadi Guru Bahasa Indonesia. Mereka sangat menyayangiku, bahkan tak mengizinkan aku mencari kerja sampingan. Tugasku hanya belajar dan belajar, sedangkan masalah biaya, aku tak boleh ikut memikirkannya.
Di tengah lamunan, aku mengusap perut yang masih rata. Di dalam sana ada nyawa lain yang mulai bersemayam. Nyawa yang sebenarnya belum kuharapkan kehadirannya.
Menurut rencana, empat bulan lagi aku mulai magang di Sekolah Dasar yang tak jauh dari rumah. Namun entahlah, setelah aku menyadari kenyataan pahit ini, rasa takut perlahan membelenggu hati dan pikiran.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumamku dengan tangis yang tak kunjung reda.
Beberapa detik berlalu, dan lagi-lagi kudengar ponselku berdering. Aku langsung teringat dengan satu nama, Rafael Daniel Vernandez. Lelaki yang kerap disapa Daniel, dia adalah lelaki yang menyandang status kekasih sejak dua tahun yang lalu. Dia adalah Ayah dari bayi yang mulai tumbuh dirahimku.
"Aku harus bicara dengan Daniel." Aku beranjak dari dudukku. Kusapu sisa-sisa air mata dengan lengan baju.
Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas ranjang, kulihat ada lima panggilan tak terjawab dari Daniel. Tanpa banyak kata, aku mengusap tombol hijau yang tertera di sana. Kutelepon seseorang yang kuberi nama 'Cinta'.
"Hallo, Ra, kamu baik-baik aja, kan? Dari tadi aku hubungi kamu, tapi nggak ada respon sama sekali, ada apa?"
Belum sempat aku membuka suara, Daniel sudah mencecarku dengan pertanyaan panjang.
"Daniel!" panggilku pelan.
"Ada apa, Ra? Suaramu kok serak gitu, nggak lagi nangis, kan?"
Kudengar suaranya menyiratkan kekhawatiran, hingga tanpa sadar kutarik kedua ujung bibir membentuk senyuman.
Daniel, dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah. Selalu sayang, perhatian, dan sangat peduli. Aku melihat ketulusan cinta dari sorot mata yang ia pancarkan. Hanya saja ia memiliki satu kekurangan, yakni sering mengajakku melakukan hal tabu. Dan anehnya, aku selalu meluluskan ajakan itu, bahkan aku senantiasa menikmatinya. Entah di mana logikaku, setiap kali dekat dengannya, aku selalu kehilangan akal sehat.
"Kirana!"
"Aku, aku memang lagi nangis, Niel," ucapku lirih.
"Ada masalah apa, Kirana? Ayo cerita sama aku!"
Kudengar suaranya penuh kekhawatiran. Satu hal yang paling dia benci adalah air mataku.
"Daniel, masalah ini cukup berat. Aku tidak bisa menceritakannya di telepon. Bagaimana kalau kita ketemuan sekarang, mumpung belum petang." Kulangkahkan kaki ke samping ranjang. Kupungut kembali benda pipih yang sempat kutelantarkan.
"Kirana, maaf ya. Sekarang aku masih di Surabaya, ikut Papa belanja, mungkin pulangnya larut malam. Bagaimana kalau besok pagi saja?"
Aku memijit pelipis sambil menghela napas panjang. Sebenarnya, sejak tadi malam Daniel sudah bercerita. Dia akan ikut ayahnya ke Surabaya, karena hari ini dia tidak ada kelas. Terlalu memikirkan masalah yang mendera, aku sampai lupa dengan hal itu.
"Kirana!" Lagi-lagi suaranya mengalun merdu memanggilku.
"Baiklah, besok saja," ujarku pelan.
"Maafkan aku ya, Ra. Kali ini aku tidak ada di saat kamu butuh sandaran. Tapi Ra, tidak bisakah kamu cerita sedikit saja, agar bebanmu sedikit berkurang."
Cukup lama aku menata hati, merangkai kalimat yang tepat untuk menjelaskan semuanya. Namun belum sempat aku melontarkan sepatah kata, sambungan telepon terputus begitu saja.
Aku berdecak kesal kala menatap layar ponsel, "kenapa harus sekarang matinya."
Kulemparkan ponsel ke atas ranjang dengan kasar. Jengkel karena baterainya habis di saat yang tidak tepat. Lantas kusimpan benda pipih yang sedari tadi masih kugenggam, aku tidak ingin Ayah dan Ibu tahu tentang kehamilanku. Walaupun aku yakin, tidak selamanya bisa menyembunyikan hal ini. Namun untuk sekarang, aku sama sekali belum siap.
Lantas kurebahkan tubuhku di atas sprei putih. Kusandarkan kepala di atas bantal, kutatap langit-langit kamar dengan nanar. Kilasan balik tentang masa lalu, berputar dalam pikiran. Dua tahun silam, pertama kalinya aku menatap sepasang manik cokelat milik Daniel.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
fanthaliyya
mampir kesini setelah baca Maureen dan Jeevan ....moga cerita ini jg berkesan
2022-10-14
1
Rahmawaty❣️
Jd dsni critanya mreka berbeda keyakinan,,
Hrs nya judul nya ' antara cinta dan keyakinan '
😁😁
2022-10-02
0
Auliayulie
nemu d fb ..jd coba bc ...dan ternyata cukup bagus dan menarik
2022-02-09
1