Gemuruh hujan yang mengguyur kota sejak pagi, juga gelegar petir yang menyambar melanglang buana, tak menggoyahkan aktivitasku saat ini. Aku duduk sendiri di tepi ranjang, sembari memegangi benda pipih berwarna putih.
Perasaan dalam dada bergejolak, aku benar-benar takut akan kemungkinan terburuk yang terjadi padaku. Tamu yang biasanya datang sejak tanggal muda, kini tak kunjung muncul hingga tanggal tua. Aku was-was, khawatir ada yang tidak benar dengan diriku.
"Semoga saja garisnya hanya satu," gumamku seorang diri. Lantas aku memejamkan mata, belum berani menatap hasil tes yang akan muncul beberapa detik lagi.
Setelah sekian menit menutup mata, akhirnya aku membuka dengan perlahan. Jantungku berdegub kencang tatkala menatap ujung tes pack yang kupegang dengan kedua jemari.
Ekor mataku semakin melirik ke kanan, menilik hasil tes dalam diriku. Dan detik selanjutnya, detak jantungku seakan berhenti seketika. Mataku memanas, dan tubuhku gemetaran. Dua garis merah yang terpampang dengan jelas, seolah memadamkan seluruh lentera dalam dunia.
"Tidak, ini tidak mungkin!" ratapku tanpa daya.
Tanpa kusadari, benda itu jatuh begitu saja. Tenaga dalam tubuhku seakan sirna tanpa sisa. Air mata mulai berjatuhan, membasahi pipi dan pangkuan. Harapan, cita-cita, serta semua mimpi yang nyaris kugapai, kini semua dipertaruhkan. Akankah aku masih mampu meraih mimpi itu, jika diriku saja kini telah ternoda. Seperti apa jalan hidupku setelah ini?
Aku merosot dari tepi ranjang, dinginnya lantai tak lagi kupedulikan. Aku duduk lesu sembari memeluk lutut. Mataku nanar menatap benda pipih yang tergeletak di dekat jemari kaki.
Kusembunyikan wajah di antara dua lutut, kutumpahkan tangisku di sana, hingga celana yang kupakai basah karenanya. Detik ini, aku benar-benar merasa hancur. Aku menyadari kebodohan yang kulakukan menjadi petaka bagi diriku sendiri.
Di kala aku masih larut dalam tangis, samar-samar kudengar ponselku berdering berulang kali. Akan tetapi aku tak peduli, aku sedang meratapi penyesalan yang entah seperti apa ujungnya nanti.
"Ra, sejak pagi lho kamu belum makan!"
Teriakan Ibu terdengar menggema diluar ruangan, beriringan dengan bunyi ketukan di pintu kamar.
"Iya Bu, aku masih mengerjakan tugas, sebentar lagi selesai," jawabku dengan nada yang bergetar.
"Kamu nangis, ya?" tanya Ibu dari luar.
"Tidak Bu, aku hanya sedikit flu," sahutku berbohong.
"Ya sudah, kalau begitu ditinggal dulu tugasnya. Makan, setelah itu istirahat!" kata Ibu, lembut dan penuh kasih sayang.
"Iya, Bu," ujarku pelan, entah bisa didengar Ibu atau tidak.
"Bagaimana perasaan Ibu jika tahu apa yang terjadi pada diriku?" Aku membatin sembari memejamkan mata, membayangkan berbagai kemungkinan buruk setelah semuanya terungkap.
"Ibu pasti sakit hati dan kecewa. Kenapa aku bisa sebodoh ini?" Aku memegangi kepala dengan erat. Rasa pening dan sakit seakan-akan menusuk setiap rongga dalam otak.
Kirana Mentari, nama yang telah kusandang sejak 22 tahun yang lalu. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara, dan aku adalah satu-satunya anak perempuan yang dimiliki Ibu dan Ayah. Kedua kakakku sudah menikah, masing-masing memiliki seorang putri. Sedangkan aku masih menjadi mahasiswi di salah satu universitas, di Kota Malang.
Keluargaku bukan termasuk jajaran orang kaya, kami hidup dalam kesederhanaan. Ayahku bekerja sebagai supir angkot, sedangkan Ibu mengumpulkan recehan dari kue-kue basah yang dijajakan di pinggir jalan.
Mereka banting tulang demi memenuhi biaya kuliahku. Mereka sangat bangga dengan cita-citaku yang ingin menjadi Guru Bahasa Indonesia. Mereka sangat menyayangiku, bahkan tak mengizinkan aku mencari kerja sampingan. Tugasku hanya belajar dan belajar, sedangkan masalah biaya, aku tak boleh ikut memikirkannya.
Di tengah lamunan, aku mengusap perut yang masih rata. Di dalam sana ada nyawa lain yang mulai bersemayam. Nyawa yang sebenarnya belum kuharapkan kehadirannya.
Menurut rencana, empat bulan lagi aku mulai magang di Sekolah Dasar yang tak jauh dari rumah. Namun entahlah, setelah aku menyadari kenyataan pahit ini, rasa takut perlahan membelenggu hati dan pikiran.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumamku dengan tangis yang tak kunjung reda.
Beberapa detik berlalu, dan lagi-lagi kudengar ponselku berdering. Aku langsung teringat dengan satu nama, Rafael Daniel Vernandez. Lelaki yang kerap disapa Daniel, dia adalah lelaki yang menyandang status kekasih sejak dua tahun yang lalu. Dia adalah Ayah dari bayi yang mulai tumbuh dirahimku.
"Aku harus bicara dengan Daniel." Aku beranjak dari dudukku. Kusapu sisa-sisa air mata dengan lengan baju.
Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas ranjang, kulihat ada lima panggilan tak terjawab dari Daniel. Tanpa banyak kata, aku mengusap tombol hijau yang tertera di sana. Kutelepon seseorang yang kuberi nama 'Cinta'.
"Hallo, Ra, kamu baik-baik aja, kan? Dari tadi aku hubungi kamu, tapi nggak ada respon sama sekali, ada apa?"
Belum sempat aku membuka suara, Daniel sudah mencecarku dengan pertanyaan panjang.
"Daniel!" panggilku pelan.
"Ada apa, Ra? Suaramu kok serak gitu, nggak lagi nangis, kan?"
Kudengar suaranya menyiratkan kekhawatiran, hingga tanpa sadar kutarik kedua ujung bibir membentuk senyuman.
Daniel, dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah. Selalu sayang, perhatian, dan sangat peduli. Aku melihat ketulusan cinta dari sorot mata yang ia pancarkan. Hanya saja ia memiliki satu kekurangan, yakni sering mengajakku melakukan hal tabu. Dan anehnya, aku selalu meluluskan ajakan itu, bahkan aku senantiasa menikmatinya. Entah di mana logikaku, setiap kali dekat dengannya, aku selalu kehilangan akal sehat.
"Kirana!"
"Aku, aku memang lagi nangis, Niel," ucapku lirih.
"Ada masalah apa, Kirana? Ayo cerita sama aku!"
Kudengar suaranya penuh kekhawatiran. Satu hal yang paling dia benci adalah air mataku.
"Daniel, masalah ini cukup berat. Aku tidak bisa menceritakannya di telepon. Bagaimana kalau kita ketemuan sekarang, mumpung belum petang." Kulangkahkan kaki ke samping ranjang. Kupungut kembali benda pipih yang sempat kutelantarkan.
"Kirana, maaf ya. Sekarang aku masih di Surabaya, ikut Papa belanja, mungkin pulangnya larut malam. Bagaimana kalau besok pagi saja?"
Aku memijit pelipis sambil menghela napas panjang. Sebenarnya, sejak tadi malam Daniel sudah bercerita. Dia akan ikut ayahnya ke Surabaya, karena hari ini dia tidak ada kelas. Terlalu memikirkan masalah yang mendera, aku sampai lupa dengan hal itu.
"Kirana!" Lagi-lagi suaranya mengalun merdu memanggilku.
"Baiklah, besok saja," ujarku pelan.
"Maafkan aku ya, Ra. Kali ini aku tidak ada di saat kamu butuh sandaran. Tapi Ra, tidak bisakah kamu cerita sedikit saja, agar bebanmu sedikit berkurang."
Cukup lama aku menata hati, merangkai kalimat yang tepat untuk menjelaskan semuanya. Namun belum sempat aku melontarkan sepatah kata, sambungan telepon terputus begitu saja.
Aku berdecak kesal kala menatap layar ponsel, "kenapa harus sekarang matinya."
Kulemparkan ponsel ke atas ranjang dengan kasar. Jengkel karena baterainya habis di saat yang tidak tepat. Lantas kusimpan benda pipih yang sedari tadi masih kugenggam, aku tidak ingin Ayah dan Ibu tahu tentang kehamilanku. Walaupun aku yakin, tidak selamanya bisa menyembunyikan hal ini. Namun untuk sekarang, aku sama sekali belum siap.
Lantas kurebahkan tubuhku di atas sprei putih. Kusandarkan kepala di atas bantal, kutatap langit-langit kamar dengan nanar. Kilasan balik tentang masa lalu, berputar dalam pikiran. Dua tahun silam, pertama kalinya aku menatap sepasang manik cokelat milik Daniel.
Bersambung...
Semburat sinar jingga dari sang surya yang mulai menyapa, mengiringi langkahku yang sedikit tergesa. Aku terus mengayunkan kaki, sembari menghirup semerbak wangi mawar yang tumbuh di sepanjang jalan. Desir angin, berembus pelan menggoyangkan dedaunan. Menjatuhkan buliran embun yang sebening kristal.
Sesekali kulirik jarum jam yang melingkar di lengan kiri, sudah pukul 06.00. Lantas aku semakin mempercepat langkah. Letak kampus masih cukup jauh dari tempatku saat ini, sedangkan aku harus tiba di sana sebelum pukul 06.30.
Hari ini adalah hari ulang tahun Universitas Trijaya, universitas yang menjadi tempatku mengenyam pendidikan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kampus merayakannya dengan acara pentas seni. Semua mahasiswa dan mahasiswi diperkenankan andil dalam acara ini. Menyanyi solo, band, dance, deklamasi, ataupun bakat yang lain. Acara tahunan ini adalah ajang untuk menampilkan talenta, baik bagi mahasiswa senior, maupun mahasiswa baru.
Aku sudah dua tahun mengejar ilmu di sana, dan aku juga ikut berperan dalam acara itu. Aku akan mendeklamasikan puisi yang kubuat sendiri. Sejak kecil, aku sangat gemar menulis sajak. Setiap kali rasa sedih mendera, aku selalu menuangkan emosiku dalam aksara. Itu sebabnya, aku memilih jurusan Bahasa Indonesia dan Sastra.
Beberapa menit kemudian, bangunan kampus yang kokoh mulai tertangkap kornea. Aku tersenyum lebar sambil berlari-lari kecil menuju pintu gerbang. Kulihat sudah banyak mahasiswa yang berlalu-lalang di sana.
Menit berikutnya, langkahku terhenti karena menabrak sosok asing yang tiba-tiba muncul di depan mata. Aku nyaris terjatuh, namun untungnya dia menarik tanganku dengan cepat. Lantas kami berdua saling berdiri dalam jarak yang teramat dekat. Sepasang netraku menatap, menilik manik matanya yang kecokelatan.
"Kamu tidak apa-apa?"
Pertanyaannya menyadarkan aku dari lamunan, lalu dengan cepat aku membuang pandangan. Rasa malu perlahan menghampiri, kala mengingat tatapanku yang cukup lama tertuju padanya. Kendati demikian, aku masih belum menepis tangannya yang menggenggam lenganku dengan erat.
"Tidak, aku tidak apa-apa," jawabku dengan pelan.
"Maaf ya, aku menghalangi jalanmu." Dia tersenyum sembari melepaskan genggamannya.
"Tidak apa-apa, justru aku yang seharusnya minta maaf. 'Kan aku yang menabrakmu," sahutku dengan senyum lebar.
"Kalau begitu saling memaafkan saja, lebih indah, 'kan?"
Kulihat dia menaikkan kedua alisnya, dan entah kenapa hal itu sangat menarik perhatianku. Tanpa sebab yang pasti, jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat dari beberapa detik lalu.
"Nama kamu siapa?"
Lagi-lagi kudengar suaranya mengalun begitu saja. Mungkin karena aku diam, jadi dia berinisiatif untuk bertanya.
"Kirana," jawabku masih dengan senyuman.
"Kirana, nama yang cantik. Sangat cocok dengan wajahmu yang anggun dan ceria."
Aku menunduk, menyembunyikan wajahku yang mulai memanas. Mendengar pujian sederhana darinya, sanubari ini berbunga-bunga. Kirana Mentari, artinya cahaya matahari. Sesungguhnya aku heran, kenapa Ibu memberiku nama itu. Aku lahir dini hari, bersamaan dengan hujan yang turun mengguyur kota. Tidak ada sinar bintang, bulan, apalagi matahari.
"Rafael Daniel Vernandez, orang-orang sering memanggilku Daniel. Tapi aku tidak keberatan, andai saja kau ingin memanggilku dengan nama yang lain."
Kulihat dia tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke arahku. Lantas aku menyambutnya. Dan seakan ada aliran listrik yang menyengat tubuhku, tatkala kulit kami saling bersentuhan.
"Kamu kuliah di sini?" tanya Daniel. Suaranya terdengar ringan, seperti tanpa beban. Berbeda jauh dengan diriku yang sangat gugup dan salah tingkah.
"Iya."
"Semangat ya, semoga harimu menyenangkan!"
Dia menepuk pundakku dua kali, kamudian pergi meninggalkan aku yang masih terpaku.
"Daniel."
Tanpa sadar aku menggerakkan bibir, dan menggumamkan namanya. Entah siapa dia, kenapa sekali temu saja perhatianku sudah tercuri olehnya.
"Woi! Pagi-pagi udah ngelamun!"
Teriak seseorang sambil menepuk punggungku dari belakang.
Tanpa menatap pun aku tahu siapa dia. Suaranya yang cempreng, serta tawa yang keras jauh dari kata anggun. Membuatku langsung yakin jika dia adalah Mayra. Salah satu sahabat dekatku di universitas ini.
"Bisa nggak sih May, kalau nyapa orang itu yang sopan dikit." Aku menyindir sembari memutar bola mata.
"Aku tadi sudah berkali-kali manggil kamu, dengan suara yang anggun, dan sikap yang lembah lembut, persis putri di zaman dinasti kuno. Tapi kamu diem aja, cuek bebek, nggak menghargai usahaku yang sudah mencapai batas maksimal," celoteh Mayra dengan cepat dan tanpa jeda.
Cerewet, mungkin itulah satu kata yang paling tepat untuk menggambarkan dirinya. Kendati demikian, dia adalah gadis yang ramah, jujur, dan sederhana. Meskipun sebenarnya, dia adalah anak dari pengusaha kaya raya yang cukup berpengaruh di Kota Malang.
"Iyakah, kok aku nggak dengar ya?"
"Kamu ngelamun. Eh tunggu-tunggu, kok mukamu merah, Ra? Kenapa, lagi jatuh cinta, ya?" Mayra menatapku sambil tersenyum lebar.
"Enggak ada." Kupalingkan pandangan, tak ingin Mayra menilik wajahku lebih jeli lagi.
"Eh beneran, Ra. Mukamu merah, aku nggak bohong. Hayo ngaku, kamu tadi ketemu siapa?"
Mayra terus berbicara sembari mengikuti langkahku yang mulai pergi meninggalkannya.
"Ra, tunggu!" teriak Mayra.
Kala itu, jarak kita memang cukup jauh. Aku terus mempercepat langkah, sambil berusaha menepis bayangan Daniel.
"Ra, tunggu!"
Aku menghentikan langkah, saat mendengar teriakan Mayra untuk yang kesekian kalinya.
"Pagi-pagi udah ngajak lari-lari, kalau make up ini luntur tanggung jawab, ya," gerutu Mayra.
"Olahraga May, biar sehat," jawabku dengan asal.
"Aku udah sehat, lihat nih, sempurna 'kan?" Mayra berkacak pinggang, sambil berputar pelan. Memamirkan postur tubuhnya yang memang sempurna.
"Kok pinggangmu sedikit berisi, May," gumamku menggoda Mayra. Dia adalah gadis yang senantiasa menjaga berat badan, dia akan kalang-kabut jika ada yang menyebutnya gemuk.
"Kamu serius, Ra?" Mayra menatapku dengan tajam. Membuatku merasa geli, dan gagal menahan tawa.
"Kamu bohongin aku, ya. Dasar reseh!" gerutu Mayra.
"Hei, buruan! Bentar lagi acaranya dimulai, kalian lama banget sih!" teriak seseorang dari kejauhan.
Aku menatap ke sumber suara, dan kudapati sosok Nindi sedang berdiri di dekat parkiran. Dia adalah sahabat kami, diantara kita bertiga, Nindi adalah gadis yang paling bijak.
"Ayo cepat, semua sudah siap-siap! Teman-temanmu sudah ganti kostum lho, May," ucap Nindi, ketika aku dan Mayra sudah berdiri di hadapannya.
"Semalam aku lupa memasang alarm, jadi bangunnya kesiangan deh," jawab Mayra.
Lantas kami bertiga melangkah cepat menuju aula.
"Puisimu gimana, Ra? Sudah beres, 'kan?" tanya Nindi.
"Sudah dong," jawabku dengan senyum lebar. Memamirkan gigi gingsul dan lesung pipit yang menjadi kebanggaanku.
"Keren!" Nindi memujiku sambil mengacungkan dua jempol.
Dalam acara kali ini, aku dan kedua sahabatku tidak tampil bersama. Karena punya hobi dalam dunia musik, Mayra akan tampil sebagai dancer bersama teman yang lainnya. Sedangkan Nindi, dia memilih untuk menjadi penonton. Kendati dia cerdas dan bijak, namun dia sangat pemalu. Tidak punya kepercayaan diri untuk tampil di depan umum.
Kami terus melangkah, sambil berbincang dan sesekali tertawa. Walapun kami berbeda, namun persahabatan terjalin dengan erat.
Aku dan Nindi adalah gadis yang terlahir di tengah keluarga sederhana, berbeda jauh dengan Mayra. Sedangkan Nindi, dia adalah gadis non Muslim. Keyakinannya berbeda dengan aku dan Mayra. Namun, kami menjadikan perbedaan itu sebagai warna yang memperindah tali persahabatan.
Bersambung...
Jarum jam terus berputar, hingga kini menunjukkan tepat pukul 08.00 pagi. Di dalam aula yang sudah disulap bak studio, aku bersama teman-teman lain berkumpul dalam ruangan ini.
Acara dibuka dengan beberapa sambutan, baik dari kepala dosen, maupun dari beberapa orang yang ikut andil dalam pembanguan Universitas Trijaya. Bermacam-macam nasihat dan motivasi mereka sampaikan, demi menyemangati anak didiknya.
Dari balik panggung, aku juga ikut mendengarkan. Dan aku termotivasi pada satu kalimat yang diucapkan oleh kepala dosen.
"Hanya mengandalkan ketelatenan, tetesan air mampu melubangi kerasnya bebatuan. Mari kita belajar darinya, berbekal kesabaran dan keuletan, sedikit demi sedikit keberhasilan dapat kita raih. Intinya, seperti apapun keadaan, jangan pernah menyerah dalam usaha."
Aku tersenyum kala mendengar suaranya yang lantang.
"Aku akan seperti tetesan air, sabar dan terus berusaha. Walaupun hidupku sederhana, tapi suatu saat nanti aku akan menjadi guru. Aku akan membuat Ayah dan Ibu bangga," batinku, berjanji pada diri sendiri.
Hampir dua jam aku dan kawan-kawan duduk manis, mendengarkan setiap petuah yang terselip dalam setiap sambutan. Dan akhirnya, tiba juga giliran kami untuk bergantian menunjukkan talenta.
Alunan musik mulai terdengar menggema, salah satu band senior sudah beraksi di atas panggung. Teriakan para gadis juga ikut mewarnai jalannya acara. Darren Alvando, sang vocalis dari band tersebut adalah lelaki yang katanya paling tampan di kampus ini. Namun aku tak sependapat dengan mereka, bagiku Darren adalah lelaki biasa.
Aku masih bergeming di tempatku. Tak ada sedikit pun niat untuk beranjak dan menengoknya. Berkali-kali kawan mengajakku melihat, namun aku selalu menjawabnya dengan gelengan kepala.
Acara sudah berlangsung cukup lama, tetapi aku masih betah dengan posisiku. Aku baru beranjak saat tiba giliran Mayra. Hanya dia satu-satunya peserta yang akan kutonton.
"Semangat May," ucapku kala Mayra akan naik ke panggung.
"Makasih Ra, kamu nanti juga semangat ya!" jawab Mayra.
"Pasti," ucapku penuh percaya diri. Walau sebenarnya di dalam hati aku kurang semangat. Aku mendapat giliran paling akhir, dan biasanya saat itu sudah banyak insan yang meninggalkan aula. Apalagi puisi bukanlah hal yang diminati banyak orang, aku khawatir penampilanku tidak mendapat apresiasi.
Beberapa menit lamanya, aku terhanyut dalam tarian yang Mayra bawakan. Tubuhnya lincah meliuk ke sana ke mari mengikuti irama. Aku menyunggingkan senyuman, dalam hati aku sangat memuji bakatnya.
Setelah Mayra turun, aku kembali ke tempat semula. Duduk dalam diam sembari mendengarkan alunan musik yang terus menggema.
Selang satu jam, aku beranjak dari dudukku. Kini sudah tiba giliranku untuk naik ke atas panggung.
Kuhela napas panjang, dan kukeluarkan dengan pelan. Aku menata hati sambil mengayunkan kaki. Bunyi ketukan high hells yang kukenakan, menandakan jika diri ini sudah tiba di atas panggung. Kusibakkan rambut panjangku yang tergerai, kutatap beberapa insan yang masih setia di bawah panggung.
Sembari melambaikan tangan, aku mengulas senyum manis. Di antara banyaknya mahasiswa, aku melihat sosok Nindi sedang bersorak girang. Dia menyemangatiku dari bawah sana.
Sang pembawa acara memberikan microphone padaku, lantas aku menerimanya dan mulai membuka suara.
Setelah mengucapkan salam, dan menyapa dengan ramah tamah, kini aku melantunkan sajak yang kuciptakan sendiri.
"Sayup samar lentera meremang
Seiring asa dan rasa mengambang
Rindu hampa didera bimbang
Tiada kata dalam tawa sumbang
Terlalu rapuh menjamah hatimu
Lelah nian menghapus bayangmu
Gelora cinta kian menggebu
Kau torehkan luka dalam khalbu."
Gaun panjang yang kukenakan melambai-lambai, mengikuti gerakan kaki yang kulangkahkan ke sana ke mari. Kuucap lirik demi lirik dengan lantang, hingga suaraku memenuhi ruangan.
Setelah cukup mengambil jeda, mulutku kembali terbuka, hendak mengucap bait yang ketiga. Namun niatku urung, karena ada satu sosok yang tiba-tiba naik ke panggung.
"Usah kau hapus bayang diriku
Hati tak pernah lelah menyebut namamu
Asaku menggapaimu
Wahai gadis dalam rindu."
Aku menoleh, kala sosok itu ikut melantunkan sajak. Dan aku terpaku seketika, kala tahu siapa dirinya. Daniel, lelaki yang kutemui tadi pagi, kenapa dia ada di sini?
Detik selanjutnya, aku tak terlalu paham dengan lirik yang ia bawakan. Perhatianku malah tercuri pada sepasang mata cokelatnya. Entah sekadar perasaanku, atau memang benar adanya, kulihat ekor mata itu kerap kali menatapku.
Jantungku berdegub kencang, saat kudengar lirik terakhir yang dia ucapkan.
'Sejak kutatap bola matamu, hatiku terpaut pada bayangmu'.
Dia mengucapkan kalimat itu, sambil tersenyum dan menatap lekat ke arahku. Entah apa maksudnya, aku sama sekali tak mampu memahami.
Tepuk tangan dan sorak-sorai, menyadarkan aku dari lamunan. Aku terkesiap, dan lantas pergi meninggalkan panggung. Aku tak bisa bertahan lama di sana, aku salah tingkah dan gugup olehnya. Aku tak ingin seorang pun menyadari, apa yang terjadi pada diri ini.
"Kirana!"
Kurasakan ada jemari hangat yang menggenggam lenganku. Aku memejamkan mata, menata hati sebelum menatap ke arahnya.
"Puisimu sangat indah, kau luar biasa, Kirana."
Aku menghela napas panjang, mencoba menepis debar jantung yang semakin tak karuan. Daniel, punya mantra apa dia. Kenapa begitu mudahnya mengusik perasaanku.
"Puisimu juga bagus," ucapku sedikit gugup.
"Benarkah?" tanya Daniel.
"Iya."
"Kau menyukainya?" Dia kembali bertanya, dan kali ini sambil menyondongkan tubuhnya ke arahku.
Samar-samar wangi bvlgari menyeruak masuk di hidung, membuatku semakin kesulitan mengontrol diri.
Daniel, sepandai itukah dia dalam memainkan melodi cinta?
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!