"Kirana! Makan, Nak!"
Teriakan Ibu menyadarkanku dari lamunan. Bayangan manis tentang Daniel, hirap seiring air mata yang terus meleleh.
"Iya Bu, sebentar lagi," jawabku tanpa mengubah posisi.
"Cepat ya, nanti perutmu sakit lho!"
"Iya, Bu." Lagi-lagi aku menjawabnya dengan kata iya, namun raga ini masih enggan untuk beranjak.
Selang beberapa detik, suara Ibu sudah tak terdengar lagi. Hanya gemuruh hujan yang terus mengisi keheningan. Sepertinya, alam ikut mengekspresikan kisah hidupku yang kelam.
Setelah cukup lama menata hati, aku menghapus sisa-sisa air mata. Aku tak ingin Ibu tahu, jika aku baru saja menangis. Lantas aku keluar kamar, namun sebelum menemui Ibu, aku lebih dulu ke kamar mandi. Kucuci wajahku dengan air mengalir, kuhapus jejak kesedihan yang sempat mendera.
"Ayo makan, lihat ini, Ibu memasak sup jamur kesukaanmu," kata Ibu, kala aku sudah tiba di dapur.
"Wahh enak ini." Aku tersenyum lebar, dan pura-pura bahagia. Sup jamur memang salah satu makanan favoritku. Namun untuk saat ini, aku sama sekali tak berminat menyantapnya. Garis dua itu masih terus membayangiku, menghilangkan rasa lapar dan dahaga.
"Ra, sedikit sekali makanmu," ucap Ibu ketika melihatku menyentong nasi.
"Tidak terlalu lapar, Bu," jawabku.
"Kamu lelah, ya?" Ibu duduk di hadapanku. Dan kulihat netranya menilik gerak-gerikku.
"Sedikit, Bu." Aku membuang pandangan sambil menyendok sedikit sup jamur. Jantungku berdetak cepat, takut jika Ibu menyadari perihal kehamilan.
"Nak, belajar memang bagus, tapi jangan terlalu diporsi, ya. Ragamu juga butuh istirahat, jangan sampai kamu sakit karena terlalu keras mengejar cita-cita," kata Ibu.
"Iya, Bu."
Rasa bersalah kembali menghampiri. Kepercayaan dan perjuangan orang tua, kubalas dengan sebuah noda. Ah betapa kejamnya diriku.
Lantas aku mulai mengunyah sesuap demi sesuap makanan yang ada di piring. Sedangkan Ibu, beliau juga masih duduk di depanku.
Tak lama kemudian, Ibu kembali membuka suara, memecah keheningan yang sempat tercipta.
"Oh ya Ra, empat bulan lagi kamu jadi magang?" tanya Ibu.
"Mmmm ... jadi Bu," jawabku ragu-ragu. Empat bulan lagi, perutku pasti sudah membuncit. Masih bisakah aku magang, dan berhasil menjadi guru?
"Daniel juga ikut magang?"
Aku tersedak mendengar pertanyaan Ibu. Ketika nama Daniel disebutkan, pikiranku langsung kacau.
"Pelan-pelan, Ra!" Ibu menyodorkan segelas air putih padaku. Kemudian aku meneguknya hingga tandas.
"Jadi gimana, sahabatmu juga ikut magang?" Ibu bertanya untuk yang kedua kali.
Aku memang tidak jujur tentang status Daniel. Aku mengenalkannya sebagai sahabat, karena aku yakin Ibu tidak akan setuju jika aku mengenalkannya sebagai pacar. Orang tuaku pasti tidak rela, jika aku menjalin hubungan dengan lelaki yang berbeda keyakinan.
"Belum Bu, dia sering mengulang skripsi," jawabku.
Daniel memang sedikit payah dalam pendidikan, kerap kali dia menyerah dengan tugas-tugas yang diberikan dosen. Apalagi yang diambilnya jurusan Arsitektur, terlalu rumit untuk orang yang kurang cerdas.
"Sebagai teman, kamu ajari dia dong Ra. Dia juga sering membantumu, 'kan? Kulihat dia tidak perhitungan sama kamu, jarang-jarang lho orang kaya mau bersikap seperti itu," kata Ibu padaku.
Aku menghela napas panjang. Kendati bibirku tak melontarkan sepatah kata, namun dalam hati aku terus berucap, mungkinkah penilaian Ibu akan tetap sama, jika nanti tahu apa yang Daniel lakukan padaku.
"Mayra juga kaya Bu, dan dia juga tidak perhitungan," ujarku di sela-sela kunyahan.
"Iya juga sih, hmmm beruntung kamu Ra, dikelilingi teman-teman baik seperti mereka."
Ucapan Ibu bagaikan belati yang mengiris hati. Baik, apakah kata itu masih tepat untuk menggambarkan keadaan ini? Ah entahlah, aku tidak bisa menilai siapa yang baik, dan siapa yang buruk. Daniel memang merayuku, namun dia tidak pernah memaksaku. Artinya, aku melakukan semua itu atas dasar kerelaan, bukan paksaan.
______
Deru motor yang berlalu-lalang di depan rumah, membuatku terjaga dari dunia mimpi. Kusibak selimut tebal yang menutupi tubuhku. Lantas aku beranjak turun, dan mengikat rambut panjangku.
Kemudian kubuka jendela kamar, kuhirup udara pagi yang masih segar. Kicauan burung yang bertengger di dahan samping rumah, bak nyanyian alam yang sengaja menghibur jiwa-jiwa rapuh.
"Semoga Daniel mau bertanggung jawab," ucapku pada angin lalu. Lantas kusambar handuk yang menggantung di dinding, dan bergegas menuju ke kamar mandi.
Selang satu jam, aku sudah rapi dalam balutan celana jeans dan kaus panjang. Rambut kubiarkan tergerai, meriap dan menutupi bahu. Sebelum pergi, kutatap pantulan diri di dalam cermin. Kucermati setiap jengkal tubuhku. Dan aku menggigit bibir, kala menatap pinggang yang menurutku lebih berisi.
Tak ingin membuang waktu, aku mengambil tas selempang, dan memasukkan ponselku di sana. Aku bersiap pergi ke taman yang letaknya tak jauh dari rumah. Aku dan Daniel akan bertemu di sana.
Aku mengunci pintu, sebelum pergi. Karena saat ini, Ayah dan Ibu sudah berangkat kerja. Lalu kuletakkan kunci itu di bawah pot bunga, tempat yang sudah biasa kami gunakan.
Aku berjalan menyusuri jalanan yang sudah ramai. Berkali-kali aku mengulas senyum, kala berpapasan dengan tetangga yang mulai mengais rezeki.
Beberapa menit berlalu, aku sudah tiba di taman. Mataku melirik ke sana ke mari, mencari sosok lelaki yang hendak kutemui, dan tak lama kemudian, korneaku menangkap wujudnya. Daniel sedang duduk di bangku panjang, di bawah pinang merah yang rindang. Tubuhnya masih dibalut celana panjang dan jaket tebal.
"Maaf aku telat," ucapku setelah tiba di tempat Daniel.
"Aku juga baru datang kok," jawabnya dengan senyuman lebar.
Aku tak menjawab, juga tak duduk di sebelahnya. Aku hanya menilik wajahnya yang kian rupawan, karena terpaan sinar surya yang keemasan. Dalam sepasang manik cokelat itu, aku berusaha menyelam. Mencari secercah ketulusan yang dapat kujadikan tumpuan.
"Kirana, hei, ada apa?" Daniel berdiri, dan melambaikan tangannya di depan mataku. Mungkin dia heran melihatku melamun.
"Daniel, ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu," ujarku dengan serius.
"Iya, tapi sebelum itu duduklah dulu! Kau akan lelah jika bicara sambil berdiri." Daniel memegang lenganku, dan membimbingku duduk di bangku. Perlakuan yang selalu manis, membuatku tak bisa menolak bujuk dan rayunya.
"Sekarang katakan apa yang ingin kamu bicarakan, aku di sini siap mendengarkanmu, Rana!" Daniel mengulurkan tangannya, dan menyelipkan rambutku ke belakang telinga.
Aku tak langsung menjawab, namun aku bergegas membuka tas, dan mengambil benda pipih yang kusimpan di sana.
"Daniel, aku hamil!" ucapku dengan gemetaran.
Kusodorkan benda itu padanya, dan kulihat dia menatapku tanpa kedip. Entah apa yang dia pikirkan, aku sama sekali tak mampu menebaknya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
fanthaliyya
mau tanggung jawab g
kl g oh 😭😭😭😭
2022-10-15
0
Rahmawaty❣️
Knp dipanggilnya rana . Kira lbih bagus😂
2022-10-02
0
Rahmawaty❣️
Iyalah.. Kamu nya aja ra yg sembarangan jatuh cinta.. Tapi cinta tak mengenal tmpat ya ra😆
2022-10-02
0