Jarum jam menunjukkan pukul 11.00 malam. Kutatap tas besar yang ada di atas ranjang. Semua barang-barangku sudah masuk di dalam sana, termasuk boneka panda pemberian Daniel. Malam ini, aku akan pergi dari sini. Aku tidak mau lagi menjadi duri dalam keluarga Ibu. Hubungan Mas Denis dan Ibu harus baik-baik saja, dan semua itu bisa terjadi jika aku tidak ada. Ibu tidak mau mengusirku, jadi satu-satunya jalan adalah pergi tanpa sepengetahuannya.
Aku mengambil selembar kertas dan pena, lalu aku duduk di kursi dan menulis pesan singkat untuk Ibu.
Maafkan aku, Bu. Terima kasih untuk kasih sayang Ibu selama ini. Sekarang, biarkan aku pergi, aku tidak tega melihat Ibu dan Mas Denis bertengkar. Aku pasti baik-baik saja, Bu. Suatu saat nanti, aku akan mengunjungi Ibu.
Kirana Mentari.
"Semoga Allah masih berkenan mempertemukan kita di kemudian hari." Aku bergumam sembari meletakkan kertas di bawah gelas kosong, di atas meja. Sebuah tempat yang mudah terlihat.
Lalu kuraih ponsel yang masih tergeletak di atas kursi, ada satu pesan dari Mayra.
Ra, aku sudah di depan rumahmu.
Aku menghela napas panjang, dalam hati mengucapkan selamat tinggal untuk kamar yang sudah kutempati selama 22 tahun.
"Aku tidak akan lupa dengan semua kenangan di sini," ucapku sembari mengangkat tas besar yang akan kubawa.
Kamar yang menjadi saksi masa kecilku, masa remaja, dan masa yang hampir dewasa. Di sinilah aku tersenyum, tertawa, dan juga menangis. Memang berat meninggalkannya, tapi tetap tinggal, itu jauh lebih berat.
Kemudian kubuka pintu kamar dengan sangat pelan. Kutatap pintu kamar Ibu yang sudah tertutup rapat. Di bawah sinar lampu yang remang-remang, air mata kembali berlinang. Di dalam sana, ada sosok wanita yang menjelma bak malaikat, yang mungkin tidak akan kutemui diluar sana.
"Aku tidak boleh terus-terusan membebani Ibu," ucapku pada diri sendiri.
"Maafkan aku, Ibu." Kuseka air mata yang sebenarnya tetap berjatuhan.
Lantas kulangkahkan kaki menuju ruang tamu. Kuambil kunci yang berada di atas meja, lalu kubuka pintu utama.
Aku berjalan keluar dengan gemetaran. Sangat berat rasanya melangkahkan kaki meninggalkan rumah yang sudah kuhuni bertahun-tahun.
Di pinggir jalan, di dekat mobil milik Mayra, aku menoleh dan menatap rumah yang sudah kututup rapat. Dadaku sesak, seakan tak ada lagi rongga untuk bernapas. Entah kapan aku bisa kembali menginjakkan kaki di rumah ini, memeluk Ibu, dan merasakan dekapan hangatnya.
"Ra!" bisik Mayra yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku.
"Maaf, May," ucapku.
"Aku mengerti. Sekarang ayo masuk, tenangkan dirimu di sana." Mayra membimbingku masuk ke mobilnya.
Hari ini orang tuanya sedang tugas di luar kota, itu sebabnya dia bisa membantuku. Malam ini, aku akan menginap di rumahnya. Sedangkan untuk esok dan nanti, aku akan membahasnya bersama Daniel. Aku tidak memiliki tabungan untuk menyambung hidup, jadi aku akan meminta bantuannya untuk mencari tempat tinggal, dan sekaligus pekerjaan. Mulai sekarang, aku harus memikirkan kebutuhan hidup.
"Kita berangkat, ya," ucap Mayra, ketika aku dan dia sudah duduk bersebelahan di dalam mobil.
"Iya," jawabku singkat.
________
Gemiricik air yang terdengar samar-samar, berpadu dengan melodi musik klasik yang mengalun merdu. Di dalam ruangan yang sangat luas, aku duduk di sofa yang empuk dan nyaman. Ekor mataku menilik ke setiap jengkal ruangan, mewah dan elegan.
Ranjang besar dibungkus sprei putih bermotif bunga-bunga kecil, bantal dan gulingnya ditata rapi, berjajar dengan boneka beruang beraneka warna. Di sampingnya, ada meja kecil tempat menaruh aksesoris yang beraneka ragam. Lalu lemari kaca berisi pernak-pernik yang berkilauan, yang aku yakin harganya cukup mahal. Di sudut ruangan, ada rak kayu yang penuh dengan high hells, entah berapa pasang yang Mayra punya, aku sampai bingung saat menghitungnya.
"Kenapa nggak diminum?" tanya Mayra yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Setelah tiba di rumahnya, dia langsung membuatkan teh hangat untukku. Katanya, dengan minum teh pikiran bisa tenang. Entah dari mana dia mendapatkan teori itu, karena menurut aku pribadi, semua itu tidak benar.
"Masih panas, May," kilahku.
"Justru kalau udah dingin nggak enak, Ra. Lagian aku tadi bikinnya cuma hangat kok, nggak panas," kata Mayra.
Aku tak menjawab, ucapannya hanya kutanggapi dengan senyuman. Kemarin, Nindi dan Mayra sangat kaget saat tahu aku hamil, mereka tidak menyangka jika aku seberani itu.
Dalam hati aku menduga, bukan hanya Nindi dan Mayra yang kaget, tapi mungkin semua teman yang mengenalku. Aku adalah mahasiswi yang cukup berprestasi, dan aku juga terkenal dengan kedisiplinanku. Aku adalah mahasiswi yang paling anti melanggar peraturan, tapi ternyata aku sangat lemah dalam mengendalikan hasrat.
Kuraih secangkir teh yang nyaris dingin, kuhirup aroma wanginya yang berbeda dengan teh di rumah. Ternyata, teh di kalangan orang kaya berbeda dengan teh di kalangan orang sederhana, pikirku sembari mengulas senyum.
Baru saja aku hendak meneguknya, mataku tertuju pada barang-barang kecil yang dibawa Mayra. Aku tersentak, hingga mataku membelalak lebar. aku paham betul barang apa itu.
Mayra, mungkinkah dia___?
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
fanthaliyya
pinisiriiin
apaan itu???
2022-10-15
0
Rahmawaty❣️
Berarti slama ini km deket dgn laki² yg slah ra.. Pergaulan daniel udh kelewat batas dan km sudh ikut² pergaulan nya
2022-10-02
0
Auliayulie
jgn2 mayra pecandu
2022-02-10
1