Jarum jam terus berputar, hingga kini menunjukkan tepat pukul 08.00 pagi. Di dalam aula yang sudah disulap bak studio, aku bersama teman-teman lain berkumpul dalam ruangan ini.
Acara dibuka dengan beberapa sambutan, baik dari kepala dosen, maupun dari beberapa orang yang ikut andil dalam pembanguan Universitas Trijaya. Bermacam-macam nasihat dan motivasi mereka sampaikan, demi menyemangati anak didiknya.
Dari balik panggung, aku juga ikut mendengarkan. Dan aku termotivasi pada satu kalimat yang diucapkan oleh kepala dosen.
"Hanya mengandalkan ketelatenan, tetesan air mampu melubangi kerasnya bebatuan. Mari kita belajar darinya, berbekal kesabaran dan keuletan, sedikit demi sedikit keberhasilan dapat kita raih. Intinya, seperti apapun keadaan, jangan pernah menyerah dalam usaha."
Aku tersenyum kala mendengar suaranya yang lantang.
"Aku akan seperti tetesan air, sabar dan terus berusaha. Walaupun hidupku sederhana, tapi suatu saat nanti aku akan menjadi guru. Aku akan membuat Ayah dan Ibu bangga," batinku, berjanji pada diri sendiri.
Hampir dua jam aku dan kawan-kawan duduk manis, mendengarkan setiap petuah yang terselip dalam setiap sambutan. Dan akhirnya, tiba juga giliran kami untuk bergantian menunjukkan talenta.
Alunan musik mulai terdengar menggema, salah satu band senior sudah beraksi di atas panggung. Teriakan para gadis juga ikut mewarnai jalannya acara. Darren Alvando, sang vocalis dari band tersebut adalah lelaki yang katanya paling tampan di kampus ini. Namun aku tak sependapat dengan mereka, bagiku Darren adalah lelaki biasa.
Aku masih bergeming di tempatku. Tak ada sedikit pun niat untuk beranjak dan menengoknya. Berkali-kali kawan mengajakku melihat, namun aku selalu menjawabnya dengan gelengan kepala.
Acara sudah berlangsung cukup lama, tetapi aku masih betah dengan posisiku. Aku baru beranjak saat tiba giliran Mayra. Hanya dia satu-satunya peserta yang akan kutonton.
"Semangat May," ucapku kala Mayra akan naik ke panggung.
"Makasih Ra, kamu nanti juga semangat ya!" jawab Mayra.
"Pasti," ucapku penuh percaya diri. Walau sebenarnya di dalam hati aku kurang semangat. Aku mendapat giliran paling akhir, dan biasanya saat itu sudah banyak insan yang meninggalkan aula. Apalagi puisi bukanlah hal yang diminati banyak orang, aku khawatir penampilanku tidak mendapat apresiasi.
Beberapa menit lamanya, aku terhanyut dalam tarian yang Mayra bawakan. Tubuhnya lincah meliuk ke sana ke mari mengikuti irama. Aku menyunggingkan senyuman, dalam hati aku sangat memuji bakatnya.
Setelah Mayra turun, aku kembali ke tempat semula. Duduk dalam diam sembari mendengarkan alunan musik yang terus menggema.
Selang satu jam, aku beranjak dari dudukku. Kini sudah tiba giliranku untuk naik ke atas panggung.
Kuhela napas panjang, dan kukeluarkan dengan pelan. Aku menata hati sambil mengayunkan kaki. Bunyi ketukan high hells yang kukenakan, menandakan jika diri ini sudah tiba di atas panggung. Kusibakkan rambut panjangku yang tergerai, kutatap beberapa insan yang masih setia di bawah panggung.
Sembari melambaikan tangan, aku mengulas senyum manis. Di antara banyaknya mahasiswa, aku melihat sosok Nindi sedang bersorak girang. Dia menyemangatiku dari bawah sana.
Sang pembawa acara memberikan microphone padaku, lantas aku menerimanya dan mulai membuka suara.
Setelah mengucapkan salam, dan menyapa dengan ramah tamah, kini aku melantunkan sajak yang kuciptakan sendiri.
"Sayup samar lentera meremang
Seiring asa dan rasa mengambang
Rindu hampa didera bimbang
Tiada kata dalam tawa sumbang
Terlalu rapuh menjamah hatimu
Lelah nian menghapus bayangmu
Gelora cinta kian menggebu
Kau torehkan luka dalam khalbu."
Gaun panjang yang kukenakan melambai-lambai, mengikuti gerakan kaki yang kulangkahkan ke sana ke mari. Kuucap lirik demi lirik dengan lantang, hingga suaraku memenuhi ruangan.
Setelah cukup mengambil jeda, mulutku kembali terbuka, hendak mengucap bait yang ketiga. Namun niatku urung, karena ada satu sosok yang tiba-tiba naik ke panggung.
"Usah kau hapus bayang diriku
Hati tak pernah lelah menyebut namamu
Asaku menggapaimu
Wahai gadis dalam rindu."
Aku menoleh, kala sosok itu ikut melantunkan sajak. Dan aku terpaku seketika, kala tahu siapa dirinya. Daniel, lelaki yang kutemui tadi pagi, kenapa dia ada di sini?
Detik selanjutnya, aku tak terlalu paham dengan lirik yang ia bawakan. Perhatianku malah tercuri pada sepasang mata cokelatnya. Entah sekadar perasaanku, atau memang benar adanya, kulihat ekor mata itu kerap kali menatapku.
Jantungku berdegub kencang, saat kudengar lirik terakhir yang dia ucapkan.
'Sejak kutatap bola matamu, hatiku terpaut pada bayangmu'.
Dia mengucapkan kalimat itu, sambil tersenyum dan menatap lekat ke arahku. Entah apa maksudnya, aku sama sekali tak mampu memahami.
Tepuk tangan dan sorak-sorai, menyadarkan aku dari lamunan. Aku terkesiap, dan lantas pergi meninggalkan panggung. Aku tak bisa bertahan lama di sana, aku salah tingkah dan gugup olehnya. Aku tak ingin seorang pun menyadari, apa yang terjadi pada diri ini.
"Kirana!"
Kurasakan ada jemari hangat yang menggenggam lenganku. Aku memejamkan mata, menata hati sebelum menatap ke arahnya.
"Puisimu sangat indah, kau luar biasa, Kirana."
Aku menghela napas panjang, mencoba menepis debar jantung yang semakin tak karuan. Daniel, punya mantra apa dia. Kenapa begitu mudahnya mengusik perasaanku.
"Puisimu juga bagus," ucapku sedikit gugup.
"Benarkah?" tanya Daniel.
"Iya."
"Kau menyukainya?" Dia kembali bertanya, dan kali ini sambil menyondongkan tubuhnya ke arahku.
Samar-samar wangi bvlgari menyeruak masuk di hidung, membuatku semakin kesulitan mengontrol diri.
Daniel, sepandai itukah dia dalam memainkan melodi cinta?
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
fanthaliyya
br ktm eeeh udah ada rayuan aja
2022-10-15
1
Wildan Abd
suka dg ceritax....sygx...jaringan lg lalod😭
2022-02-09
1
Little Peony
Sama2 pandai berpuisi mereka ya
2021-08-04
0