Hangat sinar surya menjadi saksi bisu perkelahian dua lelaki yang seumuran. Berkali-kali aku berteriak, meminta Daniel dan Reza untuk menghentikan aksinya. Namun mereka tak ada yang peduli, suaraku hanya dianggap angin lalu yang yang sama sekali tak punya arti.
Reza menghajar Daniel dengan membabi buta, entah apa yang membuat emosinya tersulut sedemikian rupa. Kami memang berteman. Sejak pertama kali mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Universitas Trijaya, aku dan Reza saling mengenal, namun kami tidak terlalu dekat. Aku tak pernah membayangkan Reza akan membelaku hingga sejauh ini.
"Cukup, Za! Kamu sudah gila, ya!" teriak Daniel. Ia terlihat kewalahan menangkis tangan Reza yang tak henti-hentinya melayangkan pukulan.
"Lebih gila lagi kamu, Niel! Anak gadis orang kamu rusak gitu aja, pikirkan masa depan dia, Niel, pikirkan!" geram Reza tak mau kalah.
"Aku bertanggung jawab, Za! Tapi kau juga tahu keyakinan kami berbeda!" jawab Daniel.
"Dari awal keyakinan kalian memang berbeda, lalu kenapa kamu sampai menghamilinya! Apa kamu memang sebodoh itu, Daniel, hah!" kata Reza masih dengan nada tinggi.
"Reza, aku tahu kita teman. Tapi aku tidak suka kamu ikut campur masalah pribadiku. Ini urusanku dengan Kirana, kenapa kamu sampai bersikap sebrutal ini!" Kulihat Daniel memicingkan matanya, dan mencengkeram lengan Reza.
"Kau ingin tahu kenapa," ucap Reza. Ia tampak mendekati Daniel dan berbisik tepat di telinganya.
Aku mengernyitkan kening, mencoba mencuri dengar apa yang Reza bisikkan. Namun nihil, suaranya terlalu pelan untuk kutangkap. Suaranya telah melebur bersama angin, sebelum sampai di telingaku.
"Kau___"
Aku semakin penasaran, Daniel terlihat kesal setelah Reza berbicara padanya. Sebenarnya apa yang Reza bisikkan?
"Jalanmu masih panjang, Ra. Jangan terpaku pada sesuatu yang hanya bisa memberikan nista. Diluar sana, masih banyak yang menganggapmu seperti permata. Buka matamu, dan tinggalkan apapun yang berdampak buruk pada hidupmu." Reza menepuk bahuku dengan pelan, sebelum pergi meninggalkan aku dan Daniel.
"Apa maksudnya?" ucapku dalam hati.
"Niel, apa yang dikatakan Reza?" tanyaku pada Daniel.
"Bukan apa-apa, hanya hal yang tidak penting, Kirana." Daniel menghela napas panjang dan membuangnya dengan kasar.
Aku tidak percaya dengan jawabannya. Jika bukan sesuatu yang penting, tidak mungkin dia mengepalkan tangan dengan erat. Ah, sebenarnya apa yang dikatakan Reza, mengapa dia seolah mengajakku bermain teka-teki.
Daniel tetap bergeming di tempatnya, hanya manik cokelatnya yang memandangiku dengan lekat. Bukan tatapan cinta, juga bukan tatapan sendu. Sebuah tatapan yang aku tak tahu apa maknanya. Entah apa yang dia pikirkan, terlalu sulit untuk kujamah.
Aku melirik jarum jam yang melingkar di lenganku, sudah pukul 08.00. Waktu begitu cepat berjalan, aku harus segera pulang.
"Niel, aku akan pulang. Sudah cukup lama aku di sini, aku tidak igin Ibu khawatir," ucapku sebelum pergi.
"Hati-hati," jawab Daniel singkat.
_______
Jarak TPU dengan rumahku tidak terlalu jauh, itu sebabnya aku memilih jalan kaki. Sepanjang perjalanan, aku hanya menunduk, menghindari tatapan orang-orang yang seolah merendahkanku.
Tak lama kemudian atap rumahku terlihat, beberapa meter lagi aku tiba di sana. Aku mengangkat wajah, mengulas senyum pada ibu-ibu yang sedang mengelilingi gerobak sayur. Mereka saling berbincang sambil memilih aneka sayur yang dijual Mang Damang.
"Dari mana, Ra?" tanya Bu Darmi.
"Dari makam, Budhe," jawabku.
"Nggak berhenti dulu, ini lho ada mangga muda, ada jambu air juga. Biasanya hamil muda 'kan nyidamnya beginian," kata Bu Darmi dengan senyum yang mengembang, seakan perkataannya bukanlah sesuatu yang menyakiti.
"Lho, Neng Kirana hamil? Bukankah masih kuliah?" Mang Damang bertanya sambil menatap ke arahku.
"Hamil tidak harus lulus kuliah, Mang. Bahkan tanpa menikah pun, bisa hamil," sahut Bu Inah.
Kukerjapkan mata ini dengan cepat, aku tak mau bulir bening itu berjatuhan di sini. Aku memalingkan wajah, ketika mereka menghakimiku dengan sebuah tatapan. Lantas aku langsung pergi, tanpa mengucapkan permisi.
"Dia hamil, pacarnya non Muslim, jadi ya ... nggak bisa nikah."
"Ayahnya sampai mati lho, karena terlalu kaget."
"Nggak nyangka ya, luarnya aja kayak alim begitu, ehh ternyata dalamnya sudah bobrok."
"Calon guru, tapi demen banget main gituan. Kenapa kuliah segala ya, harusnya langsung aja terjun ke tempatnya, dapet duit."
"Kasihan anaknya nanti, nggak punya bapak."
Kupercepat langkah ini hingga setengah berlari, aku tak mau lagi mendengar gunjingan mereka. Aku tahu aku salah, aku tahu aku hina, tapi tidak bisakah mereka memikirkan perasaanku. Aku sudah sakit, aku sudah hancur, mengapa mereka malah menambah bebanku.
Pintu rumahku terbuka lebar, beberapa sanak saudara sudah hadir di sana, membantu mempersiapkan jamuan untuk acara tahlil nanti malam. Setelah menyeka sudut mata yang sedikit basah, aku melangkah masuk. Aku akan bersikap tegar seperti Ibu, aku sudah mengecewakan beliau, aku tidak akan menambah bebannya.
Aku berhenti di balik tirai yang menyekat ruang tamu dan ruang tengah. Di sana aku terpaku mendengarkan perbincangan Ibu dan Mas Bayu. Aku kesulitan menelan saliva, lagi-lagi kenyataan pahit yang menghampiri. Ya Allah, mengapa ujian datang bertubi-tubi?
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
Musniwati Elikibasmahulette
dasar ibu ibu ga punya hati
2023-08-05
1
Nani Wismarini
itulah tetangga baik buruknya kt pasti jadj gosip, apalgi keburukan kt akan jadi bahan gonjingan yg paling empuk, pdhl blm tentu yg menggunjing lebih baik dr yg digunjing
2023-03-26
1
Nani Wismarini
mngknkah Reza jatuh cinta dg Kirana??
2023-03-26
1