Motor dan mobil berlalu lalang di sampingku, tanpa mengenal lelah. Suaranya berderu, dan membumbungkan butiran debu ke angkasa raya. Di bawah terik surya yang kian menghangat, aku berjalan gontai menyusuri jalanan beraspal. Kugenggam tali tas selempang dengan erat, aku berusaha menepis rasa gugup dan takut yang menyeruak dalam benak.
"Aku pasti bisa," batinku menenangkan diri sendiri.
Namun bukannya tenang, aku malah semakin pilu. Buliran bening kembali lolos membasahi pipi. Aku benar-benar tak bisa menahannya, air mata itu terus berjatuhan tanpa henti.
"Kenapa Mbak, kecopetan, ya?" Lelaki pengendara motor melambatkan lajunya dan menatap ke arahku.
Aku tak bisa menjawab, suaraku tercekat di tenggorokan. Aku hanya menanggapinya dengan gelengan, lalu aku mempercepat langkah dan pergi meninggalkannya. Aku tak peduli meskipun dia menilaiku sombong atau angkuh, saat ini yang kuinginkan hanyalah kesendirian.
Aku terus melangkah sambil menunduk, aku tak ingin ada yang melihat air mata ini untuk yang kedua kali. Dalam hati aku merutuki alam, kenapa sang surya bersinar begitu cerah disaat hatiku sedang kelam. Andai saja pagi ini hujan turun dengan deras, pasti tidak ada orang yang menyadari tangisku.
Tiba di perempatan, aku membelokkan kakiku ke arah kanan. Bukan rumah yang menjadi tujuanku, melainkan pantai. Aku ingin berdiam di sana dan menenangkan diri barang sejenak.
Pantai adalah tempat yang paling kusukai. Di sanalah biasanya aku menghibur diri kala pikiran sedang penat.
Beberapa menit berlalu, langkah kaki mengantarku ke atas hamparan pasir putih. Semilir angin mulai menerpa dan meriapkan rambutku yang tergerai. Deburan ombak terdengar semakin keras, seiring telapak kaki yang kian mendekat.
Aku mengangkat wajah, menatap birunya samudra yang membentang luas, lantas kuhela napas panjang, ketika melihat beberapa nelayan sedang menepikan perahu.
Mereka saling bercengkerama, seolah tiada beban yang mendera. Kulihat masing-masing mengentaskan ikan hasil tangkapan. Senyum dan tawa terukir lebar, kendati peluh membasahi seluruh tubuh.
Aku melintas di hadapan mereka sambil menunduk, tak kuijinkan sepasang mata pun menatap wajahku yang sembap. Aku terus mempercepat langkah hingga tiba di balik batu karang, tempat yang cukup jauh dari nelayan.
Aku duduk tanpa menggunakan alas, kubiarkan celanaku bersentuhan langsung dengan butiran pasir. Kepeluk kedua lutut, lantas kusembunyikan mukaku di sana. Air mata kembali menetes, seiring rasa perih yang kian mengiris sanubari. Tak sanggup rasanya aku melewati semua ini, cita-cita yang sudah terbentang di depan mata, kini dipertaruhkan karena kebodohan.
"Kenapa aku bisa sebodoh ini, kenapa! Kenapa aku tak pernah memikirkan dampaknya, kenapa aku begitu mudah terbuai bujuk rayunya. Kenapa kau sangat bodoh, Kirana, kenapa!" rutukku pada diri sendiri.
Aku semakin menangis, mengingat harapan yang kian terkikis. Sayup samar bayangan Daniel melintas di ingatan. Berkali-kali aku mengemis pertanggung jawaban, membujuk, merayu, dan menghiba agar dia mau menikahiku. Namun jawabannya masih sama, dia mau menikahiku asalkan aku ikut keyakinannya.
Satu hal yang tidak mungkin kulakukan. Tujuan pernikahan ini adalah demi masa depan, namun jika harus meninggalkan Tuhan, lantas masa depan seperti apa yang bisa kudapatkan?
Jika biasanya Daniel sangat membenci air mataku, namun tidak kali ini. Demi keyakinannya, dia rela melihatku menangis tanpa henti.
"Tidak, aku tidak mau meninggalkan keyakinanku!" Aku bergumam pelan sembari menggeleng.
"Apapun yang terjadi, aku tidak mau meninggalkan agamaku. Ya Allah, ampunilah segala dosa yang telah hamba lakukan. Berikanlah jalan dan kekuatan untuk menghadapi semua ini, Ya Allah," ucapku di sela-sela tangis.
Entah kemana saja aku selama ini, kenapa tak ingat dosa saat melakukan maksiat. Mata hatiku telah tertutup rayuan syetan. Hal nista tampak begitu indah dalam netra. Dua tahun lamanya aku menikmati dosa yang hina, dan tak sedetik pun aku berpikir untuk mengakhiri.
Kini semua kebodohan itu menjadi bomerang, angan dan cita-cita berada di ambang kehancuran. Sesal dan rasa bersalah tiada arti lagi. Sebanyak apapun air mata yang tumpah, keadaan tidak akan bisa berubah, dan di titik ini aku baru mengingat Sang Ilahi.
"Bagaimana caraku mengatakan semua ini pada Ayah dan Ibu," ucapku dalam hati, lantas kupejamkan mata dan kubiarkan kekosongan menyapa.
Debur ombak yang menghantam batu karang, bak nyanyian lara yang menyayatkan luka. Deru angin yang berdesir, ibarat melodi yang mengiris hati. Kicauan burung camar, laksana nada derita yang menyesakkan dada.
Setelah cukup lama menikmati alunan alam, aku mengangkat wajah dan menatap gelombang yang terus bergulung-berkejaran, tanpa mengenal lelah. Berkali-kali kuseka air mata, namun pipi ini tetap basah karenanya. Lantas kubiarkan saja ia mengalir, berjatuhan di atas pangkuan. Andai saja air mataku bisa berubah menjadi mutiara, pasti sudah banyak kalung yang kuuntai dalam beberapa jam terakhir.
"Kirana!"
Suara yang tak asing tertangkap dalam indera pendengaran. Entah ini nyata atau sekadar ilusi. Suara itu datang bersama sentuhan hangat di pundak.
"Kirana!"
Untuk kedua kalinya suara itu memanggilku. Entah apa yang dia inginkan, apakah dia tidak tahu jika aku ingin sendiri?
"Kirana, kau baik-baik saja?"
"Hanya orang bodoh yang menganggapku baik-baik saja," batinku dengan kesal.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
Musniwati Elikibasmahulette
sang penolong, mungkinkah
2023-08-05
1
Dewi Sariyanti
Aq gemes bgt ma kirana ini, udah tau orang tua nya banting tulang buat membiayai kuliah, harusnya fokus kuliah dulu, kalo pacaran ya jgn kelewat batas, ini udah orang tua susah payah biayai kuliah, mlah pacaran kelewat batas, sama yg beda keyakinan pula, apa yg bs di banggain????
2022-10-27
0
fanthaliyya
safa dia??
2022-10-15
0