Jarum jam di pergelangan tanganku terus berputar, seiring keringat dingin yang kian bercucuran. Kutautkan jemari dengan erat, aku tak peduli meskipun ujung kuku meruamkan kulitku. Satu persatu dari kami telah dipanggil dan melakukan pemeriksaan. Sedangkan aku, aku juga tetap bergeming di tempat, menunggu awal mimpi buruk menjemput.
Kupejamkan mata dan kuhela napas berulang kali. Aku tak punya jalan untuk pergi dari sini. Aku hanya bisa berdoa, kalaupun harus terungkap, semoga secercah cahaya masih mau berpendar dalam hidupku.
"Sebentar lagi kelas kita menyabet piala baru, Gaes. Jika hari itu telah tiba, kalian semua aku traktir sepuasnya."
Aku menggigit bibir, kala mendengar ucapan Reza. Dia adalah ketua kelas di sini. Selama 4 tahun aku mengenyam ilmu di Universitas Trijaya, kelas ini selalu lolos. Belum pernah ada satu pun mahasiswa yang positif narkoba, dan mungkin hari ini aku menjadi perdana. Akulah orang pertama yang menorehkan sejarah buruk di sini.
"Maafkan aku, Za. Piala kali ini tidak berpihak pada kelasmu ... gara-gara aku." Aku membatin sambil memegangi dadaku sendiri. Sesak, rasanya sangat sesak. Seolah rongga napasku terhimpit, dan tak menyisakan rongga barang sedikit.
"Kirana Mentari!"
Lidahku mengecap asin darah, setelah namaku dipanggil oleh Pak Rahman. Terlalu kuat aku menggigit bibir, hingga tanpa sadar gigiku melukainya.
Kupasrahkan segalanya pada Tuhan, kuikuti arus waktu yang telah ditakdirkak untukku. Meskipun aku luar biasa takut, tapi aku tak punya kekuatan untuk berlari meninggalkan semua ini.
Aku beranjak dari dudukku, dan melangkah mengikuti petugas medis. Kulakukan setiap hal yang dia arahkan. Walaupun tubuh ini terus gemetaran, namun aku berhasil merampungkan pemeriksaan.
"Tamat sudah semuanya. Aku harus membujuk hati untuk mengikhlaskan semua mimpi. Asa, cita-cita, dengan terpaksa harus kukubur bersama kebodohan. Biarlah semua menjadi kenangan pahit yang terpatri dalam memori." Aku berucap dalam hati, sembari berjalan menuju tempat dudukku.
"Ra, senyum dong jangan murung terus. Ayo kita susun rencana untuk mendekatkan Mayra dan Reza," bisik Nindi setelah aku kembali duduk di kursi.
Mayra sangat mencintai Reza, meskipun lelaki itu tetap cuek dan tak pernah menunjukkan perasaannya. Entah kurang apa Mayra, dia cantik, cerdas, lincah, dan yang paling penting kedudukannya sederajat. Tapi ternyata, semua itu belum mampu mengetuk pintu hati Reza.
"Tidak ada traktiran, Nin. Jangan menyusun rencana, karena kau akan kecewa," jawabku tanpa menatapnya.
"Apa ... apa maksudmu, Ra?" tanya Nindi, kudengar nada suaranya menyiratkan kekhawatiran.
"Aku tak bisa menjawab, Nin. Biarkan waktu saja yang memberitahumu," bisikku dengan parau.
Aku tak mampu lagi menahan air mata, bulir-bulir bening itu berjatuhan membasahi pangkuan. Aku semakin menunduk, menyembunyikan rasa pilu yang terus mendayu.
Tak lama berselang, kegiatan ini berakhir. Semua dari kami, telah melakukan pemeriksaan dengan baik. Senyum dan tawa terukir di bibir kawan semua. Di antara mereka, hanya aku yang memasang raut sendu.
Setengah jam kemudian, Pak Rahman, petugas medis, dan polisi, mereka mulai beranjak. Tenaga dalam tubuhku seolah hirap, kala melihat tatapan Pak Rahman yang tertuju ke arahku. Lantas aku menunduk, menatap ruas-ruas jemari yang memucat. Mungkin juga demikian dengan wajahku.
"Kirana Mentari, silakan ikut kami!"
Ucapan Pak Rahman menyayatkan luka yang begitu dalam. Berat rasanya raga ini kuajak berdiri, seolah kaki berkhianat dan enggan menopang tubuhku sendiri.
"Kirana Mentari!"
Pak Rahman mengulangi ucapannya, karena saat ini aku masih bergeming di posisi semula. Dengan sisa-sisa tenaga, kutopang tubuhku dan kuajak berjalan. Bermacam-macam bisikan, mulai terdengar samar-samar di telinga.
Mereka bertanya-tanya, apakah aku seoarang pecandu.
_____
Pak Rahman membawaku masuk ke ruangan Bu Ambar, salah satu dosen yang paling kerap mengisi materi di kelasku.
Aku menunduk, tak berani menatap manik mata milik Bu Ambar. Dari sekian banyaknya dosen, beliau yang paling memperhatikanku. Beliau sangat kerap memuji prestasiku, dan juga kerap menasihatiku. Tidak menjalin hubungan dengan Daniel adalah salah satu nasihatnya, menurut beliau, hubungan berbeda keyakinan, itu sangatlah rumit.
"Saya sangat kecewa, Kirana!"
Lagi-lagi air mataku lolos tanpa permisi. Suara Bu Ambar yang pelan namun tegas, membuatku mengerti bahwa beliau benar-benar kecewa. Jika dosen saja sekecewa ini, lantas bagaimana dengan orang tuaku?
"Saya tidak pernah menduga kamu seceroboh itu, Kirana! Tiga bulan lagi kamu magang, tapi sekarang kamu positif hamil. Kamu anak yang berprestasi, lalu kenapa kamu hancurkan masa depanmu dengan kesenangan sesaat!" kata Bu Ambar dengan intonasi yang lebih tinggi.
Aku masih tak menjawab, hanya tangis yang kian pecah. Dalam keheningan, suara isakanku terdengar memilukan.
"Apakah itu Daniel, Kirana?" tanya Bu Ambar.
Sudah cukup lama aku menjalin hubungan dengan Daniel, dan banyak teman serta dosen yang mengetahui hal itu.
"Maaf, Bu," jawabku sangat pelan, nyaris seperti bisikan.
"Aku tidak mengerti apa yang ada dalam pikiranmu, Kirana. Daniel non Muslim, dan kau hamil dengannya. Apa setelah ini kau lantas mengorbankan agamamu demi cinta?! Apa kau akan meninggalkan Tuhan demi makhluk ciptaan-Nya?! Jangan bermain-main dengan keyakinan, Kirana!"
Kulihat Bu Ambar beranjak dari duduknya. Beliau menatapku sambil melipat tangan di dada. Hela napasnya sangat berat, juga kedua bahu bergerak naik turun di balik jilbab panjangnya. Kenyataan ini sangat menyulut emosi.
"Pihak kampus sudah menghubungi orang tuamu, mereka sudah dalam perjalanan kemari," ucap Bu Ambar yang lantas membuatku terperangah.
"Ayah, Ibu," batinku.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
fanthaliyya
😭😭😭😭😭
kak othor jgn ngirisin bawang trs dong ....g kuat ini ....nyesek smp dada
2022-10-15
0
Auliayulie
😭😭😭😭kirana ..
dan ini 👊👊👊untukmu daniel
2022-02-10
1
Wiwin Handayani
ruwet wes ruwet
2022-02-09
1