Gemerisik angin yang menggoyangkan dedaunan, menjadi satu-satunya suara yang mengisi kekosongan diantara kami. Cukup lama aku dan Daniel diam tanpa kata. Dia terus menatap tes pack yang masih kugenggam. Sedangkan aku, aku terus menatap ekspresi wajahnya.
"Daniel!" panggilku setelah cukup lama dalam keheningan.
Hatiku teriris sakit, kala melihatnya diam tanpa kata. Mungkinkah dia akan lari, dan tak mau bertanggung jawab?
"Kirana, kenapa, kenapa ini bisa terjadi? Hmmm maksudku, mmm bukankah aku selalu menggunakan pengaman, kenapa kamu bisa hamil?"
Pertanyaan 'kenapa' yang terlontar dari mulut Daniel, membuat air mataku meleleh tanpa dipinta. Entah kenapa pertanyaan itu terdengar menyakitkan. Aku merasa seolah Daniel sangat enggan dengan kehamilanku. Apakah Daniel memang hanya menyukai tubuhku, tanpa memiliki perasaan cinta yang tulus?
"Kirana, jangan menangis! Maaf, jika kata-kataku tadi menyinggungmu. Bukan begitu maksudku, aku hanya, aku hanya kaget saja." Daniel mengusap air mataku dengan kedua jemarinya.
"Kita sudah sering melakukannya Niel, tidak hanya sekali-dua kali. Mungkin salah satu diantaranya ada kesalahan yang tidak kita sadari. Aku hanya berhubungan denganmu, Niel," ujarku di sela-sela tangis yang kian pecah.
"Iya, aku percaya. Maaf jika kata-kataku tadi menyinggungmu," kata Daniel.
"Lalu bagaimana?" tanyaku padanya.
"Aku pasti bertanggung jawab," kata Daniel. Ucapannya terdengar tegas dan serius.
"Kamu akan menikahiku?" Perlahan aku mulai mengulas senyuman. Jika dia mau menikahiku, aib ini tidak akan menyebar ke mana-mana. Masih ada harapan untuk menggapai cita-cita.
"Tentu saja. Kirana, aku mencintaimu, dan kau sudah hamil anakku. Mana mungkin aku mengabaikannya. Ikutlah keyakinanku, dan aku akan secepatnya menikahimu. Kita bina cinta kita, dalam ikatan yang sebenarnya." Daniel tersenyum sambil menggenggam jemariku.
Senyum yang baru saja kuulas kembali pudar. Kupikir Daniel yang akan ikut keyakinanku, tapi kenapa malah dia yang menyuruhku pindah keyakinan. Tidak, aku tidak mungkin meninggalkan agamaku.
"Kirana!"
"Kirana!"
"Kirana!"
Suara Daniel yang berkali-kali memanggilku, hanya kubiarkan lebur bersama angin lalu. Bibir ini tak sanggup lagi mengucapkan sepatah kata, hanya air mata yang berbicara.
"Kirana, ada apa? Kenapa kamu semakin menangis? Kirana, aku pasti bertanggung jawab, apa masalahnya?" tanya Daniel dengan cepat.
"Daniel!" Setelah sekian detik menata hati, akhirnya aku punya daya untuk membuka suara. Aku memanggil namanya, sembari mengangkat wajah.
"Aku tidak bisa meninggalkan keyakinanku," ucapku lirih, namun aku yakin Daniel bisa mendengarnya.
Kulihat tubuh Daniel menegang, entah apa yang ia pikirkan, tiba-tiba melepaskan genggamannya.
"Kenapa, Ra?" tanya Daniel juga dengan suara pelan.
"Daniel, keyakinan adalah segalanya bagiku. Agamaku adalah pedoman hidupku, mana bisa aku meninggalkannya begitu saja. Kupikir, kamu yang akan ikut keyakinanku." Aku menunduk, menatap jemari yang kutautkan di atas pangkuan.
"Kirana, aku tidak mungkin melakukannya. Aku akan memegang teguh keyakinan ini sampai akhir hayat."
Aku tersentak kala mendengar jawaban Daniel. Jika kami saling mempertahankan keyakinan, lantas bagaimana kelanjutan hubungan ini, bagaimana masa depan janin yang mulai tumbuh dalam rahimku?
"Daniel, kenapa kamu tidak memikirkan aku!" teriakku dengan air mata yang tetap berderai. Aku beranjak dari dudukku, dan menatap tajam ke arah Daniel.
"Katamu kau tidak akan meninggalkan aku. Katamu kau akan bertanggung jawab, mana janjimu, Daniel! Aku sudah menyerahkan tubuhku, dan setelah meninggalkan noda kamu akan lari begitu saja, pengecut kamu, Daniel!" pekikku frustrasi.
Aku mengacak rambutku dengan kasar. Kenyataan ini, benar-benar sulit untuk kuterima.
"Kirana, dengarkan aku!" Daniel ikut beranjak, dan kembali menggenggam jemariku. "Aku mau bertanggung jawab, aku sangat mau menikahimu. Tapi tolong mengertilah, aku tidak bisa meninggalkan keyakinanku," sambungnya.
"Terus bagaimana?"
"Ikutlah keyakinanku, aku pasti secepatnya menikahimu," jawab Daniel.
Cukup lama aku terdiam, batinku berkecamuk memikirkan masalah yang mendera.
Aku dan Daniel saling mematung di tengah taman. Hanya embusan angin yang menggerakkan rambut serta pakaian yang kami kenakan.
"Daniel!" panggilku setelah beberapa menit berlalu.
"Hmmm," gumam Daniel.
"Bagaimana jika aku tidak bisa ikut keyakinanmu?" tanyaku dengan jantung yang berdetak cepat.
Daniel menatap wajahku cukup lama, lantas kulihat bibir itu bergerak dan menggumamkan beberapa kata.
"Maafkan aku, Ra! Jika kamu tetap bertahan pada keyakinanmu, aku tidak bisa menikahimu, walaupun sudah ada anakku dalam perutmu. Aku memang mencintaimu, tapi aku lebih mencintai keyakinanku. Dengan terpaksa, aku akan membiarkanmu melahirkan, tanpa ikatan pernikahan."
Ucapan Daniel laksana petir yang menyambar tepat di ulu hati, sakit, sangat sakit. Aku tidak mungkin mengorbankan keyakinanku demi dia. Tapi di sisi lain, aku juga tidak ingin anak yang kukandung lahir tanpa sosok seorang ayah.
Aku berada dalam dilema, keyakinan dan masa depan berada di titik persimpangan. Asaku hirap dan terserak, meninggalkan puing-puing hati yang retak.
"Kamu tega melakukan itu Niel, setelah semuanya kuberikan untukmu, inikah balasanmu?" Kutatap mata cokelat itu dengan sendu. Berharap ada sedikit rasa iba yang tersisa.
"Aku tidak punya pilihan lain, Ra. Jika kamu tidak mau ikut keyakinanku, apa yang bisa kulakukan," jawab Daniel.
"Kenapa bukan kamu saja yang pindah keyakinan? Aku sudah memberikan segalanya untukmu, Niel. Tidak maukah kamu sedikit berkorban demi aku?"
"Maafkan aku, Ra. Aku tidak bisa mengorbankan keyakinanku." Daniel masih memberikan jawaban yang sama.
"Empat bulan lagi aku sudah magang, cita-citaku nyaris tercapai, Niel. Tapi, jika aku hamil dan tidak ada yang menikahiku, aib ini pasti merampas semuanya, usahaku sekian lama akan sia-sia. Daniel, demi membiayai kuliahku, Ayah dan Ibu memeras keringat siang dan malam. Apakah kamu tega, menyia-nyiakan perjuangan mereka yang sudah renta? Apakah kamu tega, melihatku menjadi bahan gunjingan? Daniel, jika kamu memang benar cinta, kamu tidak akan tega, 'kan?"
Aku terus memohon padanya. Aku tak lagi memikirkan harga diri, toh sejak aku menyerahkan kehormatanku, harga diriku sudah jatuh.
"Aku memang tidak tega, tapi aku juga tidak punya cara. Kirana, keyakinan itu sudah tertanam dalam hati. Aku yakin kamu mengerti maksudku. Aku tidak akan meninggalkan keyakinan, demi apapun. Kirana, maafkan aku!"
Air mataku mengalir semakin deras, setelah mendengar ucapan maaf dari Daniel. Sekeras apapun aku membujuknya, nyatanya dia masih berpegang teguh pada keyakinannya.
Dalam nestapa, kurasakan hangat jemari Daniel mengusap air mataku. Lantas aku mendongak, dan menatap wajahnya. Kulihat matanya berkaca-kaca, dan tak membutuhkan waktu lama, buliran bening jatuh membasahi pipinya.
Hatiku tersentuh saat melihatnya menangis, walau aku tak tahu, itu air mata tulus atau palsu. Namun yang tampak nyata dalam netra, detik ini dia juga ikut terluka.
Aku tak menolak, saat dia memelukku dengan erat. Kendati aku tak tahu seperti apa hubungan kami setelah ini, namun yang jelas aku masih nyaman bersandar di dadanya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
fanthaliyya
baru part lima dah pelik
ntar siapa yg bisa meluk Kirana dipeliknya 😭😭
2022-10-15
0
momnaz
banyak kisah di dunia nyata yg kayak gini.... kerren kak othorrr..heran novel bagus kok like..dikit..
2022-10-07
1
Rahmawaty❣️
Kbanyakan cwe yg mikut laki . Biasanya si.. Tp ya trgantung si
2022-10-02
0